Usulan Revisi UU TNI Dinilai Akan Mengganggu Jalannya Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) TNI menuai kritik dari berbagai pihak.
Kritik terhadap usulan Luhut ini mengemuka dalam diskusi yang dilakukan Imparsial dan LBH Surabaya di Pos Malang dengan tema Menyoal Agenda Revisi UU TNI dan Rencana Pembentukan Dewan Keamanan Nasional di Malang, Selasa (30/8/2022).
Pakar Hukum Tata Negara Mochamad Ali Syafaat menilai revisi terhadap UU TNI itu dinilai sangat berbahaya bagi demokrasi. Konsep demokrasi tidak akan berjalan dengan adanya Dwifungsi ABRI.
Seperti diketahui Luhut mengatakan usulan revisi yang dimaksud adalah agar perwira TNI bisa ditugaskan di sejumlah kementerian dan lembaga. Hal ini Luhut kemukakan saat memberikan sambutan dalam Silaturahmi Nasional PPAD, di Bogor, Jawa Barat, seperti dikutip Jumat (12/8/2022).
Kemudian Syafaat menambahkan, revisi UU TNI akan berpotensi melemahkan profesionalisme militer itu sendiri karena fokus dan tugas militer akan terpecah.
"Nantinya TNI tidak hanya mengurusi masalah pertahanan tapi juga masalah sosial politik hukum dan keamanan," ucap Syafaat.
Kritik tajam lainnya juga disampaikan oleh Milda Istiqomah Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini mengatakan, agenda revisi UU TNI dengan tujuan menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil akan menciderai semangat reformasi.
"Amanat reformasi menuntut penghapusan dwifungsi ABRI yang dilatarbelakangi rangkap jabatan militer di pemerintahan saat Orde Baru," terang Milda.
Selanjutnya menurut Milda, agenda revisi UU TNI akan menciderai supremasi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan dan roda demokrasi yang hidup di Indonesia.
Selain itu, sudah tentu berpotensi mempengaruhi profesionalitas dan integritas TNI dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai alat negara bidang pertahanan.
"Kementerian akan menjadi lebih militeristik, menggunakan system komando. Akibatnya pengambilan keputusan di lembaga tersebut menjadi tidak demokratis dan tidak profesional. Penempatan prajurit TNI dalam pemerintahan sipil bukan merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan persoalan surplus perwira tinggi. Hal ini hanya menambah masalah baru," jelas Milda.
Koordinator LBH Malang Daniel Siagian juga memberikan kritiknya terhadap rencana revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Menurutnya revisi ini akan membahayakan kehidupan demokrasi dan mengancam hak asasi manusia. Revisi UU TNI dan pembentukan DKN membuka ruang kembali terciptanya rezim yang otoratian.
"Pemerintah harusnya fokus melakukan revisi Undang-Undang Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer. Bukan melakukan revisi UU TNI," ujar Daniel.
Kritik terhadap usulan Luhut ini mengemuka dalam diskusi yang dilakukan Imparsial dan LBH Surabaya di Pos Malang dengan tema Menyoal Agenda Revisi UU TNI dan Rencana Pembentukan Dewan Keamanan Nasional di Malang, Selasa (30/8/2022).
Pakar Hukum Tata Negara Mochamad Ali Syafaat menilai revisi terhadap UU TNI itu dinilai sangat berbahaya bagi demokrasi. Konsep demokrasi tidak akan berjalan dengan adanya Dwifungsi ABRI.
Seperti diketahui Luhut mengatakan usulan revisi yang dimaksud adalah agar perwira TNI bisa ditugaskan di sejumlah kementerian dan lembaga. Hal ini Luhut kemukakan saat memberikan sambutan dalam Silaturahmi Nasional PPAD, di Bogor, Jawa Barat, seperti dikutip Jumat (12/8/2022).
Kemudian Syafaat menambahkan, revisi UU TNI akan berpotensi melemahkan profesionalisme militer itu sendiri karena fokus dan tugas militer akan terpecah.
"Nantinya TNI tidak hanya mengurusi masalah pertahanan tapi juga masalah sosial politik hukum dan keamanan," ucap Syafaat.
Kritik tajam lainnya juga disampaikan oleh Milda Istiqomah Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini mengatakan, agenda revisi UU TNI dengan tujuan menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil akan menciderai semangat reformasi.
"Amanat reformasi menuntut penghapusan dwifungsi ABRI yang dilatarbelakangi rangkap jabatan militer di pemerintahan saat Orde Baru," terang Milda.
Selanjutnya menurut Milda, agenda revisi UU TNI akan menciderai supremasi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan dan roda demokrasi yang hidup di Indonesia.
Selain itu, sudah tentu berpotensi mempengaruhi profesionalitas dan integritas TNI dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai alat negara bidang pertahanan.
"Kementerian akan menjadi lebih militeristik, menggunakan system komando. Akibatnya pengambilan keputusan di lembaga tersebut menjadi tidak demokratis dan tidak profesional. Penempatan prajurit TNI dalam pemerintahan sipil bukan merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan persoalan surplus perwira tinggi. Hal ini hanya menambah masalah baru," jelas Milda.
Koordinator LBH Malang Daniel Siagian juga memberikan kritiknya terhadap rencana revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Menurutnya revisi ini akan membahayakan kehidupan demokrasi dan mengancam hak asasi manusia. Revisi UU TNI dan pembentukan DKN membuka ruang kembali terciptanya rezim yang otoratian.
"Pemerintah harusnya fokus melakukan revisi Undang-Undang Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer. Bukan melakukan revisi UU TNI," ujar Daniel.
(maf)