Omnibus Law dan Ongkos PHK
loading...
A
A
A
Kekakuan itu pada gilirannya menciptakan iklim investasi buruk dan mahal. Muaranya jelas, lapangan kerja langka, angka pengangguran meningkat. Kondisi ini terkonfirmasi pada data pengangguran Indonesia pada Februari 2020 meningkat 60 ribu sehingga menjadi 6,88 juta dari 6,82 juta pada tahun sebelumnya.
Harapan Baru?
Mengalir dari uraian di atas, omnibus law sejatinya menjadi strukutur kesempatan baru untuk menata ulang regulasi ketenagakerjaan kita, khususnya klausul pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), uang pengganti hak (UPH). Sayangnya, RUU CK yang hendak menata ulang ketentuan ongkos PHK justru menjadi salah satu sumber petaka bagi investor dalam operasional usaha secara produktif dan memberi kontribusi bagi banyak pihak.
UU No.13/2003 mewajibkan perusahaan untuk membayar pesangon, UPMK dan UPH jika terjadi PHK. Memang RUU CK mengatur ulang bahwa pemberi kerja hanya membayar pesangon dan/atau UMPK. Sementara, UPH direposisi lantaran sudah ter-cover dalam jaminan hari tua dan jaminan kesehatan nasional.
Ketentuan ini sangat mengurangi beban pemberi kerja dalam proses PHK. Selain penghapusan UPH, RUU ini menetapkan nilai nominal yang sama atas semua jenis PHK. Pada titik ini, RUU berintensi untuk menurunkan ongkos PHK sebagai salah satu beban investasi Indonesia selama ini.
Namun, RUU CK mengabaikan sejumlah aspek substansial dan tetap mewarisi masalah UU No. 13/2003. Para penyusun RUU tersebut tidak membedakan biaya PHK berdasarkan alasan pemberhentian karena alasan/faktor dari sisi pekerja (pidana, sakit) atau sisi perusahaan (efisiensi, paiilit). Ketiadaan pembeda atas penyebab PHK justru berpotensi membebani pekerja, pemberi kerja, dan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
Selain itu, penetapan nominal UMPK berdasarkan masa kerja sesungguhnya memberi ruang ketidakadilan bagi pekerja dengan masa kerja 21 tahun atau lebih. Penetapan ini mengabaikan kenyataan di lapangan bahwa ada pekerja memiliki masa kerja tiga puluhan tahun.
Sebagai langkah penyeimbang dan mitigasi bagi kehilangan hak pekerja, RUU ini menambah dua norma baru. Pertama, Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP). Penambahan klausul JKP sesungguhnya mengikut trend negara-negara yang mempraktikkan nilai pesangon kecil. Pesangon kecil dan JKP menghadirkan skenario “sama-sama untung” antara pekerja dan pemberi kerja. Iuran JKP yang dibayar setiap bulan tidak membebani pekerja dan pemberi kerja jika terjadi PHK.
Persoalannya, penetapan JKP ini berpotensi menciptakan double pay bagi perusahaan yang menangung JKP karyawannya. Karena itu, peraturan pelaksanaan klausul ini perlu mengatur sedemikian sehingga JKP ini tidak menimbulkan beban bagi perusahaan dan pekerja.
Kedua, uang penghargaan lainnya. Nominalnya ditetapkan berdasarkan masa kerja. Selain sebagai pemanis, penetapan ini tampaknya ingin menetapkan basis legal bagi praktik pemberian bonus (fee) di sejumlah perusahaan selama ini. Namun, masa kerja sebagai dasar pemberian penghargaan ini bertentangan upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja berikut daya saing perusahaan.
Pada umumnya sektor usaha yang memberikan uang penghargaan kepada karyawannya menjadikan hal tersebut sebagai instrumen untuk memacu produktivitas dan performa tenaga kerja. Dasar pemberiannya pun tergantung pada performa atau beban kerja pekerja.
Penetapan uang penghargaan tanpa fleksibilitas atau perhatian pada point tersebut berpotensi membebani perusahaan berkali lipat, utamanya bagi perusahaan yang sudah memiliki sistem kepersonaliaan yang juga sudah mencakup point penghargaan berdasarkan performa pekerja.
Harapan Baru?
Mengalir dari uraian di atas, omnibus law sejatinya menjadi strukutur kesempatan baru untuk menata ulang regulasi ketenagakerjaan kita, khususnya klausul pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), uang pengganti hak (UPH). Sayangnya, RUU CK yang hendak menata ulang ketentuan ongkos PHK justru menjadi salah satu sumber petaka bagi investor dalam operasional usaha secara produktif dan memberi kontribusi bagi banyak pihak.
UU No.13/2003 mewajibkan perusahaan untuk membayar pesangon, UPMK dan UPH jika terjadi PHK. Memang RUU CK mengatur ulang bahwa pemberi kerja hanya membayar pesangon dan/atau UMPK. Sementara, UPH direposisi lantaran sudah ter-cover dalam jaminan hari tua dan jaminan kesehatan nasional.
Ketentuan ini sangat mengurangi beban pemberi kerja dalam proses PHK. Selain penghapusan UPH, RUU ini menetapkan nilai nominal yang sama atas semua jenis PHK. Pada titik ini, RUU berintensi untuk menurunkan ongkos PHK sebagai salah satu beban investasi Indonesia selama ini.
Namun, RUU CK mengabaikan sejumlah aspek substansial dan tetap mewarisi masalah UU No. 13/2003. Para penyusun RUU tersebut tidak membedakan biaya PHK berdasarkan alasan pemberhentian karena alasan/faktor dari sisi pekerja (pidana, sakit) atau sisi perusahaan (efisiensi, paiilit). Ketiadaan pembeda atas penyebab PHK justru berpotensi membebani pekerja, pemberi kerja, dan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
Selain itu, penetapan nominal UMPK berdasarkan masa kerja sesungguhnya memberi ruang ketidakadilan bagi pekerja dengan masa kerja 21 tahun atau lebih. Penetapan ini mengabaikan kenyataan di lapangan bahwa ada pekerja memiliki masa kerja tiga puluhan tahun.
Sebagai langkah penyeimbang dan mitigasi bagi kehilangan hak pekerja, RUU ini menambah dua norma baru. Pertama, Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP). Penambahan klausul JKP sesungguhnya mengikut trend negara-negara yang mempraktikkan nilai pesangon kecil. Pesangon kecil dan JKP menghadirkan skenario “sama-sama untung” antara pekerja dan pemberi kerja. Iuran JKP yang dibayar setiap bulan tidak membebani pekerja dan pemberi kerja jika terjadi PHK.
Persoalannya, penetapan JKP ini berpotensi menciptakan double pay bagi perusahaan yang menangung JKP karyawannya. Karena itu, peraturan pelaksanaan klausul ini perlu mengatur sedemikian sehingga JKP ini tidak menimbulkan beban bagi perusahaan dan pekerja.
Kedua, uang penghargaan lainnya. Nominalnya ditetapkan berdasarkan masa kerja. Selain sebagai pemanis, penetapan ini tampaknya ingin menetapkan basis legal bagi praktik pemberian bonus (fee) di sejumlah perusahaan selama ini. Namun, masa kerja sebagai dasar pemberian penghargaan ini bertentangan upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja berikut daya saing perusahaan.
Pada umumnya sektor usaha yang memberikan uang penghargaan kepada karyawannya menjadikan hal tersebut sebagai instrumen untuk memacu produktivitas dan performa tenaga kerja. Dasar pemberiannya pun tergantung pada performa atau beban kerja pekerja.
Penetapan uang penghargaan tanpa fleksibilitas atau perhatian pada point tersebut berpotensi membebani perusahaan berkali lipat, utamanya bagi perusahaan yang sudah memiliki sistem kepersonaliaan yang juga sudah mencakup point penghargaan berdasarkan performa pekerja.