Hoaks dan Konspirasi dalam Fenomena Penghakiman Publik
loading...
A
A
A
Vici Sofianna Putera
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
TANPA basa-basi, tujuan tulisan saya ini adalah untuk membahas kasus penembakan di Duren Tiga dari perspektif psikologi sosial. Ramai narasi di media sosial mengenai alternatif narasi kejadian penembakan yang dianggap lebih logis dibandingkan dengan kronologis yang diberikan oleh kepolisian secara resmi.
Ada yang mengatakan, penembakan terjadi karena motif perselingkuhan ataupun motif Brigadir J adalah orang yang memegang rahasia penting Irjen Ferdy Sambo sehingga perlu disingkirkan oleh Irjen Ferdy Sambo. Hold your opinion, ini bisa persekusi! Jangan terjebak perangkap ilusi kebenaran.
Kenapa persekusi? Karena narasi-narasi alternatif yang muncul di luar versi kepolisian juga belum berdasarkan fakta ilmiah, ini baru opini tanpa data. Pengacara keluarga Brigadir J menyatakan kejanggalan mengenai luka di tubuh Brigadir J juga masih merupakan dugaan, bisa jadi benar, bisa jadi juga salah.
Namun pernyataan pengacara tersebut bisa mendorong publik untuk berspekulasi karena narasi yang bernuansa konspiratif lebih membuat orang tertarik dengan narasi tersebut. Individu tertarik pada narasi konspirasi karena kebutuhan akan pengetahuan dan kepastian dari suatu informasi, terlebih ketika peristiwa besar terjadi, individu tentu ingin tahu mengapa hal tersebut itu terjadi.
Mereka ingin penjelasan dan mereka ingin tahu yang sebenarnya, tetapi mereka juga ingin merasa yakin akan “kebenaran” itu (Douglas, 2017). Gencarnya pemberitaan dari media dan juga narasi konspirasi dari akun-akun di media sosial dari kasus penembakan di Duren Tiga menggiring opini Anda secara tidak langsung dan bertransformasi menjadi sebuah aksi kolektif berupa penghakiman publik kepada keluarga Irjen Sambo.
Namanya penghakiman pasti ada judgement, di sini menurut saya adalah letak permasalahannya. Saya akan mencoba membedah fenomena ini dari perspektif psikologi sosial.
Paradigma kognitif yang dapat mendorong collective action adalah beliefs in fake news dan conspiratorial thinking (Mashuri et al, 2021). Fake news atau berita palsu adalah informasi yang dibuat-buat, melanggar standar norma editorial dan meniru konten media berita sedemikian rupa sehingga berita palsu tampak tidak dapat dibedakan dari berita nyata (Lazer et al., 2018 ; Tandoc et al., 2018).
Berita palsu terkait erat dengan era post-thruth yang didorong oleh masifnya penggunaan media sosial saat ini. Berita palsu dianggap merusak legitimasi pengambilan keputusan berbasis bukti pada berbagai isu sosial yang penting (Roozenbeek & Van Der Linden, 2019).
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
TANPA basa-basi, tujuan tulisan saya ini adalah untuk membahas kasus penembakan di Duren Tiga dari perspektif psikologi sosial. Ramai narasi di media sosial mengenai alternatif narasi kejadian penembakan yang dianggap lebih logis dibandingkan dengan kronologis yang diberikan oleh kepolisian secara resmi.
Ada yang mengatakan, penembakan terjadi karena motif perselingkuhan ataupun motif Brigadir J adalah orang yang memegang rahasia penting Irjen Ferdy Sambo sehingga perlu disingkirkan oleh Irjen Ferdy Sambo. Hold your opinion, ini bisa persekusi! Jangan terjebak perangkap ilusi kebenaran.
Kenapa persekusi? Karena narasi-narasi alternatif yang muncul di luar versi kepolisian juga belum berdasarkan fakta ilmiah, ini baru opini tanpa data. Pengacara keluarga Brigadir J menyatakan kejanggalan mengenai luka di tubuh Brigadir J juga masih merupakan dugaan, bisa jadi benar, bisa jadi juga salah.
Namun pernyataan pengacara tersebut bisa mendorong publik untuk berspekulasi karena narasi yang bernuansa konspiratif lebih membuat orang tertarik dengan narasi tersebut. Individu tertarik pada narasi konspirasi karena kebutuhan akan pengetahuan dan kepastian dari suatu informasi, terlebih ketika peristiwa besar terjadi, individu tentu ingin tahu mengapa hal tersebut itu terjadi.
Mereka ingin penjelasan dan mereka ingin tahu yang sebenarnya, tetapi mereka juga ingin merasa yakin akan “kebenaran” itu (Douglas, 2017). Gencarnya pemberitaan dari media dan juga narasi konspirasi dari akun-akun di media sosial dari kasus penembakan di Duren Tiga menggiring opini Anda secara tidak langsung dan bertransformasi menjadi sebuah aksi kolektif berupa penghakiman publik kepada keluarga Irjen Sambo.
Namanya penghakiman pasti ada judgement, di sini menurut saya adalah letak permasalahannya. Saya akan mencoba membedah fenomena ini dari perspektif psikologi sosial.
Paradigma kognitif yang dapat mendorong collective action adalah beliefs in fake news dan conspiratorial thinking (Mashuri et al, 2021). Fake news atau berita palsu adalah informasi yang dibuat-buat, melanggar standar norma editorial dan meniru konten media berita sedemikian rupa sehingga berita palsu tampak tidak dapat dibedakan dari berita nyata (Lazer et al., 2018 ; Tandoc et al., 2018).
Berita palsu terkait erat dengan era post-thruth yang didorong oleh masifnya penggunaan media sosial saat ini. Berita palsu dianggap merusak legitimasi pengambilan keputusan berbasis bukti pada berbagai isu sosial yang penting (Roozenbeek & Van Der Linden, 2019).