Kredibilitas Ekonomi Nasional
loading...
A
A
A
Indonesia, melalui kekayaan alamnya yang melimpah, mendapatkan berkah besar melalui nilai ekspor yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pandemi hingga krisis global menerpa. Akan tetapi, kini harga sejumlah komoditas mulai mengalami penurunan per Juli 2022. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap sektoreksporIndonesia yang selama ini cukup menjadi andalan ekonomi.
Misalnya harga minyak mentah turun 10,03% pada USD105,1/barel, gas alam turun 5,45% pada USD7,3/MMBTU, minyak kelapa sawit turun 29,61% pada USD1.056,6/metrik ton. Kemudian gandum turun 16,77% menjadi USD382,5/metrik ton, serta nikel turun 16,28% pada USD21.500/metrik ton.
Penurunan harga tersebut dapat mendorong terjadinya peningkatan beban subsidi energi yang dipikul oleh negara di tengah harga minyak mentah dunia yang diprediksi tetap bertahan tinggi seiring eskalasi perang Rusia-Ukraina yang belum juga melandai. Bahkan, data mencatat bahwa harga minyak mentah dunia belakangan kembali naik ke posisi USD96 per barel setelah sempat mereda pada level USD92 per barel.
Optimalisasi APBN
APBN 2022 dirancang antisipatif, responsif, dan fleksibel sebagai instrumen pemulihan ekonomi dan menghadapi berbagai ketidakpastian ekonomi global ke depan. Demi mencapai tujuan tersebut, kini APBN kembali bekerja keras melalui pemberian insentif guna menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.
Sejatinya beban APBN 2022 untuk menahan guncangan ekonomi dunia bukalah hal yang mudah. Di tengah berbagai upaya insentif yang digulirkan, beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah sangat berat.
Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa negara perlu tambahan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp195,6 triliun apabila volume konsumsi BBM subsidi tidak dibatasi, dengan asumsi harga minyak dunia tetap tinggi di angka USD105/barel. Artinya, jumlah anggaran subsidi dan kompensasi akan membengkak menjadi Rp698 triliun. Padahal, dalam APBN 2022 anggaran awal subsidi dan kompensasi energi hanya sebesar Rp152,5 triliun. Pada kondisi ini, penajaman dan efisiensi belanjaAPBN 2022sangat diperlukan.
Selama ini, di tengah target pembangunan yang cukup tinggi, alokasi belanja modal yang digulirkan pemerintah tergolong masih cukup rendah. Data Kemementerian Keuangan menunjukan rata-rata alokasi belanja modal selama lima tahun terakhir masih di bawah 1,5% dari PDB.
Rendahnya alokasi belanja modal tersebut berbanding terbalik dengan besaran alokasi belanja barang terhadap PDB yang mencapai 2,04% atau belanja nonproduktif lainnya, misal belanja pegawai yang nilainya justru mencapai 2,36% dari PDB.
Bank Dunia bahkan menyebutkan bahwa dengan alokasi 1,5% dari PDB, angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia yang mampu mengalokasikan belanja modal di angka 3,3% dari PDB, Filipina (4,5%), Singapura (4,9%), Thailand (6%), Vietnam (6,5%), dan Kamboja (6,8%). Karenanya, pemerintah perlu mengoptimalkan belanja yang produktif, yakni belanja yang mampu memberikanmultiplier effectyang besar bagi perekonomian nasional.
Sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di tengah ancaman inflasi, pemerintah diharapkan dapat menyalurkan bantuan sosial dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Seyogianya, setiap rupiah yang keluar dari APBN harus dipastikan memiliki manfaat ekonomi, memberikan manfaat untuk rakyat, dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat.
Misalnya harga minyak mentah turun 10,03% pada USD105,1/barel, gas alam turun 5,45% pada USD7,3/MMBTU, minyak kelapa sawit turun 29,61% pada USD1.056,6/metrik ton. Kemudian gandum turun 16,77% menjadi USD382,5/metrik ton, serta nikel turun 16,28% pada USD21.500/metrik ton.
Penurunan harga tersebut dapat mendorong terjadinya peningkatan beban subsidi energi yang dipikul oleh negara di tengah harga minyak mentah dunia yang diprediksi tetap bertahan tinggi seiring eskalasi perang Rusia-Ukraina yang belum juga melandai. Bahkan, data mencatat bahwa harga minyak mentah dunia belakangan kembali naik ke posisi USD96 per barel setelah sempat mereda pada level USD92 per barel.
Optimalisasi APBN
APBN 2022 dirancang antisipatif, responsif, dan fleksibel sebagai instrumen pemulihan ekonomi dan menghadapi berbagai ketidakpastian ekonomi global ke depan. Demi mencapai tujuan tersebut, kini APBN kembali bekerja keras melalui pemberian insentif guna menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.
Sejatinya beban APBN 2022 untuk menahan guncangan ekonomi dunia bukalah hal yang mudah. Di tengah berbagai upaya insentif yang digulirkan, beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah sangat berat.
Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa negara perlu tambahan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp195,6 triliun apabila volume konsumsi BBM subsidi tidak dibatasi, dengan asumsi harga minyak dunia tetap tinggi di angka USD105/barel. Artinya, jumlah anggaran subsidi dan kompensasi akan membengkak menjadi Rp698 triliun. Padahal, dalam APBN 2022 anggaran awal subsidi dan kompensasi energi hanya sebesar Rp152,5 triliun. Pada kondisi ini, penajaman dan efisiensi belanjaAPBN 2022sangat diperlukan.
Selama ini, di tengah target pembangunan yang cukup tinggi, alokasi belanja modal yang digulirkan pemerintah tergolong masih cukup rendah. Data Kemementerian Keuangan menunjukan rata-rata alokasi belanja modal selama lima tahun terakhir masih di bawah 1,5% dari PDB.
Rendahnya alokasi belanja modal tersebut berbanding terbalik dengan besaran alokasi belanja barang terhadap PDB yang mencapai 2,04% atau belanja nonproduktif lainnya, misal belanja pegawai yang nilainya justru mencapai 2,36% dari PDB.
Bank Dunia bahkan menyebutkan bahwa dengan alokasi 1,5% dari PDB, angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia yang mampu mengalokasikan belanja modal di angka 3,3% dari PDB, Filipina (4,5%), Singapura (4,9%), Thailand (6%), Vietnam (6,5%), dan Kamboja (6,8%). Karenanya, pemerintah perlu mengoptimalkan belanja yang produktif, yakni belanja yang mampu memberikanmultiplier effectyang besar bagi perekonomian nasional.
Sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di tengah ancaman inflasi, pemerintah diharapkan dapat menyalurkan bantuan sosial dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Seyogianya, setiap rupiah yang keluar dari APBN harus dipastikan memiliki manfaat ekonomi, memberikan manfaat untuk rakyat, dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat.