Pentingnya Inovasi, Proteksi, dan Inklusi

Sabtu, 23 Juli 2022 - 14:32 WIB
loading...
Pentingnya Inovasi, Proteksi, dan Inklusi
Madeleine Hart Filiapuspa. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Madeleine Hart Filiapuspa
Asisten Analisis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali

Pernahkah kita pergi ke restoran, kemudian ada menu yang pedas? Meskipun telah ditulis pedas, sering kali pelayan restoran menginfokan kembali bahwa makanan tersebut pedas apabila kita hendak memesannya.

Tentunya, hal ini untuk memastikan konsumen akan apa yang dipesan. Rasanya, hal yang sama juga dapat dilakukan pada layanan keuangan. Terkadang konsumen langsung menyetujui saja syarat dan ketentuan, baru kemudian melakukan komplain apabila ditelefon oleh pihak lain. Alasannya, karena merasa datanya disebar. Lantas, bagaimana caranya untuk menyeimbangkan antara inovasi dan proteksi sistem pembayaran?

CEMUMUAH. Satu kata yang menjadi prinsip utama dalam melakukan inovasi sistem pembayaran Indonesia. CEMUMUAH merupakan singkatan dari cepat, mudah, murah, aman, dan andal.

Inovasi sistem pembayaran perlu diseimbangkan dengan perlindungan konsumen dari risiko-risiko yang mungkin terjadi. Demikianlah salah satu poin darijoint statementyang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Bank Indonesia (BI), Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Perhimpunan Bank Umum Nasional, Asosiasi Fintech Indonesia, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia pada pelaksanaan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia 2022.

Menjadi menarik ketika perlindungan konsumen terus dikedepankan dalam inovasi sistem pembayaran. BI sebagai regulator tentu akan terus mendorong dan mendukung inovasi di bidang sistem pembayaran. Di sisi lain, Bank Indonesia melakukan perlindungan konsumen sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 22/20/PBI/2020 Tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia.

Sebagai langkah nyata dalam perlindungan konsumen, BI membuka layanan BI BICARA dengan nomor 131 atau dapat melalui Kantor Perwakilan BI yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Terkait perlindungan konsumen, hal ini tidak dapat dilakukan apabila hanya mengandalkan oleh otoritas tertentu saja. Kerja sama dari berbagai pihak tentu menjadi kuncinya.

Bagaimana tidak? Coba lihat angka serangan siber sepanjang 2021 yang mencapai 1.637.973.022, meningkat sangat tajam dari jumlah anomali nasional 2020 yang sebesar 495.337.202. Meskipun jumlah ini tersebar di berbagai sektor seperti pemerintahan, pendidikan,e-commerce, swasta, media sosial, dan sektor lainnya, sektor keuangan harus mewaspadai serangan ini karena sektor keuangan juga menjadi salah satu sasaran serangan siber.

Transaksi uang elektronik di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bersama agar sektor keuangan tidak menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan siber. Inovasi di bidang sistem pembayaran, baik di sektor perbankan maupun non-bank perlu diimbangi dengan pemahaman konsumen agar selalu waspada.

Dari sisi industri, berbagai cara telah dilakukan untuk melakukan perlindungan konsumen. Contohnya saja untuk mengingatkan agar PIN dan OTP tidak dibagikan kepada siapa pun. Usaha ini dilakukan secara terus menerus dan konsisten.

Keamanan data konsumen juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Contoh sederhananya saja ketika data konsumen ‘dibagikan’ kepada pihak yang bekerja sama dengan perusahaan tempat konsumen membuka layanan.

Konsumen biasanya diberikan syarat dan ketentuan yang begitu panjang, hingga mungkin hanya sebagian kecil saja yang membaca dan memahaminya. Di akhir, biasanya ada kalimat yang menyatakan bahwa kita telah membaca dan menyetujui syarat dan ketentuan tersebut. Kemudian kita menyetujuinya, mungkin tanpa benar-benar membaca dan memahaminya.

Cepat atau lambat, terkadang ada pihak lain yang menghubungi kita untuk menawarkan produk dari perusahaan lain. Kita pun bingung darimana mereka memperoleh kontak kita.

Hal-hal semacam inilah yang perlu menjadi perhatian bersama. Di satu sisi, kurang pas memang ketika konsumen menyetujui syarat dan ketentuan tanpa membacanya. Namun, apakah konsumen diberikan kebebasan untuk memilih setuju dengan seluruh syarat dan ketentuannya atau tidak? Rasanya tidak. Kalau pun ada, hanya sebagian kecil saja.

Di sinilah perlu adanya peran dari industri terkait. Kita ambil contoh dalam pembukaan akun bank maupun non-bank. Syarat dan ketentuan yang panjang dapat dibuat poin-poin dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat luas, tanpa terkecuali.

Selanjutnya, petugas bank ataupun non-bank tersebut perlu menjelaskan dengan detail terkait syarat dan ketentuannya. Poin demi poin. Lebih lanjut, keterangan untuk menyetujui atau memahami syarat dan ketentuan dibuat untuk masing-masing poinnya.

Hal-hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa calon konsumen benar-benar memahami apa yang dibaca. Calon konsumen juga dapat diberikan kebebasan untuk memilih poin-poin mana yang tidak disetujui. Dengan demikian, pengguna diharapkan merasa aman dan nyaman selama menggunakan transaksi. Selanjutnya, pembaruan syarat dan ketentuan juga diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan diberikan ringkasan apa saja yang berbeda.

Bentuk sosialisasi dan edukasi lainnya adalah saat pembuatan akun pertama kali, petugas perlu menjelaskan dengan detail apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hal ini perlu diterapkan tidak hanya pada bank konvensional, namun juga pada layanan keuangan berbasis digital.

Studi kasus juga dapat diberikan kepada pengguna agar pengguna memiliki gambaran terkait hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya ketika ada pihak yang mengaku dari pihak bank dan meminta PIN. Sosialisasi ini kemudian terus diingatkan kepada nasabah setiap kali membuka aplikasi, misalnya.

Hal-hal di atas niscaya dapat membuat konsumen merasa lebih aman dan nyaman. Keamanan dan kenyamanan menjadi dua hal penting untuk membuat konsumen terus menggunakan layanan keuangan yang ada. Dengan demikian, inovasi pada sistem pembayaran dapat terus dilakukan dan diimplementasikan. Tentunya dengan mengedepankan proteksi data yang dimiliki konsumen.

Harapannya, inovasi dan proteksi akan mengantarkan kita pada inklusi keuangan yang terus meluas. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan indeks literasi keuangan sebesar 38,03% dan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Meskipun keduanya melampaui target yang telah ditetapkan, kedua indeks ini masih menjadi tugas seluruh pihak agar dapat ditingkatkan.

Perlindungan konsumen harus dilakukan dari dua sisi. Dari sisi konsumen, perlu mengikuti himbauan-himbauan yang ada. Contoh yang paling mudah adalah tidak membagikan PIN dan OTP kepada siapa pun. Dari sisi penyedia layanan, perlu memastikan kerahasiaan data konsumen. Apabila hendak melakukansharingdata, maka benar-benar harus menanyakan kembali kepada konsumennya.
(Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja)
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1116 seconds (0.1#10.140)