Elektabilitas KIB Rendah, Pengamat: Orientasi Pemilih ke Figur Bukan Partai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi partai politik (parpol) jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2024 dinilai belum efektif. Hal ini terbaca dari survei terbaru Development Technology Strategy (DTS) Indonesia pada 28 Juni-8 Juli 2022 dan dirilis 25 Juli 2022.
Seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digagas Partai Golkar, PAN, dan PPP, ketika disimulasikan mengusung pasangan capres Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar) dengan cawapres Zulkifli Hasan (Ketum PAN) hanya menorehkan elektabilitas acuan (baseline) di angka 1,4 persen.
Dalam perspektif yang ideal, sambung Muslimin, koalisi dini parpol bisa dimaknai positif, dalam pengertian mereka dapat menghadirkan gagasan, visi dan program yang jelas keberpihakannya kepada rakyat.
"Dan bisa jadi hal tersebut tidak dilihat para pendukung parpol KIB pada figur elite partai mereka, sehingga lebih memilih pasangan calon di luar KIB," tuturnya.
"Demokrasi memang butuh kontestasi nilai, bukan semata soal jabatan. Dengan menggalang koalisi sejak dini, mereka dapat membangun konsensus berbasis ide dengan kandidat capres yang mereka mau ajukan," sambungnya.
Namun demikian lanjutnya, koalisi dini parpol jelang 2024 bukan tanpa tantangan. Koalisi bisa bubar karena beragam faktor realitas atau dinamika politik yang terus berkembang atau berubah.
"Bisa saja nanti sebagian parpol meninggalkan kereta koalisi yang sekian waktu telah berjalan, lalu tiba-tiba melompat keluar, lantaran ada kue kekuasaan lain yang dianggap lebih menjanjikan," papar Muslimin.
Sebelumnya, menurut data survei DTS Indonesia, pemilih atau pendukung Partai Golkar, PAN, dan PPP justru melimpahkan suaranya ke pasangan capres-cawapres simulasi Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono dan Ganjar Pranowo-Puan Maharani.
Hasil simulasi pasangan capres Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Cawapres Ketum PAN Zulkifli Hasan, hanya menghasilkan tingkat keterpilihan acuan (baseline) sebesar 1,4 persen.
Pasangan calon ini juga hanya meraup suara pendukung Partai Golkar sebesar 3,9 persen, 2,4 persen dari pemilih PAN dan nol persen dari loyalis PPP.
Pemilih dari partai anggota KIB justru melimpahkan suaranya pada pasangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, yaitu sebesar 50 persen dari pemilih Golkar; 60,9 persen dari pemilih PPP dan 64,3 persen dari pemilih PAN.
Sementara pasangan Ganjar Pranowo-Puan Maharani dipilih oleh 24,2 persen pendukung Partai Golkar, 26,1 persen pendukung PPP dan 11,9 persen konstituen PAN.
Seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digagas Partai Golkar, PAN, dan PPP, ketika disimulasikan mengusung pasangan capres Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar) dengan cawapres Zulkifli Hasan (Ketum PAN) hanya menorehkan elektabilitas acuan (baseline) di angka 1,4 persen.
Dalam perspektif yang ideal, sambung Muslimin, koalisi dini parpol bisa dimaknai positif, dalam pengertian mereka dapat menghadirkan gagasan, visi dan program yang jelas keberpihakannya kepada rakyat.
"Dan bisa jadi hal tersebut tidak dilihat para pendukung parpol KIB pada figur elite partai mereka, sehingga lebih memilih pasangan calon di luar KIB," tuturnya.
"Demokrasi memang butuh kontestasi nilai, bukan semata soal jabatan. Dengan menggalang koalisi sejak dini, mereka dapat membangun konsensus berbasis ide dengan kandidat capres yang mereka mau ajukan," sambungnya.
Namun demikian lanjutnya, koalisi dini parpol jelang 2024 bukan tanpa tantangan. Koalisi bisa bubar karena beragam faktor realitas atau dinamika politik yang terus berkembang atau berubah.
"Bisa saja nanti sebagian parpol meninggalkan kereta koalisi yang sekian waktu telah berjalan, lalu tiba-tiba melompat keluar, lantaran ada kue kekuasaan lain yang dianggap lebih menjanjikan," papar Muslimin.
Sebelumnya, menurut data survei DTS Indonesia, pemilih atau pendukung Partai Golkar, PAN, dan PPP justru melimpahkan suaranya ke pasangan capres-cawapres simulasi Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono dan Ganjar Pranowo-Puan Maharani.
Hasil simulasi pasangan capres Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Cawapres Ketum PAN Zulkifli Hasan, hanya menghasilkan tingkat keterpilihan acuan (baseline) sebesar 1,4 persen.
Pasangan calon ini juga hanya meraup suara pendukung Partai Golkar sebesar 3,9 persen, 2,4 persen dari pemilih PAN dan nol persen dari loyalis PPP.
Pemilih dari partai anggota KIB justru melimpahkan suaranya pada pasangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, yaitu sebesar 50 persen dari pemilih Golkar; 60,9 persen dari pemilih PPP dan 64,3 persen dari pemilih PAN.
Sementara pasangan Ganjar Pranowo-Puan Maharani dipilih oleh 24,2 persen pendukung Partai Golkar, 26,1 persen pendukung PPP dan 11,9 persen konstituen PAN.
(maf)