7 Habib yang Memiliki Peran dalam Kemerdekaan RI, Nomor 5 Ciptakan Mars Hari Merdeka
loading...
A
A
A
Sultan Hamid II lalu menamatkan belajar di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda. Ia meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Setelah lulus pada 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL berpangkat Letnan Dua.
Pada 17 Desember 1949, Sultan Hamid II dipilih Presiden Soekarno masuk dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) tetapi tanpa adanya portofolio atau Menteri Negara Zonder Portofolio. Ia kemudian ditugaskan merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara.
Pada 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Sebagai ketua adalah Muhammad Yamin, dan Anggota Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Dalam prosesnya, muncul dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Namun pemerintah dan DPR kemudian memilih rancangan Sultan Hamid II. Rancangan itu kemudian disempurnakan oleh Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, dengan mengganti pita yang dicengkeram Garuda. Dari semula pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Rancangan Lambang Negara juga kembali disempurnakan dengan mempertimbangan masukan-masukan dari banyak pihak, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978.
7. Al Habib Ahmad Assegaf
Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf lahir di Syihr, Hadramaut pada 1879. Ia merupakan seorang ulama, sastrawan, dan pendidik terkemuka. Dia juga merupakan salah satu pendiri dan pengurus Rabithah Alawiyah, organisasi yang bertanggung jawab mencatat dan menghimpun keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia.
Saat usia 4 tahun, Habib Ahmad Assegaf dibawa orang tuanya ke Kota Seiwun yang terkenal sebagai penghasil ulama besar dan shalihin. Di kota ilmu ini, ia belajar ushuluddin, fiqh, tata bahasa, sastra, dan tasawuf.
Untuk memenuhi rasa haus akan ilmu, Habib Ahmad Assegaf kemudian pergi ke Tarim yang juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampir setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu berguru ke sejumlah ulama, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, dan Habib Muhammad bin Salim As-Siri.
Dari catatan sejarah, Habib Ahmad Assegaf datang ke Indonesia pada 1908 untuk mengunjungi saudaranya Sayyid Muhammad binh Abdullah bin Muhsin Assegaf di Pulau Bali. Namun ia kemudian memutuskan menetap di Indonesia.
Pada 17 Desember 1949, Sultan Hamid II dipilih Presiden Soekarno masuk dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) tetapi tanpa adanya portofolio atau Menteri Negara Zonder Portofolio. Ia kemudian ditugaskan merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara.
Pada 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Sebagai ketua adalah Muhammad Yamin, dan Anggota Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Dalam prosesnya, muncul dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Namun pemerintah dan DPR kemudian memilih rancangan Sultan Hamid II. Rancangan itu kemudian disempurnakan oleh Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, dengan mengganti pita yang dicengkeram Garuda. Dari semula pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Rancangan Lambang Negara juga kembali disempurnakan dengan mempertimbangan masukan-masukan dari banyak pihak, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978.
7. Al Habib Ahmad Assegaf
Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf lahir di Syihr, Hadramaut pada 1879. Ia merupakan seorang ulama, sastrawan, dan pendidik terkemuka. Dia juga merupakan salah satu pendiri dan pengurus Rabithah Alawiyah, organisasi yang bertanggung jawab mencatat dan menghimpun keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia.
Saat usia 4 tahun, Habib Ahmad Assegaf dibawa orang tuanya ke Kota Seiwun yang terkenal sebagai penghasil ulama besar dan shalihin. Di kota ilmu ini, ia belajar ushuluddin, fiqh, tata bahasa, sastra, dan tasawuf.
Untuk memenuhi rasa haus akan ilmu, Habib Ahmad Assegaf kemudian pergi ke Tarim yang juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampir setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu berguru ke sejumlah ulama, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, dan Habib Muhammad bin Salim As-Siri.
Dari catatan sejarah, Habib Ahmad Assegaf datang ke Indonesia pada 1908 untuk mengunjungi saudaranya Sayyid Muhammad binh Abdullah bin Muhsin Assegaf di Pulau Bali. Namun ia kemudian memutuskan menetap di Indonesia.