Perkembangan dan Lanskap Organisasi Cek Fakta di Indonesia
loading...
A
A
A
Irma Garnesia
Mahasiswa Master of Media and Communication at TU Ilmenau, Jerman
HOAKS telah dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi. Hoaks sering digunakan untuk merujuk pada berita palsu (fake news), informasi yang salah (false information), hingga disinformasi (Kaur et al, 2018). Hoaks juga telah menjadi fenomena global, salah satu momentumnya misalnya di Amerika, ketika Donald Trump diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat dan juga fenomena Brexit di Inggris. Pada masa ini pula mencuat politik politik pasca-kebenaran (post-truth), serta menurunnya kepercayaan pada peran media arus utama dan juga pada jurnalis (Silverman, 2015).
Hoaks di Indonesia mulai ramai tersebar pada Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, hingga Pemilihan Presiden 2019 (Tomsa & Setijadi, 2018). Beberapa studi misalnya menunjukkan hoaks digunakan dengan membuat situs-situs yang secara visual terlihat seperti media berita arus utama dan digunakan sebagai propaganda dan juga perang ideologi, salah satunya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Permasalahan hoaks kemudian direspons dengan berbagai inisiasi untuk melakukan cek fakta di berbagai negara. Tercatat hingga 2022 ini terdapat 88 lembaga pemeriksa fakta terverifikasi di seluruh dunia dan jumlah tersebut terus meningkat. Praktik pengecekan fakta bukanlah praktik baru dalam dunia jurnalisme. Namun, inisiatif pengecekan fakta dalam konteks saat ini, yang dirancang khusus untuk memerangi hoaks dalam lanskap media digital, dapat dikatakan masih relatif baru.
Saat ini terdapat dua model pengelolaan organisasi cek fakta: Model Ruang Berita (newsroom) dan Model NGO (Non-Governmental Organization) (Graves & Cherubini, 2016). Praktik pemeriksaan fakta dalam jurnalisme sebenarnya bukan praktik eksklusif yang muncul sebagai dampak atau reaksi dari menjamurnya hoaks.
Dalam tradisi jurnalistik, praktik pengecekan fakta telah dilakukan misalnya oleh seorang editor yang bertugas sebagai penjaga gerbang (Gate Keeper) yang melakukan pengeditan dan pemilahan artikel yang ditulis oleh para jurnalis sebelum publikasi terakhir. Namun, praktik-praktik pengecekan fakta yang berusaha mengatasi peredaran hoaks saat ini adalah kegiatan berbeda yang terpisah dari pekerjaan internal editor jurnalistik.
Di Indonesia sendiri saat ini terdapat enam media dan organisasi cek fakta di Indonesia. Mereka adalah Cek fakta Liputan6, Cek fakta Suara.com, Tirto.id, Hoax atau Fakta Kompas.com, Tempo.co, dan TurnBackHoax Mafindo. Keenam organisasi ini telah mendapat sertifikasi dari International Fact-Checking Network (IFCN).
Inisiasi cek fakta di Indonesia memang dimulai oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) serta Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax (FAFHH), komunitas Hoax Buster Indonesia (IHB) Indonesia, dan berbagai komunitas lain di tahun 2015. Komunitas-komunitas ini bergerak berdasarkan mekanisme crowdsourcing, di mana setiap orang yang bergabung dengan komunitas berpartisipasi sebagai agregator.
Baca juga: Tepis Isu Pelanggaran HAM oleh Aparat di Papua, Mahfud MD: Itu Hoaks
Dengan kata lain, anggota komunitas dapat saling bertukar informasi yang mereka temui dalam kegiatan mereka sehari-hari dan kemudian praktik pengecekan fakta dan proses verifikasi informasi dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan komunitas ini juga dilakukan secara langsung di masyarakat antara lain dengan adanya sosialisasi terkait hoaks. Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax adalah pelopor dalam pengembangan situs web khusus untuk melawan Hoax yaitu turnbackhoax.id (Astuti, 2017).
Setelah dimulai oleh Mafindo dalam bentuk komunitas, inisiatif cek fakta juga dilakukan oleh berbagai media arus utama dalam bentuk kolaborasi. Salah satunya adalah pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kerja sama ini diikuti oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan 22 media arus utama. Inisiatif itu dinamakan CekFakta.com yang dimulai pada Mei 2018 di Jakarta (Thorn & Curnow, 2021).
Masih banyak tantangan yang ditemui dalam praktik cek fakta setiap harinya, terutama pada sumberdaya/tenaga yang mengerjakan praktik pemeriksaan fakta. Apabila newsroom yang mengerjakan cek fakta termasuk newsroom kecil, mereka akan kesulitan mencari konfirmasi pada sumber yang tepat. Berbeda dengan newsroom yang sudah mapan, dengan asumsi bahwa mereka punya jaringan yang lebih besar, maka konfirmasi pada narasumber/ahli akan lebih mudah dilakukan.
Kemudian, tidak banyak perkembangan pada keanggotaan IFCN dari Indonesia. Sejak Suara.com bergabung dengan IFCN pada 2019, belum ada organisasi lain yang tergabung dalam keanggotaan IFCN. Hal ini tidak sebanding dengan misalnya India atau Amerika Serikat, negara dengan jumlah penduduk padat dan isu yang cukup banyak seperti Indonesia. India memiliki 15 organisasi yang terverifikasi IFCN, sementara Amerika Serikat memiliki 13 organisasi.
Memang cukup banyak inisiasi cek fakta yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya Jala Hoaks yang dijalankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cek fakta yang dilakukan oleh Kominfo, atau juga media-media lain yang juga mempublikasikan konten cek fakta, meski media-media tersebut hanya sebatas melakukan publikasi artikel saja dan tidak melakukan proses cek fakta dengan metodologi yang benar.
Selanjutnya yang teramati adalah media-media yang masuk keanggotaan IFCN adalah media nasional dan berpusat di Pulau Jawa. Belum ada media lokal yang memiliki sertifikasi IFCN. Hal ini dapat dipahami karena lanskap industri media sebagian besar masih berpusat di kota-kota besar dan membuat investasi dalam bidang media dan jurnalistik masih berpusat di Pulau Jawa.
Pengembangan inisiatif organisasi fakta lokal yang berfokus pada konteks lokalitas dan kedaerahan menjadi salah satu hal yang dapat dikembangkan ke depannya, karena hoaks politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) masih ditemukan (Muliya, 2020). Selain itu, upaya untuk melawan hoaks terkait pandemi Covid-19 misalnya, juga telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan bahasa daerah dan konteks lokal (Kliwantoro, 2020).
Oleh karena itu, acara Data and Computational Journalism Conference 2022 (DCJ) bisa jadi peluang bagi jurnalis dan media lokal/nasional untuk berkolaborasi dan belajar mengenai cara mengembangkan praktik fact-check di newsroom masing-masing.
DCJ Conference 2022 merupakan konferensi data dan komputasional pertama di Indonesia yang dapat membantu jurnalis dan juga media untuk mengeksplorasi teknologi dan piranti jurnalisme data, menyoroti praktik jurnalisme data, tantangan dan peluangnya selama pandemi, serta bertukar pengetahuan antara para ahli dari Indonesia, AS, dan negara lain.
Mahasiswa Master of Media and Communication at TU Ilmenau, Jerman
HOAKS telah dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi. Hoaks sering digunakan untuk merujuk pada berita palsu (fake news), informasi yang salah (false information), hingga disinformasi (Kaur et al, 2018). Hoaks juga telah menjadi fenomena global, salah satu momentumnya misalnya di Amerika, ketika Donald Trump diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat dan juga fenomena Brexit di Inggris. Pada masa ini pula mencuat politik politik pasca-kebenaran (post-truth), serta menurunnya kepercayaan pada peran media arus utama dan juga pada jurnalis (Silverman, 2015).
Hoaks di Indonesia mulai ramai tersebar pada Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, hingga Pemilihan Presiden 2019 (Tomsa & Setijadi, 2018). Beberapa studi misalnya menunjukkan hoaks digunakan dengan membuat situs-situs yang secara visual terlihat seperti media berita arus utama dan digunakan sebagai propaganda dan juga perang ideologi, salah satunya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Permasalahan hoaks kemudian direspons dengan berbagai inisiasi untuk melakukan cek fakta di berbagai negara. Tercatat hingga 2022 ini terdapat 88 lembaga pemeriksa fakta terverifikasi di seluruh dunia dan jumlah tersebut terus meningkat. Praktik pengecekan fakta bukanlah praktik baru dalam dunia jurnalisme. Namun, inisiatif pengecekan fakta dalam konteks saat ini, yang dirancang khusus untuk memerangi hoaks dalam lanskap media digital, dapat dikatakan masih relatif baru.
Saat ini terdapat dua model pengelolaan organisasi cek fakta: Model Ruang Berita (newsroom) dan Model NGO (Non-Governmental Organization) (Graves & Cherubini, 2016). Praktik pemeriksaan fakta dalam jurnalisme sebenarnya bukan praktik eksklusif yang muncul sebagai dampak atau reaksi dari menjamurnya hoaks.
Dalam tradisi jurnalistik, praktik pengecekan fakta telah dilakukan misalnya oleh seorang editor yang bertugas sebagai penjaga gerbang (Gate Keeper) yang melakukan pengeditan dan pemilahan artikel yang ditulis oleh para jurnalis sebelum publikasi terakhir. Namun, praktik-praktik pengecekan fakta yang berusaha mengatasi peredaran hoaks saat ini adalah kegiatan berbeda yang terpisah dari pekerjaan internal editor jurnalistik.
Di Indonesia sendiri saat ini terdapat enam media dan organisasi cek fakta di Indonesia. Mereka adalah Cek fakta Liputan6, Cek fakta Suara.com, Tirto.id, Hoax atau Fakta Kompas.com, Tempo.co, dan TurnBackHoax Mafindo. Keenam organisasi ini telah mendapat sertifikasi dari International Fact-Checking Network (IFCN).
Inisiasi cek fakta di Indonesia memang dimulai oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) serta Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax (FAFHH), komunitas Hoax Buster Indonesia (IHB) Indonesia, dan berbagai komunitas lain di tahun 2015. Komunitas-komunitas ini bergerak berdasarkan mekanisme crowdsourcing, di mana setiap orang yang bergabung dengan komunitas berpartisipasi sebagai agregator.
Baca juga: Tepis Isu Pelanggaran HAM oleh Aparat di Papua, Mahfud MD: Itu Hoaks
Dengan kata lain, anggota komunitas dapat saling bertukar informasi yang mereka temui dalam kegiatan mereka sehari-hari dan kemudian praktik pengecekan fakta dan proses verifikasi informasi dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan komunitas ini juga dilakukan secara langsung di masyarakat antara lain dengan adanya sosialisasi terkait hoaks. Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax adalah pelopor dalam pengembangan situs web khusus untuk melawan Hoax yaitu turnbackhoax.id (Astuti, 2017).
Setelah dimulai oleh Mafindo dalam bentuk komunitas, inisiatif cek fakta juga dilakukan oleh berbagai media arus utama dalam bentuk kolaborasi. Salah satunya adalah pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kerja sama ini diikuti oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan 22 media arus utama. Inisiatif itu dinamakan CekFakta.com yang dimulai pada Mei 2018 di Jakarta (Thorn & Curnow, 2021).
Masih banyak tantangan yang ditemui dalam praktik cek fakta setiap harinya, terutama pada sumberdaya/tenaga yang mengerjakan praktik pemeriksaan fakta. Apabila newsroom yang mengerjakan cek fakta termasuk newsroom kecil, mereka akan kesulitan mencari konfirmasi pada sumber yang tepat. Berbeda dengan newsroom yang sudah mapan, dengan asumsi bahwa mereka punya jaringan yang lebih besar, maka konfirmasi pada narasumber/ahli akan lebih mudah dilakukan.
Kemudian, tidak banyak perkembangan pada keanggotaan IFCN dari Indonesia. Sejak Suara.com bergabung dengan IFCN pada 2019, belum ada organisasi lain yang tergabung dalam keanggotaan IFCN. Hal ini tidak sebanding dengan misalnya India atau Amerika Serikat, negara dengan jumlah penduduk padat dan isu yang cukup banyak seperti Indonesia. India memiliki 15 organisasi yang terverifikasi IFCN, sementara Amerika Serikat memiliki 13 organisasi.
Memang cukup banyak inisiasi cek fakta yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya Jala Hoaks yang dijalankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cek fakta yang dilakukan oleh Kominfo, atau juga media-media lain yang juga mempublikasikan konten cek fakta, meski media-media tersebut hanya sebatas melakukan publikasi artikel saja dan tidak melakukan proses cek fakta dengan metodologi yang benar.
Selanjutnya yang teramati adalah media-media yang masuk keanggotaan IFCN adalah media nasional dan berpusat di Pulau Jawa. Belum ada media lokal yang memiliki sertifikasi IFCN. Hal ini dapat dipahami karena lanskap industri media sebagian besar masih berpusat di kota-kota besar dan membuat investasi dalam bidang media dan jurnalistik masih berpusat di Pulau Jawa.
Pengembangan inisiatif organisasi fakta lokal yang berfokus pada konteks lokalitas dan kedaerahan menjadi salah satu hal yang dapat dikembangkan ke depannya, karena hoaks politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) masih ditemukan (Muliya, 2020). Selain itu, upaya untuk melawan hoaks terkait pandemi Covid-19 misalnya, juga telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan bahasa daerah dan konteks lokal (Kliwantoro, 2020).
Oleh karena itu, acara Data and Computational Journalism Conference 2022 (DCJ) bisa jadi peluang bagi jurnalis dan media lokal/nasional untuk berkolaborasi dan belajar mengenai cara mengembangkan praktik fact-check di newsroom masing-masing.
DCJ Conference 2022 merupakan konferensi data dan komputasional pertama di Indonesia yang dapat membantu jurnalis dan juga media untuk mengeksplorasi teknologi dan piranti jurnalisme data, menyoroti praktik jurnalisme data, tantangan dan peluangnya selama pandemi, serta bertukar pengetahuan antara para ahli dari Indonesia, AS, dan negara lain.
(abd)