Soal Pelabelan BPA di Galon, Komitmen Pemerintah dalam Pengelolaan Sampah Mundur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pihak mengkritisi kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang berencana membuat regulasi pelabelan risiko Bisfenol A (BPA). Kebijakan ini diklaim sebagai upaya perlindungan pemerintah atas potensi bahaya dari peredaran luas galon isi ulang di tengah masyarakat.
Seperti misalnya, Aktivis Lingkungan dari Divers Clean Action Swietenia Puspa Lestari menyebut rencana pelabelan BPA pada galon air minum guna ulang membuat para pemerhati lingkungan kecewa.
“Permasalahan galon guna ulang harus dilabeli ini membuat kami-kami (aktivis lingkungan) patah hati, karena kami merasa ada narasi yang dibangun, bahwa galon sekali pakai lebih baik daripada galon ulang,” ujar Tenia saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Menyoal Pelabelan Kemasan dan Dampaknya terhadap Lingkungan” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/7/2022).
Padahal, kata Tenia, pihaknya sudah melakukan petisi yang didukung sebayak 50.000 orang lebih yang menolak galon sekali pakai. Selain itu ada juga lebih dari 8.000 orang yang mendukung Permen LHK Tahun 2019 Nomor 75 terkait Peta Jalan Pengurangan Sampah dari Produsen yang diatur adalah manufaktur, retail, dan juga jasa makanan minuman serta akomodasi untuk menerapkan hirarki pengolahan sampah dari sumber.
Tenia pun menyayangkan sudah masuknya propaganda galon sekali pakai lebih baik dari galon isi ulang. “Kekhawatiran kami edukasi iklan-iklan sudah masuk ke sinetron-sinetron menyatakan galon sekali pakai itu lebih baik,” ungkapnya.
“Dengan adanya isu kisruh BPA ini, masyarakat yang tadinya sudah beralih ke guna ulang isi ulang terpaksa atau merasa harus pindah ke sekali pakai. Itu harus dicegah agar tidak kejadian salah persepsi tadi,” imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IV DPR Anggia Erma Rini sependapat dengan Tenia bahwa masyarakat ini tidak terlalu memahami mengenai sampah plastik.
“Jadi, kalau kita lihat di masyarakat tentang plastik ini kan tidak hanya masyarakat itu enggak tahu, masyarakat enggak paham betul, apa yang harus dikritik terhadap sampah plastik ini,” ujar Anggia.
Politikus PKB ini mendorong agar pemerintah segera membuat regulasi komprehensif terkait pengelolaan sampah plastik. “Artinya sebenarnya harus ada kebijakan yang memang komprehensif. Kalau kita memang harus benar-benar mengelola atau punya komitmen yang tinggi terhadap pengelolaan sampah,” tutur Anggia.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Darul Siska mengungkap belum ada pembicaraan apa pun dengan BPOM sebagai mitra kerja Komisi IX terkait rencana pelabelan BPA terhadap air minum kemasan galon.
“Secara spesifik, saya jujur mengatakan Komisi IX belum mendiskusikan dengan badan POM,” ungkap Darul.
Selain itu, Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Ahmad Zainal menegaskan terkait rencana pelabelan ini sebaiknya agar persepsi para pembuat kebijakan benar dulu agar tidak misleading.
“Jangan terlalu banyak pelabelanlah, cukup dari izin-izin yang selama ini sudah ada. Juga sudah ada SNI untuk produk pangan. Hanya saja ruang lingkupnya perlu diperluas,” kata Prof Zainal.
Data yang dikumpulkan para pemerhati lingkungan jika tidak ada kisruh BPA dan masyarakat tetap menggunakan galon air minum guna ulang, maka bisa menghemat sampai 250.000 ton plastik per tahun.
Seperti misalnya, Aktivis Lingkungan dari Divers Clean Action Swietenia Puspa Lestari menyebut rencana pelabelan BPA pada galon air minum guna ulang membuat para pemerhati lingkungan kecewa.
“Permasalahan galon guna ulang harus dilabeli ini membuat kami-kami (aktivis lingkungan) patah hati, karena kami merasa ada narasi yang dibangun, bahwa galon sekali pakai lebih baik daripada galon ulang,” ujar Tenia saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Menyoal Pelabelan Kemasan dan Dampaknya terhadap Lingkungan” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/7/2022).
Padahal, kata Tenia, pihaknya sudah melakukan petisi yang didukung sebayak 50.000 orang lebih yang menolak galon sekali pakai. Selain itu ada juga lebih dari 8.000 orang yang mendukung Permen LHK Tahun 2019 Nomor 75 terkait Peta Jalan Pengurangan Sampah dari Produsen yang diatur adalah manufaktur, retail, dan juga jasa makanan minuman serta akomodasi untuk menerapkan hirarki pengolahan sampah dari sumber.
Tenia pun menyayangkan sudah masuknya propaganda galon sekali pakai lebih baik dari galon isi ulang. “Kekhawatiran kami edukasi iklan-iklan sudah masuk ke sinetron-sinetron menyatakan galon sekali pakai itu lebih baik,” ungkapnya.
“Dengan adanya isu kisruh BPA ini, masyarakat yang tadinya sudah beralih ke guna ulang isi ulang terpaksa atau merasa harus pindah ke sekali pakai. Itu harus dicegah agar tidak kejadian salah persepsi tadi,” imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IV DPR Anggia Erma Rini sependapat dengan Tenia bahwa masyarakat ini tidak terlalu memahami mengenai sampah plastik.
“Jadi, kalau kita lihat di masyarakat tentang plastik ini kan tidak hanya masyarakat itu enggak tahu, masyarakat enggak paham betul, apa yang harus dikritik terhadap sampah plastik ini,” ujar Anggia.
Politikus PKB ini mendorong agar pemerintah segera membuat regulasi komprehensif terkait pengelolaan sampah plastik. “Artinya sebenarnya harus ada kebijakan yang memang komprehensif. Kalau kita memang harus benar-benar mengelola atau punya komitmen yang tinggi terhadap pengelolaan sampah,” tutur Anggia.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Darul Siska mengungkap belum ada pembicaraan apa pun dengan BPOM sebagai mitra kerja Komisi IX terkait rencana pelabelan BPA terhadap air minum kemasan galon.
“Secara spesifik, saya jujur mengatakan Komisi IX belum mendiskusikan dengan badan POM,” ungkap Darul.
Selain itu, Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Ahmad Zainal menegaskan terkait rencana pelabelan ini sebaiknya agar persepsi para pembuat kebijakan benar dulu agar tidak misleading.
“Jangan terlalu banyak pelabelanlah, cukup dari izin-izin yang selama ini sudah ada. Juga sudah ada SNI untuk produk pangan. Hanya saja ruang lingkupnya perlu diperluas,” kata Prof Zainal.
Data yang dikumpulkan para pemerhati lingkungan jika tidak ada kisruh BPA dan masyarakat tetap menggunakan galon air minum guna ulang, maka bisa menghemat sampai 250.000 ton plastik per tahun.
(kri)