Waspadai Mimbar Agama untuk Penyebaran Radikalisme
loading...
A
A
A
Syarif menemukan sebagian kecil masjid yang melampuai batas, sehingga ikut dalam residu Pilpres atau residu politik praktis, dan sebagainya. Kemudian masjid juga digunakan untuk kendaraan politik tertentu dengan mengagitasi masyarakat diarahkan kepada pilihan tertentu, diarahkan untuk menyerang atau membenci pemerintah, menyerang apa yang kemudian mereka sebut sebagai rezim.
"Di situlah kepentingan politik praktis yang membonceng entah itu sadar atau tidak sadar si khotib menyampaikan itu. Entah dia bagian dari tim sukses atau tidak, entah dia mewakili kepentingan ideologi tertentu atau tidak. Apalagi kalau dia mewakili ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa," katanya.
Dalam mendengarkan khotbah umumnya pikiran jamaah itu dalam konteks kosong, fokus, atau seperti gelas kosong yang diisi air. Isi ceramah akan ditelan mentah-mentah karena disampaikan menggunakan mimbar agama, sehingga seolah-olah itu bagian dari suara agama, padahal mungkin mengandung kepentingan.
"Maka di sinilah pentingnya kita sebagai jamaah yang mendengarkan khotbah, mendengarkan dakwah perlu untuk melihat siapa ini yang berdakwah, siapa dainya, siapa khotibnya dan lain sebagainya," kata Syarif.
Syarif mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan. Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini bekoar koar menolak pemerintah. Dai tersebut menolak Pancasila dan menyampaikan ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa.
"Padahal ideologi Pancasila yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam dimana para ulama juga ikut terlibat di situ. NU terlibat di situ, Muhammadiyah, MUI, ikut terlibat juga organisasi-organisasi yang moderat yang wasathiyah, tidak mempersoalkan Pancasila akrena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam," katanya.
Syarif juga mengajak para dai dan penceramah wasathiyah bersuara lebih kencang tentang narasi Islam rahmatan lilalamin.
"Sekarang ini zamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang zamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras," katanya.
"Di situlah kepentingan politik praktis yang membonceng entah itu sadar atau tidak sadar si khotib menyampaikan itu. Entah dia bagian dari tim sukses atau tidak, entah dia mewakili kepentingan ideologi tertentu atau tidak. Apalagi kalau dia mewakili ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa," katanya.
Dalam mendengarkan khotbah umumnya pikiran jamaah itu dalam konteks kosong, fokus, atau seperti gelas kosong yang diisi air. Isi ceramah akan ditelan mentah-mentah karena disampaikan menggunakan mimbar agama, sehingga seolah-olah itu bagian dari suara agama, padahal mungkin mengandung kepentingan.
"Maka di sinilah pentingnya kita sebagai jamaah yang mendengarkan khotbah, mendengarkan dakwah perlu untuk melihat siapa ini yang berdakwah, siapa dainya, siapa khotibnya dan lain sebagainya," kata Syarif.
Syarif mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan. Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini bekoar koar menolak pemerintah. Dai tersebut menolak Pancasila dan menyampaikan ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa.
"Padahal ideologi Pancasila yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam dimana para ulama juga ikut terlibat di situ. NU terlibat di situ, Muhammadiyah, MUI, ikut terlibat juga organisasi-organisasi yang moderat yang wasathiyah, tidak mempersoalkan Pancasila akrena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam," katanya.
Syarif juga mengajak para dai dan penceramah wasathiyah bersuara lebih kencang tentang narasi Islam rahmatan lilalamin.
"Sekarang ini zamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang zamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras," katanya.
(abd)