Kenapa ‘Amplop Kiai’ Menggoyang Suharso Monoarfa? Ini Kata Pengamat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Suharso Monoarfa didesak mundur dari posisinya sebagai ketua umum PPP. Desakan disampaikan tiga majelis PPP secara tertulis kendati Suharso mengaku belum menerima surat resmi.
Direktur Eksekutif Public Trust Institute Pahrudin HM menilai apa yang terjadi pada PPP hari ini memang dimulai dari ucapan Suharso soal amplop kiai. Tetapi sesungguhnya PPP sendiri memang partai yang rentan konflik.
"Sejarah politik PPP memang penuh dengan gejolak, bukan saat ini saja. Keragaman kelompok dan ketiadaan figur kuat pemersatu jadi faktor utama yang membuat PPP rentan konflik. Ini diperkuat lagi dengan kepentingan politik 2024," ujar Pahrudin, Kamis (25/8/2022).
Ia menyebutkan posisi Suharso Monoarfa sangat rentan tergeser karena beberapa faktor. Pertama, kursi ketua umum diperoleh Suharso tidak dengan mulus atau proses pergantian kekuasaan yang lazim. Posisi itu diperoleh setelah ketua umum sebelumnya tersangkut masalah hukum.
"Kedua, karena ketidakwajaran tersebut tentu Suharso tidak didukung solid oleh insan-insan PPP di seluruh Indonesia," terang Pahrudin.
Ketiga, kata dia jumlah kursi PPP di senayan sangat diperhitungkan untuk politik 2024 sehingga akan ada pengaruh internal dan eksternal untuk dukungan politik 2024.
"Sejarah PPP yang penuh konflik dan keragaman kelompok plus tanpa figur kuat pemersatu membuat saya ragu soliditas partai ini menuju 2024," ucap Pahrudin.
Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menyebutkan tekanan politik Majelis Syariah, Majelis Pertimbangan dan Majelis Kehormatan yang meminta Suharso Monoarfa mundur menandakan jatuhnya legitimasi politik Suharso di internal PPP.
"Jika basis legitimasi politiknya di internal partai sudah jatuh, yang bisa menyelamatkan Suharso hanya satu, yakni kekuasaan. Tapi lagi-lagi, hal itu juga mengandung risiko besar berupa rapuhnya mesin politik PPP di akar rumput. PPP harus memilih, mempertahankan ketum dengan harapan bisa mengembalikan kepercayaan publik, atau harus mempertaruhkan nasib dan keselamatan partainya," kata Umam.
Apalagi kata dia dengan pernyataan "amplop kiai" Suharso ini mengandung efek destruktif yang besar. "Di mata para Kiai yang selama ini bernaung dan mendedikasikan perjuangannya untuk PPP, statement amplop kiai memang akan membuat kesan buruk melekat pada individu Suharso, selaku Ketum PPP," ungkap Khoirul Umam.
Jika dampak negatifnya terus bergulir dan sulit dimitigasi, maka hal itu berpotensi menggerus akar politik PPP yang tersebar di banyak jaringan pesantren lokal.
Kondisi ini kata dia menjadi riskan, karena elektabilitas PPP di Pemilu 2019 lalu hanya 4,52% atau 0,52% lebih besar dari parliamentary threshold 4%.
"Artinya, jika PPP terus melakukan blunder, dan kesan buruk yang menempel ke figur Suharso akibat statement yang dinilai merendahkan martabat kiai itu sulit dibendung, maka hal itu berpotensi mendegradasi elektabilitas partainya. Bisa-bisa PPP masuk zona degradasi dan terlempar dari jajaran partai Senayan," terang Umam.
Direktur Eksekutif Public Trust Institute Pahrudin HM menilai apa yang terjadi pada PPP hari ini memang dimulai dari ucapan Suharso soal amplop kiai. Tetapi sesungguhnya PPP sendiri memang partai yang rentan konflik.
"Sejarah politik PPP memang penuh dengan gejolak, bukan saat ini saja. Keragaman kelompok dan ketiadaan figur kuat pemersatu jadi faktor utama yang membuat PPP rentan konflik. Ini diperkuat lagi dengan kepentingan politik 2024," ujar Pahrudin, Kamis (25/8/2022).
Ia menyebutkan posisi Suharso Monoarfa sangat rentan tergeser karena beberapa faktor. Pertama, kursi ketua umum diperoleh Suharso tidak dengan mulus atau proses pergantian kekuasaan yang lazim. Posisi itu diperoleh setelah ketua umum sebelumnya tersangkut masalah hukum.
"Kedua, karena ketidakwajaran tersebut tentu Suharso tidak didukung solid oleh insan-insan PPP di seluruh Indonesia," terang Pahrudin.
Ketiga, kata dia jumlah kursi PPP di senayan sangat diperhitungkan untuk politik 2024 sehingga akan ada pengaruh internal dan eksternal untuk dukungan politik 2024.
"Sejarah PPP yang penuh konflik dan keragaman kelompok plus tanpa figur kuat pemersatu membuat saya ragu soliditas partai ini menuju 2024," ucap Pahrudin.
Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menyebutkan tekanan politik Majelis Syariah, Majelis Pertimbangan dan Majelis Kehormatan yang meminta Suharso Monoarfa mundur menandakan jatuhnya legitimasi politik Suharso di internal PPP.
"Jika basis legitimasi politiknya di internal partai sudah jatuh, yang bisa menyelamatkan Suharso hanya satu, yakni kekuasaan. Tapi lagi-lagi, hal itu juga mengandung risiko besar berupa rapuhnya mesin politik PPP di akar rumput. PPP harus memilih, mempertahankan ketum dengan harapan bisa mengembalikan kepercayaan publik, atau harus mempertaruhkan nasib dan keselamatan partainya," kata Umam.
Apalagi kata dia dengan pernyataan "amplop kiai" Suharso ini mengandung efek destruktif yang besar. "Di mata para Kiai yang selama ini bernaung dan mendedikasikan perjuangannya untuk PPP, statement amplop kiai memang akan membuat kesan buruk melekat pada individu Suharso, selaku Ketum PPP," ungkap Khoirul Umam.
Jika dampak negatifnya terus bergulir dan sulit dimitigasi, maka hal itu berpotensi menggerus akar politik PPP yang tersebar di banyak jaringan pesantren lokal.
Kondisi ini kata dia menjadi riskan, karena elektabilitas PPP di Pemilu 2019 lalu hanya 4,52% atau 0,52% lebih besar dari parliamentary threshold 4%.
"Artinya, jika PPP terus melakukan blunder, dan kesan buruk yang menempel ke figur Suharso akibat statement yang dinilai merendahkan martabat kiai itu sulit dibendung, maka hal itu berpotensi mendegradasi elektabilitas partainya. Bisa-bisa PPP masuk zona degradasi dan terlempar dari jajaran partai Senayan," terang Umam.
(muh)