Waspadai Mimbar Agama untuk Penyebaran Radikalisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mimbar agama menjadi sarana paling efektif untuk menyampaikan banyak hal, paling khusus soal ajaran agama. Namun, mimbar agama sangat rentan disalahgunakan kelompok tertentu untuk melakukan penyebaran atau propaganda radikalisme .
"Itu harus diakui karena faktanya mimbar agama dari dulu sampai sekarang. Seperti di Islam, dakwah-dakwah melalui mimbar agama seperti khotbah Jumat sudah sejak awal dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam," kata Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) Moch Syarif Hidayatullah dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (1/7/2022).
Menurutnya, ada penjelasan juga di dalam hadis yang menyebut ketika khotib sedang berkhotbah, jamaah dilarang melakukan aktivitas lain selain mendengarkan khotbah itu. "Supaya apa? Supaya khotbah itu bisa dipahami, bisa dimengerti lalu kemudian bisa diimplementasikan atau diamalkan," katanya.
Namun, dalam perjalanan penggunaan mimbar masjid ini dipakai ideoligasasi pihak tertentu soal teologi maupun fiqih. Hal ini menjadi bahan penelitian dalam desertasi Syarif yang secara khusus tentang khotbah jihad. "Bahkan mimbar khotbah dipakai juga untuk memobilisasi massa, misalkan berjihad. Termasuk yang saya teliti dalam konteks perang Aceh itu digerakkan juga melalui mimbar khotbah," kata Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Syarif menilai tidak bisa dipungkiri bahwa mimbar dakwah di masjid atau tempat ibadah agama lain, sangat efektif untuk menyampaikan ajaran kepada jamaah. Para jamaah juga cenderung sangat memperhatikan apa yang disampaikan penceramah. Situasi ini kemudian dipakai oleh kelompok kepentingan tertentu, kelompok ideologi tertentu untuk melakukan ideologisasi, untuk melakukan agitasi, politisasi, dan seterusnya.
Menurutnya, inilah pentingnya bagi para dai, khotib, atau penceramah untuk diberikan wawasan bahwa dalam berceramah atau dalam menyampaikan materi keagamaan di mimbar agama, ada tanggung jawabnya. Baik tanggung jawab moral, tanggung jawab kepada Allah SWT terhadap apa pun yang disampaikan.
Baca juga: Cegah Radikalisme, Kemenag Tekankan Pentingnya Moderasi Beragama di Sektor Pendidikan
"Saya sampaikan jangan sampai mimbar masjid itu dipakai untuk kepentingan agitasi, dipakai untuk kepentingan yang bukan kepentingan agama. Apalagi seperti biasa dalam musim-musim Pilpres, Pilkada, Pilgub itu ada kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja masuk ke masjid untuk mengganggu," kata Syarif.
Dalam pengamantannya, kadang-kadang ada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) juga ikut terlibat. Padahal, DKM seharusnya menjadi wasit dengan mengingatkan para khatib atau ustaz atau dai agar tidak keluar dari perspektif agama. "Intinya peran DKM sangat penting, di mana sebelum khotib itu naik mimbar untuk mengingatkan materi dakwah agar tidak offside," ungkapnya.
Syarif menemukan sebagian kecil masjid yang melampuai batas, sehingga ikut dalam residu Pilpres atau residu politik praktis, dan sebagainya. Kemudian masjid juga digunakan untuk kendaraan politik tertentu dengan mengagitasi masyarakat diarahkan kepada pilihan tertentu, diarahkan untuk menyerang atau membenci pemerintah, menyerang apa yang kemudian mereka sebut sebagai rezim.
"Di situlah kepentingan politik praktis yang membonceng entah itu sadar atau tidak sadar si khotib menyampaikan itu. Entah dia bagian dari tim sukses atau tidak, entah dia mewakili kepentingan ideologi tertentu atau tidak. Apalagi kalau dia mewakili ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa," katanya.
Dalam mendengarkan khotbah umumnya pikiran jamaah itu dalam konteks kosong, fokus, atau seperti gelas kosong yang diisi air. Isi ceramah akan ditelan mentah-mentah karena disampaikan menggunakan mimbar agama, sehingga seolah-olah itu bagian dari suara agama, padahal mungkin mengandung kepentingan.
"Maka di sinilah pentingnya kita sebagai jamaah yang mendengarkan khotbah, mendengarkan dakwah perlu untuk melihat siapa ini yang berdakwah, siapa dainya, siapa khotibnya dan lain sebagainya," kata Syarif.
Syarif mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan. Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini bekoar koar menolak pemerintah. Dai tersebut menolak Pancasila dan menyampaikan ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa.
"Padahal ideologi Pancasila yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam dimana para ulama juga ikut terlibat di situ. NU terlibat di situ, Muhammadiyah, MUI, ikut terlibat juga organisasi-organisasi yang moderat yang wasathiyah, tidak mempersoalkan Pancasila akrena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam," katanya.
Syarif juga mengajak para dai dan penceramah wasathiyah bersuara lebih kencang tentang narasi Islam rahmatan lilalamin.
"Sekarang ini zamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang zamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras," katanya.
"Itu harus diakui karena faktanya mimbar agama dari dulu sampai sekarang. Seperti di Islam, dakwah-dakwah melalui mimbar agama seperti khotbah Jumat sudah sejak awal dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam," kata Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) Moch Syarif Hidayatullah dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (1/7/2022).
Menurutnya, ada penjelasan juga di dalam hadis yang menyebut ketika khotib sedang berkhotbah, jamaah dilarang melakukan aktivitas lain selain mendengarkan khotbah itu. "Supaya apa? Supaya khotbah itu bisa dipahami, bisa dimengerti lalu kemudian bisa diimplementasikan atau diamalkan," katanya.
Namun, dalam perjalanan penggunaan mimbar masjid ini dipakai ideoligasasi pihak tertentu soal teologi maupun fiqih. Hal ini menjadi bahan penelitian dalam desertasi Syarif yang secara khusus tentang khotbah jihad. "Bahkan mimbar khotbah dipakai juga untuk memobilisasi massa, misalkan berjihad. Termasuk yang saya teliti dalam konteks perang Aceh itu digerakkan juga melalui mimbar khotbah," kata Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Syarif menilai tidak bisa dipungkiri bahwa mimbar dakwah di masjid atau tempat ibadah agama lain, sangat efektif untuk menyampaikan ajaran kepada jamaah. Para jamaah juga cenderung sangat memperhatikan apa yang disampaikan penceramah. Situasi ini kemudian dipakai oleh kelompok kepentingan tertentu, kelompok ideologi tertentu untuk melakukan ideologisasi, untuk melakukan agitasi, politisasi, dan seterusnya.
Menurutnya, inilah pentingnya bagi para dai, khotib, atau penceramah untuk diberikan wawasan bahwa dalam berceramah atau dalam menyampaikan materi keagamaan di mimbar agama, ada tanggung jawabnya. Baik tanggung jawab moral, tanggung jawab kepada Allah SWT terhadap apa pun yang disampaikan.
Baca juga: Cegah Radikalisme, Kemenag Tekankan Pentingnya Moderasi Beragama di Sektor Pendidikan
"Saya sampaikan jangan sampai mimbar masjid itu dipakai untuk kepentingan agitasi, dipakai untuk kepentingan yang bukan kepentingan agama. Apalagi seperti biasa dalam musim-musim Pilpres, Pilkada, Pilgub itu ada kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja masuk ke masjid untuk mengganggu," kata Syarif.
Dalam pengamantannya, kadang-kadang ada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) juga ikut terlibat. Padahal, DKM seharusnya menjadi wasit dengan mengingatkan para khatib atau ustaz atau dai agar tidak keluar dari perspektif agama. "Intinya peran DKM sangat penting, di mana sebelum khotib itu naik mimbar untuk mengingatkan materi dakwah agar tidak offside," ungkapnya.
Syarif menemukan sebagian kecil masjid yang melampuai batas, sehingga ikut dalam residu Pilpres atau residu politik praktis, dan sebagainya. Kemudian masjid juga digunakan untuk kendaraan politik tertentu dengan mengagitasi masyarakat diarahkan kepada pilihan tertentu, diarahkan untuk menyerang atau membenci pemerintah, menyerang apa yang kemudian mereka sebut sebagai rezim.
"Di situlah kepentingan politik praktis yang membonceng entah itu sadar atau tidak sadar si khotib menyampaikan itu. Entah dia bagian dari tim sukses atau tidak, entah dia mewakili kepentingan ideologi tertentu atau tidak. Apalagi kalau dia mewakili ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa," katanya.
Dalam mendengarkan khotbah umumnya pikiran jamaah itu dalam konteks kosong, fokus, atau seperti gelas kosong yang diisi air. Isi ceramah akan ditelan mentah-mentah karena disampaikan menggunakan mimbar agama, sehingga seolah-olah itu bagian dari suara agama, padahal mungkin mengandung kepentingan.
"Maka di sinilah pentingnya kita sebagai jamaah yang mendengarkan khotbah, mendengarkan dakwah perlu untuk melihat siapa ini yang berdakwah, siapa dainya, siapa khotibnya dan lain sebagainya," kata Syarif.
Syarif mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan. Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini bekoar koar menolak pemerintah. Dai tersebut menolak Pancasila dan menyampaikan ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa.
"Padahal ideologi Pancasila yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam dimana para ulama juga ikut terlibat di situ. NU terlibat di situ, Muhammadiyah, MUI, ikut terlibat juga organisasi-organisasi yang moderat yang wasathiyah, tidak mempersoalkan Pancasila akrena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam," katanya.
Syarif juga mengajak para dai dan penceramah wasathiyah bersuara lebih kencang tentang narasi Islam rahmatan lilalamin.
"Sekarang ini zamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang zamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras," katanya.
(abd)