Tunda Pembahasan RKUHP, Prioritaskan Reformasi Polri
loading...
A
A
A
Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang.
Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.
Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan.
Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik.
Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power.
Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias.
Mari kita bayangkan seandainya RKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RKUHP telah disahkan.
Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang.
Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.
Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan.
Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik.
Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power.
Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias.
Mari kita bayangkan seandainya RKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RKUHP telah disahkan.
Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.