Kisah Jenderal Hoegeng, Lolos dari Berondongan Sniper hingga Pura-pura Jadi Monyet
loading...
A
A
A
Orang utan itu pemberian dari sejumlah orang, di antaranya dari Panglima Komando Pemulihan dan Keamanan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Soedomo. Orang utan itu pun diberi nama sesuai nama pemberinya, yaitu Soedomo.
Namun, itu dilakukan bukan untuk menghina Soedomo, melainkan justru untuk menghargai para pemberinya sekaligus untuk mengingat orang-orang yang dinilainya baik memberikan hewan untuk dipeliharanya. Tiga orang utan itu bertahun-tahun diurus seolah seperti anaknya sendiri.
Bermain dan memeluk-memeluk orang utan itu acapkali dilakukan Hoegeng jika di rumah. Suatu saat, salah satu orang utan itu lepas dan masuk pekarangan rumah tetangganya.
Pengurus rumah tangganya mengejar ke rumah tetangga itu, namun orang utan itu justru naik ke atas genteng. Orang utan itu juga tidak turun saat dipanggil-panggil.
Pengurus rumah tangga Hoegeng itu pun bingung dan melaporkan hal tersebut ke Hoegeng. Hoegeng pun menuju ke rumah tetangganya. Hoegeng pun meminta izin tetangganya untuk naik ke genteng.
Tiba di genteng, Hoegeng segera memanggil-manggil orang utan itu agar menghampirinya. Akan tetapi, orang utan itu tetap bergeming.
Hoegeng pun tak kehilangan akal. Dia mengatur strategi. "Hoegeng pura-pura jadi monyet dengan menirukan gaya dan suara monyet, Mas Dharto. Mungkin karena dikira masih saudaranya, orang utan itu tiba-tiba mau. Dia mendekat dan minta dipeluk. Hoegeng pun langsung memeluk dan membawanya turun," ujar Hoegeng yang saat bercerita seraya menirukan gaya monyet kepada Dharto.
Namun, orang-orang utan yang dimiliki Hoegeng akhirnya diserahkan kepada petugas perlindungan binatang ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang mengenai larangan memelihara hewan-hewan langka. Hoegeng harus menaati semua aturan yang ada meski sedih harus kehilangan hewan kesayangannya itu.
Namun, itu dilakukan bukan untuk menghina Soedomo, melainkan justru untuk menghargai para pemberinya sekaligus untuk mengingat orang-orang yang dinilainya baik memberikan hewan untuk dipeliharanya. Tiga orang utan itu bertahun-tahun diurus seolah seperti anaknya sendiri.
Bermain dan memeluk-memeluk orang utan itu acapkali dilakukan Hoegeng jika di rumah. Suatu saat, salah satu orang utan itu lepas dan masuk pekarangan rumah tetangganya.
Pengurus rumah tangganya mengejar ke rumah tetangga itu, namun orang utan itu justru naik ke atas genteng. Orang utan itu juga tidak turun saat dipanggil-panggil.
Pengurus rumah tangga Hoegeng itu pun bingung dan melaporkan hal tersebut ke Hoegeng. Hoegeng pun menuju ke rumah tetangganya. Hoegeng pun meminta izin tetangganya untuk naik ke genteng.
Tiba di genteng, Hoegeng segera memanggil-manggil orang utan itu agar menghampirinya. Akan tetapi, orang utan itu tetap bergeming.
Hoegeng pun tak kehilangan akal. Dia mengatur strategi. "Hoegeng pura-pura jadi monyet dengan menirukan gaya dan suara monyet, Mas Dharto. Mungkin karena dikira masih saudaranya, orang utan itu tiba-tiba mau. Dia mendekat dan minta dipeluk. Hoegeng pun langsung memeluk dan membawanya turun," ujar Hoegeng yang saat bercerita seraya menirukan gaya monyet kepada Dharto.
Namun, orang-orang utan yang dimiliki Hoegeng akhirnya diserahkan kepada petugas perlindungan binatang ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang mengenai larangan memelihara hewan-hewan langka. Hoegeng harus menaati semua aturan yang ada meski sedih harus kehilangan hewan kesayangannya itu.
(rca)