Ruang Tumbuh Pendidikan

Kamis, 25 Agustus 2022 - 17:15 WIB
loading...
Ruang Tumbuh Pendidikan
Anggi Afriansyah (Foto: Ist)
A A A
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

EXTRAORDINARY
Attorney Woo
(2022) menjadi salah satu drama asal Korea Selatan yang sedang menarik minat para pecinta drama Korea (drakor). Mengapa drama ini menarik? Pertama, drama ini menyajikan kisah Woo Young-Woo (Park Eun-Bin), pengacara pintar, yang merupakan penyandang autism, dalam menangani kasus-kasus di pengadilan.

Secara cerdas dan jenaka Woo Young-Woo menyelesaikan satu per satu kasus yang ditanganinya. Ada juga situasi di mana para penonton disajikan betapa penyandang autisme harus menghadapi berbagai prasangka dan persoalan yang tidak mudah dihadapi.

Kedua, drama ini menampilkan beberapa kasus yang dapat menjadi hiburan sekaligus pencerahan. Dalam proses ini kita dapat menyaksikan bagaimana drakor berhasil menyajikan perspektif tentang situasi harian yang dihadapi masyarakat Korea. Isu tentang perundungan, cekcok akibat warisan, isu hak cipta, isu pengambil alihan tanah untuk pembangunan, pendidikan yang menuntut kompetisi, dan kasus-kasus lainnya.

Cerminan Realitas
Dalam beberapa hal, meskipun tentu konstruksi drama pasti imajinasi sang penulis skenario, apa yang disampaikan dalam drama tersebut menarik untuk ditelaah dan dalam beberapa aspek menjadi cerminan realitas keseharian.

Dalam konteks pertama, informasi memadai mengenai para penyandang autisme masih perlu terus disampaikan ke publik. Dan, dalam kehidupan keseharian kita masih menyimpan banyak prasangka dan memarjinalkan para penyandang autisme.

Dalam konteks pendidikan misalnya, sistem pendidikan formal di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mengakomodasi kebutuhan anak-anak penyandang autism (Ekaputri dan Afriansyah, 2020).

Ada tantangan secara kebijakan maupun budaya dalam mengakomodasi kebutuhan pendidikan anak-anak penyandang autisme. Dalam konteks tersebut, penyebaran pengetahuan melalui berbagai kanal informasi termasuk melalui drama atau film menjadi penting. Saat ini jika kita telusur, sudah banyak film dan drama yang mengangkat isu autisme.

Untuk konteks kedua, ragam isu yang ditampilkan di drakor tersebut nampak sekali memotret kehidupan di Korea Selatan saat ini. Dalam episode sembilan misalnya disajikan kasus penculikan yang dilakukan oleh seseorang (Bang Gu-ppong) yang mendaku sebagai Panglima Tentara Pembebasan Anak-anak.

Panglima Tentara Pembebasan Anak-anak ini ingin melepaskan anak-anak dari jerat sekolah, orangtua, dan akademi. Ia mengajukan tiga tuntutan yaitu, pertama, anak-anak harus segera bermain. Kedua, anak-anak harus segera sehat. Dan, ketiga, anak-anak harus segera bahagia.

Mengapa ia mengajukan tuntutan tersebut, sebab dalam pandangannya sekolah, lembaga kursus, dan orangtua di Korea Selatan begitu menuntut anak untuk menjadi kompetitif sejak dini. Anak-anak harus belajar sampai malam hingga tidak sempat bermain.

Dalam buku Young Chun Kim (2016) bertajuk Shadow Education and the Curriculum and Culture of Schooling in South Korea disampaikan mengenai kompetitifnya orangtua di Korea Selatan dalam mendidik anak-anak. Dalam konteks tertentu dorongan untuk mendapatkan gelar universitas bergengsi telah mendorong keluarga untuk mendaftarkan anak-anak di Hakwon sejak awal pendidikan anak-anak.

Hakwon merupakan sejenis tempat belajar privat (private tutoring system) yang memberikan siswa pendidikan tambahan setelah sekolah. Kim (2016) menjelaskan hakwon sebagai lembaga pendidikan swasta tempat siswa Korea Selatan belajar tambahan sepulang sekolah, dilakukan untuk melengkapi atau meningkatkan pemahaman pembelajaran, didanai oleh orangtua secara mandiri, dan seringkali dikelola oleh perusahaan pendidikan serta bersifat komersil.

Hakwon, menurut Kim (2016), sangat memengaruhi kehidupan orangtua Koreaa Selatan, terutama para Ibu, yang secara tradisional mengawasi pendidikan anak-anak. Maka mencari informasi mengenai hakwon yang baik melalui diskusi dengan sesama orangtua atau membandingkannya di website menjadi sangat penting.

Memilih hakwon sangat penting bagi kemajuan anak-anak di sekolah. Bahkan, menurut Kim, seringkali orangtua sampai menunggu anak di luar hawkon atau menyambut anak-anak sepulang dari hakwon ketika larut malam. Dalam beberapa hal menurut Kim (2016), hadirnya hakwon sebagai kritik terhadap sekolah publik (hakkyo).

Konteks tersebut nampaknya yang ingin dikritisi di dalam salah satu episode drakor Extraordinary Attorney Woo. Panglima Tentara Pembebasan Anak-anak ingin membuat anak-anak sejenak terbebas dari situasi di mana anak harus terus belajar. Apalagi di drama tersebut juga dinarasikan betapa anak-anak ketika belajar sangat minim waktu istirahat. Bahkan untuk sekadar ke toilet pun dibatasi.

Bisa dibayangkan betapa mereka tidak punya waktu untuk bermain. Orangtua berharap ke tempat kursus agar anak-anak siap memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi, universitas unggulan, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang baik.

Konteks Saat Ini
Merujuk pada situasi yang coba digambarkan dalam drama tersebut juga situasi aktual saat ini tuntutan agar anak bekerja keras dan kompetitif memang semakin mengemuka. Ada beragam tuntutan bagi anak untuk menguasai beragam keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

Seperti yang disampaikan oleh Joel Spring (2015) seruan global yang semakin intens disampaikan oleh para politisi, pegiat bisnis dan pendidik yaitu “pergi ke sekolah untuk mempelajari keterampilan yang akan memberi anda pekerjaan”. Di sekolah memang kemudian diajarkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.

Persaingan sekolah untuk meningkatkan ketrampilan para siswa semakin tertantang dengan beberapa perusahaan yang mementingkan keterampilan dibanding gelar akademik.

Laporan McKinsey Global Institute (202) bertajuk The Future of Work After Covid-19 menyebutkan Google, Hilton Hotels, Ernst & Young, dan IBM merupakan beberapa perusahaan yang memiliki kebijakan baru terkait tenaga kerja baru tanpa gelar sarjana. Kondisi tersebut, dalam beberapa hal memacu sekolah untuk lebih teguh menginternalisasi keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.

Hal yang problematis, jika sekolah kemudian dituntut terlalu dominan untuk mengikuti laju dunia kerja. Atau anak-anak dipaksa untuk melakukan berbagai aktivitas yang dalam porsi tertentu membawa tekanan mental bagi mereka. Misal, ruang bermain anak semakin terbatasi. Atau anak-anak lebih seru menghabiskan waktu luang menatap layar. Ruang sosialisasi mengenal teman-teman dan lingkungan semakin terbatas.

Di sisi lain kasus perundungan, pelecehan seksual, kekerasan masih menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Belum lagi ada ketimpangan akses, teknologi, tenaga pendidik, dan infrastruktur pendidikan lainnya.

Meski sudah pasti tidak bisa menghindari betapa kompetitifnya dunia kerja hari ini. Situasi semakin rumit karena terbatasnya lapangan kerja. Ditambah, dalam banyak hal apa yang dikerjakan juga tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki.

Dengan ragam tuntutan keterampilan yang dibutuhkan, menjadi penting untuk menyediakan ruang tumbuh pendidikan yang tidak semata mengakomodasi anak-anak untuk terampil dan berpengetahuan, tetapi menjadi sosok mengenali diri, keinginan, dan orientasi di masa yang akan datang.

Baca Juga: koran-sindo.com





(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1375 seconds (0.1#10.140)