Sudah Siapkah Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang?

Selasa, 26 Juli 2022 - 12:58 WIB
loading...
Sudah Siapkah Kekayaan...
Produk kekayaan intelektual, seperti film dan lagu hasil karya seniman kini dapat dijadikan sebagai jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun non bank. (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A A A
BERBAHAGIALAH para pekerja seni karena produk kekayaan intelektual, seperti film dan lagu dapat dijadikan sebagai jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun non bank.

Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif. Pemerintah memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank bagi pelaku ekonomi kreatif.

Dalam aturan itu, setidaknya ada 17 subsektor ekonomi kreatif di Indonesia yang bisa dijadikan jaminan utang di perbankan, yakni pengembang permainan, arsitektur, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, dan fashion. Lalu, kuliner, film animasi dan video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi dan radio, kriya periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Hasil karya kreatif itu juga termasuk konten yang diunggah ke YouTube, dan mendulang banyak views.

Kebijakan itu adalah bentuk keberpihakan pemerintah untuk melindungi dan mengutilisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Valuasi HaKI bisa dilihat dari potensi pendapatan yang bakal diterima. Lembaga keuangan akan menentukan tinggi rendahnya nilai kekayaan intelektual.

Namun, hasil karya ekonomi kreatif tak serta merta bisa menjadi jaminan utang. Setidaknya ada empat persyaratan pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Pertama, proposal pembiayaan. Kedua, memiliki usaha ekonomi kreatif. Ketiga, memiliki perikatan terkait kekayaan intelektual produk ekonomi kreatif. Keempat, memiliki surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual.

Namun keberadaan regulasi ini tidak serta merta membuat langkah HKI sebagai objek jaminan fidusia menjadi bankable atau layak kredit. Mengingat masih terdapat beberapa isu dan kendala yang mengemuka.

Salah satu kendala yang membuat sulit diterimanya HaKI sebagai agunan yaitu karena nilai dari HKI tersebut.

Tidak adanya lembaga penilai aset yang khusus untuk menilai HKI membuat pemegang hak-hak tersebut sulit untuk menjadikan HKI sebagai agunan.

Penjaminan aset HKI sebagai agunan utang/kredit harus didukung peran lembaga penilai aset. Lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank sangat membutuhkan kepastian nilai aset HKI yang dijaminkan. Pada kasus pemberian kredit bank dengan agunan rumah/tanah, penilaian agunan dilakukan secara internal oleh petugas kredit bank berdasarkan referensi harga pasar dan nilai jual objek pajak (NJOP). Bank juga dapat meminta bantuan jasa penilai dari luar jika nilai kreditnya relatif besar.

Perbankan dan lembaga jasa keuangan non-bank tidak memiliki pengalaman untuk menilai aset HKI sehingga dibutuhkan bantuan lembaga penilai aset HKI. Lembaga semacam ini dapat dibentuk oleh negara/pemerintah maupun pihak swasta (asosiasi bisnis). Di negera berkembang termasuk Indonesia, lembaga penilai aset HKI sebaiknya dibentuk oleh lembaga negara (seperti BI, OJK, Menkeu, Bekraf, DJKI, Lembaga Litibang dan Universitas) dan dibantu oleh lembaga swasta (asosiasi bisnis).

Lembaga penilai aset HKI harus disertifikasi dan diakreditasi oleh kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada Kementrian Hukum dan HAM. Lembaga tersebut harus terdaftar di Bank Indonesia (BI) jika melakukan valuasi HKI terkait efek atau surat utang berjangka kurang dari satu tahun.

Lembaga tersebut juga harus terdaftar di OJK jika kegiatan valuasinya terkait dengan penerbitan efek atau surat utang berjangka lebih dari satu tahun (seperti penerbitan obligasi/bond). Pendaftaran di OJK juga diperlukan jika lembaga tersebut melakukan valulasi HKI yang akan dijadikan agunan kredit di perbankan atau lembaga keuangan non-bank.

Contoh, hak cipta sebagai objek jaminan fidusia sulit diukur nilainya karena yang dijaminkan adalah hak intelektual dari ciptaan. Oleh karena itu, perlu ada pihak ketiga sebagai lembagai penilai (apprisal) bagi hak cipta yang dijaminkan. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) adalah salah satu lembaga yang dapat memberikan penilaian hak cipta.

Beberapa LMK yang ada di Indonesia misalnya Karya Cipta Indonesia (KCI), Royalti Anugrah Indonesia (RAI), dan Wahana Musik Indonesia (WAMI). LMK inilah yang bertugas mengumpulkan royalti dari para pengguna karya cipta dan dari para musisi atau penyanyi yang tergabung di masing-masing LMK. LMK dapat menjadi acuan penyedia data bagi lembaga penilai.

Dalam mekanisme penilaian benda yang akan dijadikan agunan dan dibebani lembaga penjaminan, praktik yang selama ini lazim terjadi di lapangan adalah lembaga keuangan pemberi kredit (kreditor menggunakan jasa penilai publik yang lazim disebut appraisal. Penilai publik adalah pihak ketiga yang merupakan profesi penunjang di sektor keuangan, dan dapat memberikan pertimbangan profesional mengenai penilaian nilai ekonomi benda yang akan dibebani lembaga jaminan.

Selain dari lembaga penilai aset kendala yang didapatkan dari HKI sebagai jaminan ini yaitu bahwa OJK dan BI belum menjadikan HKI sebagai aset yang dapat dijadikan jaminan pada bank.

Penerapan HKI sebagai jaminan kredit di perbankan masih terkendala karena belum ada revisi Pasal 43 Peraturan BI nomor 14/15/PBI/2012 tentang jenis agunan kredit.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1227 seconds (0.1#10.140)