Ketum PKHMK Risma Situmorang Sandang Gelar Doktor Ilmu Hukum, Ini Judul Disertasinya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) Risma Situmorang menyandang gelar doktor ilmu hukum setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Medis yang Berkeadilan Menuju Pembaruan Hukum Medis Nasional”. Demikian disampaikan Rektor Universitas Tarumanagara (Untar) Agustinus Purna Irawan.
“Yang bersangkitan [Risma Situmorang] dinyatakan lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan,” kata Agustinus dalam sidang terbuka seperti dikutip dalam keterangannya, Sabtu 30 Juli 2022 malam.
Adapun inti dari disertasi Risma Situmorang yang disampaikan dalam sidang terbuka secara hybrid itu, yakni perlu membentuk Pengadilan Medis. Ia menjelaskan, penyelesaian sengketa medis saat ini berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 29 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 60 huruf f UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (RS).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 14 UU Praktik Kedokteran, kata Risma, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menerima pengaduan serta memeriksa dan menentukan ada tidaknya kesalahan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis dan menetapkan sanksi.
Penyelesaian sengketa medis juga dapat dilakukan di peradilan umum, melaporkan kepada polisi jika dugaan malpraktik medis sudah memenuhi unsur-unsur pidana, serta dapat menempuh penyelesaian mediasi.
Namun, penyelesaian sengketa medis di MKDKI melahirkan berbagai persoalan. Pasalnya, belum memenuhi keadilan etis bersifat utilitis serta tidak terpenuhinya keadilan prosedural dan substansial.
Tidak terpenuhinya keadilan prosedural akibat prosesnya bertele-tele atau memakan waktu relatif lama, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan pengadu tidak hadir pada saat proses pemeriksaan teradu. Sedangkan secara substansial, keadilan tidak terpenuhi karena putusan MKDKI tidak berakibat hukum dan tidak dapat dijadikan bukti, baik dalam perkara pidana dan perdata.
Persoalan penyelesaian sengketa medis juga terjadi di peradilan umum. Ia mencontohkan, putusan gugatan melawan hukum perkara Martini Nazif dan Muhammad Yunus serta perkara dr. Gorga Udjung. Pertimbangan ketiga perkara tersebut menggunakan ketentuan Pasal 1365, 1367, dan 1371 KUH Perdata.
Konsekuensinya, kata Risma, ukuran kerugian yang diderita oleh korban malpraktik tidak dapat terpenuhi secara immateriil, termasuk juga kerugian yang diderita dr. Gorga Udjung yang tidak terbukti melakukan malpraktik dan perbuatan melawan hukum.
Padahal, lanjut Risma, kerugian yang sesungguhnya tidak hanya materiil yang nyata-nyata rugi, namun mengabaikan kerugian immateriil merupakan perbuatan menginjak-injak keadian itu sendiri. Selain itu, tidak memanusiakan manusia, tidak menciptakan kebahagian, dan menghilangkan manfaat yang selama ini dikejar oleh para pencari keadilan.
Atas dasar itu, Risma mengatakan, diperlukan lembaga baru yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) bersifat ad hoc bernama Pengadilan Medis. Majelis hakimnya terdiri dari 2 hakim karier dan 3 hakim ad hoc. Hakim ad hoc terdiri dari 2 dokter dan 1 ahli hukum medis yang bisa seorang akademisi. Mereka sudah dibekali ilmu hukum medis.
Selain Pengadilan Medis, Risma juga mengusulkan agar Pemerintah dan DPR segera merevisi Pasal 66 Ayat (1), (2), dan (3) UU Praktik Kedokteran dan beberapa Perkonsil. Ini supaya proses hukum pidana dan tuntutan ganti rugi atas dugaan Malpraktek Tenaga Medis (dokter) baru bisa dilakukan jika Pengadilan Medis telah memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran penerapan ilmu kedokteran.
Saran lainnya, MKDKI cukup hanya memeriksa kesalahan penerapan disiplin ilmu kedokteran agar tidak mencapuradukkan lagi dengan pelanggaran hukum. Dalam disertasinya, Risma telah membuat Rancangan UU Pengadilan Medis.
“Disarankan kepada pemerintah dan DPR agar segera membentuk UU tentang Peradilan Medis,” katanya.
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III, Provinsi DKI Jakarta, Dr. Ir. Paristiyanti Nyrwardani, M.P., yang hadir dalam sidang Peomosi Doktor tersebut menyampaikan, baru kali ini ada seorang doktor yang memberi masukan RUU berikut drafnya. “Saya mengucapkan salut,” katanya.
“Yang bersangkitan [Risma Situmorang] dinyatakan lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan,” kata Agustinus dalam sidang terbuka seperti dikutip dalam keterangannya, Sabtu 30 Juli 2022 malam.
Adapun inti dari disertasi Risma Situmorang yang disampaikan dalam sidang terbuka secara hybrid itu, yakni perlu membentuk Pengadilan Medis. Ia menjelaskan, penyelesaian sengketa medis saat ini berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 29 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 60 huruf f UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (RS).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 14 UU Praktik Kedokteran, kata Risma, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menerima pengaduan serta memeriksa dan menentukan ada tidaknya kesalahan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis dan menetapkan sanksi.
Penyelesaian sengketa medis juga dapat dilakukan di peradilan umum, melaporkan kepada polisi jika dugaan malpraktik medis sudah memenuhi unsur-unsur pidana, serta dapat menempuh penyelesaian mediasi.
Namun, penyelesaian sengketa medis di MKDKI melahirkan berbagai persoalan. Pasalnya, belum memenuhi keadilan etis bersifat utilitis serta tidak terpenuhinya keadilan prosedural dan substansial.
Tidak terpenuhinya keadilan prosedural akibat prosesnya bertele-tele atau memakan waktu relatif lama, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan pengadu tidak hadir pada saat proses pemeriksaan teradu. Sedangkan secara substansial, keadilan tidak terpenuhi karena putusan MKDKI tidak berakibat hukum dan tidak dapat dijadikan bukti, baik dalam perkara pidana dan perdata.
Persoalan penyelesaian sengketa medis juga terjadi di peradilan umum. Ia mencontohkan, putusan gugatan melawan hukum perkara Martini Nazif dan Muhammad Yunus serta perkara dr. Gorga Udjung. Pertimbangan ketiga perkara tersebut menggunakan ketentuan Pasal 1365, 1367, dan 1371 KUH Perdata.
Konsekuensinya, kata Risma, ukuran kerugian yang diderita oleh korban malpraktik tidak dapat terpenuhi secara immateriil, termasuk juga kerugian yang diderita dr. Gorga Udjung yang tidak terbukti melakukan malpraktik dan perbuatan melawan hukum.
Padahal, lanjut Risma, kerugian yang sesungguhnya tidak hanya materiil yang nyata-nyata rugi, namun mengabaikan kerugian immateriil merupakan perbuatan menginjak-injak keadian itu sendiri. Selain itu, tidak memanusiakan manusia, tidak menciptakan kebahagian, dan menghilangkan manfaat yang selama ini dikejar oleh para pencari keadilan.
Atas dasar itu, Risma mengatakan, diperlukan lembaga baru yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) bersifat ad hoc bernama Pengadilan Medis. Majelis hakimnya terdiri dari 2 hakim karier dan 3 hakim ad hoc. Hakim ad hoc terdiri dari 2 dokter dan 1 ahli hukum medis yang bisa seorang akademisi. Mereka sudah dibekali ilmu hukum medis.
Selain Pengadilan Medis, Risma juga mengusulkan agar Pemerintah dan DPR segera merevisi Pasal 66 Ayat (1), (2), dan (3) UU Praktik Kedokteran dan beberapa Perkonsil. Ini supaya proses hukum pidana dan tuntutan ganti rugi atas dugaan Malpraktek Tenaga Medis (dokter) baru bisa dilakukan jika Pengadilan Medis telah memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran penerapan ilmu kedokteran.
Saran lainnya, MKDKI cukup hanya memeriksa kesalahan penerapan disiplin ilmu kedokteran agar tidak mencapuradukkan lagi dengan pelanggaran hukum. Dalam disertasinya, Risma telah membuat Rancangan UU Pengadilan Medis.
“Disarankan kepada pemerintah dan DPR agar segera membentuk UU tentang Peradilan Medis,” katanya.
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III, Provinsi DKI Jakarta, Dr. Ir. Paristiyanti Nyrwardani, M.P., yang hadir dalam sidang Peomosi Doktor tersebut menyampaikan, baru kali ini ada seorang doktor yang memberi masukan RUU berikut drafnya. “Saya mengucapkan salut,” katanya.
(mhd)