Organisasi Profesi dan Fenomena 'Less is More'
loading...
A
A
A
Iqbal Mochtar
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
ERA demokrasi menyimpan “keberkahan ngeri-ngeri sedap”. Orang kian bebas mengekspresikan opini dan kiprah. Imbasnya luas; termasuk terhadap dunia organisasi kedokteran. Hingga saat ini, organisasi profesi dokter yang diakui di Indonesia hanya satu; namanya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Namun akhir-akhir ini muncul kumpulan-kumpulan yang mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi atau setidaknya membawa misi profesi.
Setelah Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), baru-baru ini muncul Perhimpunan Dokter Susah Praktik (PDSP). Mungkin setelahnya akan muncul varian-varian lain. Namanya bisa saja : Ikatan Dokter Gampang Praktek (IDGAP), Perhimpunan Dokter Belum Selesai STR (PDBSS), Ikatan Dokter Pencinta Indomie (IDPI) atau Perhimpunan Dokter Penggemar Kopi Klotok (PDPKK). Kalau benar varian-varian ini muncul, tidak ada yang bisa melarang; namanya juga demokrasi.
Bagi teritori sosial atau politik, kemunculan beragam organisasi bisa menjadi green signal moncernya demokrasi. Alasannya, banyaknya organisasi tegak lurus dengan banyaknya saluran aspirasi. Tersedianya beragam channel of communication bisa meredam konstipasi aspirasi. Ini menjadi alasan mengapa organisasi politik dan organisasi massa terus berkembang di negeri ini. Per-2019 saja, hampir 500.000 organisasi tercatat di negeri ini. Sebagian bersorak riang; katanya, ini tanda demokrasi berjalan.
Lain lubuk, lain belalang. Bila ranah sosial dan politik bertepuk dada dengan banyaknya organisasi, kemunculan banyak organisasi (multi-organisasi) dalam satu bidang profesi justru menjadi prospek suram profesionalisme. Alih-alih mengindikasikan moncernya demokrasi, multi-organisasi ini justru memantik ambivalensi profesionalisme yang ujung-ujungnya menggerus kualitas dan kuantitas pelayanan profesional. Terkait dokter, pembiaran multi-organisasi profesi dokter bukan hanya mencederai core value kesejawatan dokter tetapi juga memantik degradasi profesionalisme dokter.
Pertama, bila organisasi profesi dokter dibiarkan lebih dari satu, akan muncul potensi kegaduhan dan keretakan menyeluruh berbagai organisasi profesi di Indonesia. Kasarnya, efeknya bukan hanya pada organisasi dokter tetapi juga organisasi profesi kesehatan lain atau bahkan organisasi profesi non-kesehatan. Di Indonesia ini banyak jenis profesi kesehatan yang masing-masing memiliki organisasi profesi. Dokter bergabung di IDI, dokter gigi pada PDGI, perawat dengan PPNI, ahli kesehatan masyarakat bernaung pada IAKMI dan apoteker memiliki IAI.
Setiap organisasi ini punya lagi sub-organisasi; misalnya dibawah IDI ada banyak perhimpunan dokter spesialis. Kalau organisasi profesi dokter dibiarkan lebih dari satu, efek multi-organisasi ini akan menjalar ke organisasi lain. Akibatnya, bukan hanya organisasi profesi dokter yang lebih dari satu, tetapi juga organisasi profesi perawat, dokter gigi, ahli kesehatan masyarakat dan apoteker. Imbas lanjutnya terjadi pada level sub-organisasi; tiap perhimpunan yang ada di bawah organisasi juga bisa retak dan membentuk kelompok baru. Timbullah fenomena general fractictionalization of professions. Ujung-ujungnya terjadi degradasi profesionalisme dunia kesehatan. Lantas siapa yang bertanggung jawab dengan general fractictionalization of professions ini?
Kedua, organisasi profesi amat beda dengan organisasi masyarakat. Pada organisasi profesi berkumpul individu yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus, yang tidak dimiliki masyarakat umum. Mereka punya special entity and characteristics; memiliki hak, wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi dan pekerjaan tertentu. Dalam mengentaskan ini, mereka harus merekatkan diri pada nilai-nilai profesional, etika dan moral yang telah mereka disepakati. Nilai-nilai ini seharusnya standar; tidak boleh mengalami ambivalensi atau disparitas. Bila terdapat multi-organisasi dalam satu profesi, sangat mungkin timbul perbedaan interpretasi nilai-nilai profesional, etika dan moral. Organisasi A bisa saja menetapkan standar kerja profesi yang berbeda dengan organisasi B. Atau organisasi C akan menganut nilai etika yang berseberangan dengan organisasi D.
Kondisi ini sangat mungkin terjadi. Enggak usah jauh-jauh; saat ini saja IDI dengan tegas menyatakan tindakan cuci otak tidak dapat diterima, sementara sebuah organisasi pseudo-IDI menyatakan dapat menerima. Jelas ini standing position yang berbeda 180 derajat. Perbedaan pandangan antarorganisasi ini dapat berimbas pada persoalan-persoalan krusial, misalnya kelegalan aborsi dan ganja, kerja sama dokter dengan perusahaan farmasi atau izin praktik-praktek pseudo-sains. Setiap organisasi bisa saja memiliki opini berbeda; sebagian dokter setuju, sebagian menolak. Muncullah kebingungan publik; masyarakatpun gaduh.
Ketiga, isu representasi. Bila terdapat multi-organisasi dalam satu profesi, lantas organisasi mana yang harus menjadi representasi saat event formal? Siapa yang diberi wewenang mewakili kegiatan lobi dengan pemerintah atau stakeholders lain? Saat ini saja, di tengah wacana pembuatan UU Pendidikan Kedokteran dan Praktik kedokteran sejumlah kumpulan sudah grasu-grusu melakukan audiens dengan lembaga pemerintah sambil menisbahkan dirinya sebagai wakil organisasi profesi. Padahal boleh jadi mereka tidak mewakili profesi dan hanya mewakili kepentingan sendiri. Standing position internasional juga terpengaruh.
Lembaga internasional akan bingung harus berkiblat ke mana. Misalnya, saat untuk pengakuan kegiatan akreditasi pendidikan berkelanjutan di Indonesia atau lobi internasional. Multi-organisasi suatu profesi dianggap tidak relevan dan membingunkan. Makanya, World Medical Association baru-baru mempertegas bahwa mereka hanya mengakui satu organisasi profesi tiap negara. Mereka tidak mau tenggelam dalam kebingunan irelevan.
Intinya, per saat ini, multi-organisasi suatu profesi hanya menghasilkan lebih banyak mudharat dari manfaat. Fenomena multi-organisasi bukan hanya akan menggerus standar, nilai dan etika profesi tetapi juga menginduksi degradasi kualitas dan kuantitas pelayanan profesional. Insan profesi akan terpecah dan terfriksi. Ujung-ujungnya, lembaga pemerintah akan mendapat image negatif; mereka dianggap pemicu pemecahan profesi. Memang untuk organisasi profesi, adagium demokrasi umum tidak berlaku; bahwa semakin banyak organisasi semakin baik. Justru ambien sebaliknya yang terjadi; semakin sedikit organisasi profesi semakin baik.
Semakin tunggal perkumpulan profesi semakin baik. Organisasi profesi tidak perlu banyak-banyak. Semua kepentingan anggota organisasi seharusnya bisa dituntaskan lewat musyawarah dan kebersamaan dalam satu organisasi, tentunya dengan spirit inklusifme, kolaborasi dan win-win solution. Kasarnya, dalam ambien organisasi profesi berlaku fenomena : less is more. Jumlah yang sedikit justru lebih baik dan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan efektif.
Baca Juga: koran-sindo.com
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
ERA demokrasi menyimpan “keberkahan ngeri-ngeri sedap”. Orang kian bebas mengekspresikan opini dan kiprah. Imbasnya luas; termasuk terhadap dunia organisasi kedokteran. Hingga saat ini, organisasi profesi dokter yang diakui di Indonesia hanya satu; namanya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Namun akhir-akhir ini muncul kumpulan-kumpulan yang mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi atau setidaknya membawa misi profesi.
Setelah Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), baru-baru ini muncul Perhimpunan Dokter Susah Praktik (PDSP). Mungkin setelahnya akan muncul varian-varian lain. Namanya bisa saja : Ikatan Dokter Gampang Praktek (IDGAP), Perhimpunan Dokter Belum Selesai STR (PDBSS), Ikatan Dokter Pencinta Indomie (IDPI) atau Perhimpunan Dokter Penggemar Kopi Klotok (PDPKK). Kalau benar varian-varian ini muncul, tidak ada yang bisa melarang; namanya juga demokrasi.
Bagi teritori sosial atau politik, kemunculan beragam organisasi bisa menjadi green signal moncernya demokrasi. Alasannya, banyaknya organisasi tegak lurus dengan banyaknya saluran aspirasi. Tersedianya beragam channel of communication bisa meredam konstipasi aspirasi. Ini menjadi alasan mengapa organisasi politik dan organisasi massa terus berkembang di negeri ini. Per-2019 saja, hampir 500.000 organisasi tercatat di negeri ini. Sebagian bersorak riang; katanya, ini tanda demokrasi berjalan.
Lain lubuk, lain belalang. Bila ranah sosial dan politik bertepuk dada dengan banyaknya organisasi, kemunculan banyak organisasi (multi-organisasi) dalam satu bidang profesi justru menjadi prospek suram profesionalisme. Alih-alih mengindikasikan moncernya demokrasi, multi-organisasi ini justru memantik ambivalensi profesionalisme yang ujung-ujungnya menggerus kualitas dan kuantitas pelayanan profesional. Terkait dokter, pembiaran multi-organisasi profesi dokter bukan hanya mencederai core value kesejawatan dokter tetapi juga memantik degradasi profesionalisme dokter.
Pertama, bila organisasi profesi dokter dibiarkan lebih dari satu, akan muncul potensi kegaduhan dan keretakan menyeluruh berbagai organisasi profesi di Indonesia. Kasarnya, efeknya bukan hanya pada organisasi dokter tetapi juga organisasi profesi kesehatan lain atau bahkan organisasi profesi non-kesehatan. Di Indonesia ini banyak jenis profesi kesehatan yang masing-masing memiliki organisasi profesi. Dokter bergabung di IDI, dokter gigi pada PDGI, perawat dengan PPNI, ahli kesehatan masyarakat bernaung pada IAKMI dan apoteker memiliki IAI.
Setiap organisasi ini punya lagi sub-organisasi; misalnya dibawah IDI ada banyak perhimpunan dokter spesialis. Kalau organisasi profesi dokter dibiarkan lebih dari satu, efek multi-organisasi ini akan menjalar ke organisasi lain. Akibatnya, bukan hanya organisasi profesi dokter yang lebih dari satu, tetapi juga organisasi profesi perawat, dokter gigi, ahli kesehatan masyarakat dan apoteker. Imbas lanjutnya terjadi pada level sub-organisasi; tiap perhimpunan yang ada di bawah organisasi juga bisa retak dan membentuk kelompok baru. Timbullah fenomena general fractictionalization of professions. Ujung-ujungnya terjadi degradasi profesionalisme dunia kesehatan. Lantas siapa yang bertanggung jawab dengan general fractictionalization of professions ini?
Kedua, organisasi profesi amat beda dengan organisasi masyarakat. Pada organisasi profesi berkumpul individu yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus, yang tidak dimiliki masyarakat umum. Mereka punya special entity and characteristics; memiliki hak, wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi dan pekerjaan tertentu. Dalam mengentaskan ini, mereka harus merekatkan diri pada nilai-nilai profesional, etika dan moral yang telah mereka disepakati. Nilai-nilai ini seharusnya standar; tidak boleh mengalami ambivalensi atau disparitas. Bila terdapat multi-organisasi dalam satu profesi, sangat mungkin timbul perbedaan interpretasi nilai-nilai profesional, etika dan moral. Organisasi A bisa saja menetapkan standar kerja profesi yang berbeda dengan organisasi B. Atau organisasi C akan menganut nilai etika yang berseberangan dengan organisasi D.
Kondisi ini sangat mungkin terjadi. Enggak usah jauh-jauh; saat ini saja IDI dengan tegas menyatakan tindakan cuci otak tidak dapat diterima, sementara sebuah organisasi pseudo-IDI menyatakan dapat menerima. Jelas ini standing position yang berbeda 180 derajat. Perbedaan pandangan antarorganisasi ini dapat berimbas pada persoalan-persoalan krusial, misalnya kelegalan aborsi dan ganja, kerja sama dokter dengan perusahaan farmasi atau izin praktik-praktek pseudo-sains. Setiap organisasi bisa saja memiliki opini berbeda; sebagian dokter setuju, sebagian menolak. Muncullah kebingungan publik; masyarakatpun gaduh.
Ketiga, isu representasi. Bila terdapat multi-organisasi dalam satu profesi, lantas organisasi mana yang harus menjadi representasi saat event formal? Siapa yang diberi wewenang mewakili kegiatan lobi dengan pemerintah atau stakeholders lain? Saat ini saja, di tengah wacana pembuatan UU Pendidikan Kedokteran dan Praktik kedokteran sejumlah kumpulan sudah grasu-grusu melakukan audiens dengan lembaga pemerintah sambil menisbahkan dirinya sebagai wakil organisasi profesi. Padahal boleh jadi mereka tidak mewakili profesi dan hanya mewakili kepentingan sendiri. Standing position internasional juga terpengaruh.
Lembaga internasional akan bingung harus berkiblat ke mana. Misalnya, saat untuk pengakuan kegiatan akreditasi pendidikan berkelanjutan di Indonesia atau lobi internasional. Multi-organisasi suatu profesi dianggap tidak relevan dan membingunkan. Makanya, World Medical Association baru-baru mempertegas bahwa mereka hanya mengakui satu organisasi profesi tiap negara. Mereka tidak mau tenggelam dalam kebingunan irelevan.
Intinya, per saat ini, multi-organisasi suatu profesi hanya menghasilkan lebih banyak mudharat dari manfaat. Fenomena multi-organisasi bukan hanya akan menggerus standar, nilai dan etika profesi tetapi juga menginduksi degradasi kualitas dan kuantitas pelayanan profesional. Insan profesi akan terpecah dan terfriksi. Ujung-ujungnya, lembaga pemerintah akan mendapat image negatif; mereka dianggap pemicu pemecahan profesi. Memang untuk organisasi profesi, adagium demokrasi umum tidak berlaku; bahwa semakin banyak organisasi semakin baik. Justru ambien sebaliknya yang terjadi; semakin sedikit organisasi profesi semakin baik.
Semakin tunggal perkumpulan profesi semakin baik. Organisasi profesi tidak perlu banyak-banyak. Semua kepentingan anggota organisasi seharusnya bisa dituntaskan lewat musyawarah dan kebersamaan dalam satu organisasi, tentunya dengan spirit inklusifme, kolaborasi dan win-win solution. Kasarnya, dalam ambien organisasi profesi berlaku fenomena : less is more. Jumlah yang sedikit justru lebih baik dan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan efektif.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)