Anggota Komisi IX Buka Peluang Riset Program Ganja Medis di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX DPR Charles Honoris memandang bahwa Indonesia harus sudah memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja (Cannabis sativa) untuk kepentingan medis. Hal ini menyusul viralnya foto Pika, anak penderita cerebral palsy, bersama sang ibunda yang menyampaikan aspirasi butuh ganja medis untuk pengobatan.
"Kajian medis yang objektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia," kaya Charles dalam keterangannya, Rabu (29/6/2022).
Terlebih, kata dia, pada akhir 2020, Komisi Narkotika PBB (CND) sudah mengeluarkan ganja dan resin ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika tahun 1961. Artinya, ganja sudah dihapus dari daftar narkoba paling berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis.
"Sebaliknya, keputusan PBB ini menjadi pendorong banyak negara untuk mengkaji kembali kebijakan negaranya tentang penggunaan tanaman ganja bagi pengobatan medis," ujarnya.
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan, di dunia kini terdapat lebih dari 50 negara yang telah memiliki program ganja medis, termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
"Terlepas Indonesia akan melakukan program ganja medis atau tidak nantinya, riset adalah hal yang wajib dan sangat penting dilakukan untuk kemudian menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan/penyusunan regulasi selanjutnya," tuturnya.
Baca juga: Cerita Andien Bertemu Ibu Pejuang Ganja Medis untuk Kesembuhan sang Anak
Karena itu, Charles menekankan agar riset medis harus terus berkembang dan dinamis demi tujuan kemanusiaan. "Demi menyelematkan kehidupan Pika, dan anak penderita radang otak lain, yang diyakini sang ibunda bisa diobati dengan ganja. Negara tidak boleh tinggal berpangku tangan melihat Pika Pika lain yang menunggu pemenuhan hak atas kesehatannya," katanya.
Lihat Juga: Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menaker, Singgung Soal Syarat Batas Usia Pelamar Kerja
"Kajian medis yang objektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia," kaya Charles dalam keterangannya, Rabu (29/6/2022).
Terlebih, kata dia, pada akhir 2020, Komisi Narkotika PBB (CND) sudah mengeluarkan ganja dan resin ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika tahun 1961. Artinya, ganja sudah dihapus dari daftar narkoba paling berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis.
"Sebaliknya, keputusan PBB ini menjadi pendorong banyak negara untuk mengkaji kembali kebijakan negaranya tentang penggunaan tanaman ganja bagi pengobatan medis," ujarnya.
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan, di dunia kini terdapat lebih dari 50 negara yang telah memiliki program ganja medis, termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
"Terlepas Indonesia akan melakukan program ganja medis atau tidak nantinya, riset adalah hal yang wajib dan sangat penting dilakukan untuk kemudian menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan/penyusunan regulasi selanjutnya," tuturnya.
Baca juga: Cerita Andien Bertemu Ibu Pejuang Ganja Medis untuk Kesembuhan sang Anak
Karena itu, Charles menekankan agar riset medis harus terus berkembang dan dinamis demi tujuan kemanusiaan. "Demi menyelematkan kehidupan Pika, dan anak penderita radang otak lain, yang diyakini sang ibunda bisa diobati dengan ganja. Negara tidak boleh tinggal berpangku tangan melihat Pika Pika lain yang menunggu pemenuhan hak atas kesehatannya," katanya.
Lihat Juga: Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menaker, Singgung Soal Syarat Batas Usia Pelamar Kerja
(abd)