Kisah Jenderal Hoegeng, Lolos dari Berondongan Sniper hingga Pura-pura Jadi Monyet
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah Jenderal Hoegeng yang sempat diburu oleh sniper atau penembak jitu hingga pernah pura-pura menjadi seekor monyet akan diulas dalam artikel ini. Diketahui, Hoegeng pernah bertugas di Medan.
Hoegeng saat diberi tahu akan menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditserse dan Kriminal) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara pun menyambutnya dengan antusias. Pasalnya, bertugas di Medan saat itu bagi seorang polisi muda yang baru merintis karier merupakan hal yang tak mudah.
Sebab, Medan waktu itu dikenal bukan sebagai wilayah kerja yang enteng, terutama bagi polisi yang jujur dan tak mau kompromi, tetapi banyak yang menggiurkan sehingga melanggar hukum. Berbagai kasus kejahatan di Medan marak saat itu.
Hoegeng di meja kerjanya saat menjadi Kapolri. Foto/Dok Keluarga Hoegeng
Di antaranya, smokel (penyelundupan) berbagai barang masuk ke Indonesia maupun keluar negeri melalui pelabuhan dan perairan, perjudian, perampokan, serta suap menyuap dari kalangan pengusaha kepada aparat negara. Diduga, banyak oknum-oknum aparat penegak hukum seperti polisi atau tentara menjadi backing kasus perjudian dan penyelundupan kala itu.
Bahkan, sekelompok oknum militer di Sumatera Utara yang kecewa dengan pusat pernah melakukan penyelundupan senjata. Mereka melakukan penyelundupan senjata untuk melawan pemerintah pusat dengan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang tujuannya untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ujian pertama sebagai polisi dihadapi saat Hoegeng bersama keluarganya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan. Saat itu, seorang pengusaha keturunan China bertubuh gemuk menyambut kedatangan Hoegeng bersama keluarga.
Sekitar tahun 2003 sebelum meninggal, Hoegeng berfoto bersama istrinya, Meri. Foto/Dok.Keluarga Hoegeng
Hoegeng saat diberi tahu akan menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditserse dan Kriminal) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara pun menyambutnya dengan antusias. Pasalnya, bertugas di Medan saat itu bagi seorang polisi muda yang baru merintis karier merupakan hal yang tak mudah.
Sebab, Medan waktu itu dikenal bukan sebagai wilayah kerja yang enteng, terutama bagi polisi yang jujur dan tak mau kompromi, tetapi banyak yang menggiurkan sehingga melanggar hukum. Berbagai kasus kejahatan di Medan marak saat itu.
Hoegeng di meja kerjanya saat menjadi Kapolri. Foto/Dok Keluarga Hoegeng
Di antaranya, smokel (penyelundupan) berbagai barang masuk ke Indonesia maupun keluar negeri melalui pelabuhan dan perairan, perjudian, perampokan, serta suap menyuap dari kalangan pengusaha kepada aparat negara. Diduga, banyak oknum-oknum aparat penegak hukum seperti polisi atau tentara menjadi backing kasus perjudian dan penyelundupan kala itu.
Bahkan, sekelompok oknum militer di Sumatera Utara yang kecewa dengan pusat pernah melakukan penyelundupan senjata. Mereka melakukan penyelundupan senjata untuk melawan pemerintah pusat dengan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang tujuannya untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ujian pertama sebagai polisi dihadapi saat Hoegeng bersama keluarganya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan. Saat itu, seorang pengusaha keturunan China bertubuh gemuk menyambut kedatangan Hoegeng bersama keluarga.
Sekitar tahun 2003 sebelum meninggal, Hoegeng berfoto bersama istrinya, Meri. Foto/Dok.Keluarga Hoegeng