Haji sebagai Sarana Membangun Toleransi

Minggu, 26 Juni 2022 - 11:20 WIB
loading...
Haji sebagai Sarana Membangun Toleransi
Foto/ist
A A A
Ahmad Zainul Hamdi
Guru Besar UINSA Surabaya

TOLERANSI bukanlah hal baru dalam Islam. Terlepas dari berbagai sikap dan tindakan intoleran dan kekerasan yang dipertontonkan oleh sebagian umat Islam, toleransi sesungguhnya adalah salah satu ajaran penting yang sejak awal telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabatnya.

Ada satu hadits yang mengisahkan bahwa suatu hari Nabi Muhammad ditanya sahabat, agama apa yang paling dicintai Allah? Dia menjawab, “al-hanifiyyah al-samhah”. Dalam beberapa referensi, istilah “al-hanifiyah” merujuk pada ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim diakui sebagai Bapak Monoteisme. Islam secara resmi mendaku dirinya sebagai agama tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim.

Istilah “al-hanifiyah” juga digunakan untuk menamai agama beberapa orang Quraisy yang kukuh berpegang pada ajaran tauhid Nabi Ibrahim di tengah praktik penyembahan berhala oleh kaum pagam Arab saat itu. Orang-orang seperti kakek Nabi, Abdul Mutholib, Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy, Utsman bin al-Huwairits, dan Zaid bin Amr bin Nufail disebut memeluk “agama” hanafiyah, yaitu sebuah ajaran tauhid yang diwarisi dari Nabi Ismail dan Ibrahim.

Sementara, istilah “al-samhah” biasa diterjemahkan sebagai toleran. Di dalam Mu’ajam al-Ma’ani al-Jami’ dinyatakan bahwa sebuah hukum disebut sebagai hukum yang samhah apabila di dalamnya mengandung kemudahan dan kelonggaran. Dalam arti bahwa “al-samhah” merujuk pada satu cara pandang dan sikap yang tidak sempit, keras, radikal, dan hitam-putih.



Istilah “al-samhah” dimaknai toleran karena hadits ini terkait dengan hadits lain yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memilih satu di antara dua perkara kecuai dia memilih yang paling memudahkan, asal tidak ada dosa di dalamnya. Di hadits yang lain dinyatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda, Allah telah mensyariatkan agama Islam, kemudian Allah menjadikannya sebagai agama yang mudah, toleran, luas, dan tidak membuatnya menjadi agama yang sempit.

Toleransi adalah kemampuan atau kesediaan seseorang untuk menerima pendapat atau perilaku orang lain yang tidak disukai atau disetujuinya. Kemampuan ini tentu saja menuntut seseorang untuk berpandangan luas. Tidak mungkin bagi orang yang cara pandanganya sempit, sangat konservatif, di mana realitas sepenuhnya dilihat dari kaca mata hitam putih, akan memiliki sikap toleran. Toleransi mensyaratkan sebuah pandangan yang luas dan menerima realitas keragamaan.

Sikap toleran dalam agama menjadi sangat penting dibicarakan terutama menjelang haji yang akan jatuh pada 9 Juli 2022. Setidaknya, ada beberapa alasan mengapa toleransi dalam beragama penting dibicarakan dalam konteks pelaksanaan ibadah haji tahun ini.

Pertama, haji adalah sebuah ritual massal, di mana jutaan kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di waktu dan tempat yang sama. Berkumpulnya jutaan umat Islam ini membuat mereka mau tidak mau harus saling mengenali beragam praktik keagamaan. Mereka akan menemukan beragam cara beribadah yang mungkin saja menurut mazhab yang dianutnya salah. Dengan pengalaman ini, setiap umat Islam dipaksa oleh keadaan untuk melihat dan membiarkan orang lain beribadah sesuai dengan keyakinannya, sekalipun dia tidak menyetujuinya. Nilai terpentingnya dalah bahwa kita boleh saja tidak menyetujui cara beragama seseorang atau sekelompok orang, tapi pada akhirnya kita harus menerimya menjadi bagian dari keragaman cara-cara beragama.

Kedua, berkumpulnya jutaan orang itu pada akhirnya menyadarkan keterbatasan sebuah sudut pandang. Aturan-aturan hukum dalam sebuah mazhab tidak bisa sepenuhnya diterapkan secara ideal. Kondisi ini membuat orang mau tidak mau harus menerima kebenaran mazhab lain karena hanya melalui inilah status keabsahan ibadahnya bisa dicapai.



Contoh yang sering digunakan adalah tentang persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Jika seseorang bermazhab Syafii yang meyakini bahwa persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu, maka mungkin dia tidak akan bisa thawaf karena sangat mungkin akan terjadi peristiwa itu. Jika seseorang meyakini bahwa seseorang harus suci dari hadats ketika thawaf, mungkin orang tersebut akan sangat kesulitan menjalankan thawaf saat tiba-tiba dia kentut, karena dia harus keluar dari Masjidil Haram untuk mengambil air wudhu di luar.

Bayangkan, betapa beratnya beragama jika dalam situasi ini seseorang tidak memiliki sikap toleran. Haji tentu akan menjadi kewajiban yang sangat memberatkan. Padahal, Allah sejak awal tidak menghendaki kewajiban haji ini memberatkan umat Islam sehingga pembebanan kewajiban haji hanya kepada orang yang mampu. Pelaksanaan ibadah haji pun bisa dilaksanakan dengan bantuan orang lain bagi mereka yang tidak cukup memiliki kekuatan fisik untuk menjalankan rukun dan wajibnya.

Menyadari betapa pentingnya sikap toleran dalam haji ini, tidak mengherankan jika Nabi larangan bersikap ekstrem dalam beragama justru disabdakan oleh Nabi Muhammad saat beliau menjalankan ibadah haji. Dikisahkan, saat di Muzdalifah, beliau meminta Abdullah ibn Abbas mengambilkan beberapa kerikil untuk melempar jumrah. Di saat menerima kerikil-kerikil itu di atas tangannya, beliau bersabda, “Pada setiap lontaran kerikil ini, takutlah kalian dengan perbuatan melampaui batas (ekstremisme) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah mengalami kehancuran karena mereka melampaui batas atau bersikap ekstrem dalam beragama”.

Ketiga, tahun 2022 dicanangkan oleh Kementerian Agama sebagai Tahun Toleransi. Ini merupakan bagian dari program moderasi beragama yang digelorakan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Salah satu nilai penting dalam moderasi beragama adalah sikap toleran dan antikekerasan. Intoleransi dan kekerasan adalah salah satu bentuk dari sikap ekstrem atau berlebih-lebihan dalam agama. Jika menggunakan teori amplification spiral yang diperkenalkan Stanley Cohen, kekerasan adalah buah dari intoleransi. Dengan memperkuat nilai-nilai toleransi beragama, diharapkan angka kekerasan bermotif agama semakin menurun.

Sejak awal sejarahnya, ibadah haji selalu adalah ritual massal. Ibadah haji tidak hanya memberi penguatan akan ketersambungan spiritual umat Islam dengan ajaran tauhid yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim, tapi juga memberi kesempatan bagian siapa saja untuk merfleksikan sikap dan praktik keagamaannya. Ibadah haji memberi kesempatan bagi umat Islam di seluruh dunia untuk menumbuhkan sikap toleran dalam beragama. Bagi Indonesia, di tengah kehidupan sosial-keagamaan yang sangat mudah ditemukan khutbah ebencian bahkan berbagai tindakan kekerasan, momentum haji ini semoga bisa memperkuat toleransi dan membangun perdamaian antarsesama anak bangsa.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2550 seconds (0.1#10.140)