Menteri PPPA: Dalih Tradisi Budaya Jangan Dipakai untuk Kedok Pelecehan

Jum'at, 26 Juni 2020 - 16:46 WIB
loading...
Menteri PPPA: Dalih Tradisi Budaya Jangan Dipakai untuk Kedok Pelecehan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga. Foto/Kemen-PPPA
A A A
JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga ikut menyoroti kasus kawin tangkap atau kawin culik di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sempat viral beberapa hari terakhir di media sosial.

Bagi dia, praktik tersebut adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengatasnamakan sebuah budaya atau tradisi di masyarakat setempat.

Meski tradisi itu sudah diwariskan secara turun temurun, tindakan kekerasan tidak sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) . Secara khusus, kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Budaya atau tradisi itu tidak statis tetapi dinamis. Dahulu, di Bali pernah berlaku praktik serupa seperti kawin tangkap di Sumba, namun karena tidak sesuai dengan norma dan perkembangan zaman akhirnya praktik tersebut tergerus karena budaya tersebut tidak memberikan edukasi yang baik,” kata Bintang seperti dilansir dari keterangan resminya, Jumat (26/6/2020).

Dia menyebut kasus di Sumba sebagai praktik kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak. Menurut dia, alasan tradisi budaya jangan sampai dipakai menjadi kedok untuk melecehkan perempuan dan anak.

Berdasarkan keterangan yang diperolehnya, para aktivis perempuan di Sumba sudah memiliki data praktik kawin tangkap. Lantaran itu, dirinya memohon agar pihak aparat kepolisian di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat dapat menindaklanjuti setiap laporan kasus kawin tangkap.

Bintang juga bercerita telah melakukan komitmen dengan Polda Metro Jaya untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Ia ingin adanya sinergi bersama bagi kepentingan terbaik perempuan dan anak di Indonesia.

“Kami berharap sinergi bersama dengan jajaran kepolisian di Sumba, kementerian, lembaga terkait, serta lembaga swadaya masyarakat setempat, dapat menjadi kekuatan bersama supaya praktik kawin tangkap yang merugikan ini tidak lagi terjadi, dan praktik serupa tidak terjadi di daerah lainnya,” tekannya.( )

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani juga berpendapat senada. Dia menilai kawin tangkap tidak ada hubungannya dengan budaya. Sebab, sebuah budaya pasti memiliki nilai dan unsur kemanusiaan.

“Praktik kawin tangkap yang dianggap sebagai budaya ini jelas mengabaikan nilai kemanusiaan dan merugikan harkat dan martabat manusia. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak termasuk jajaran kepolisian karena ini adalah persoalan serius,” jelas Jaleswari.

Jika selama ini tidak ada laporan atas praktik tersebut, dia khawatir hal itu ditengarai karena korban tidak mau dan tidak bisa melapor. Dia menduga korban mungkin saja takut dengan ancaman kekerasan yang akan dihadapi.

Sejauh ini, data sudah ada dari empat wilayah tersebut yaitu Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat. Adapun para korbannya berusia antara 16-26 tahun.“Untuk itu, butuh respons aktif dari kepolisian. Kawan-kawan di kepolisian tidak usah ragu menyelesaikan kasus ini karena ini adalah tindakan kriminal kejahatan manusia,” katanya.

Kementerian PPPA pun diminta ikut mengawal dan bersikap tegas dalam menangani kasus ini, mengingat hampir tidak pernah ada penyelesaian secara hukum. Selama ini persoalan yang kerap terjadi adalah penyelesaian melalui mediasi antar keluarga korban dan pelaku.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1386 seconds (0.1#10.140)