Wisata Musik dan Platform Indie

Rabu, 22 Juni 2022 - 15:21 WIB
loading...
Wisata Musik dan Platform Indie
Hemat Dwi Nuryanto (Foto: Ist)
A A A
Hemat Dwi Nuryanto
Lulusan Universite de Toulouse Prancis, Founder SVARA Innovation

KONSER musik skala besar mulai digelar di berbagai tempat. Setelah vakum akibat pandemi, industri musik nasional diharapkan memasuki musim semi. Konser musik yang selama pandemi digelar secara virtual belum mampu menggantikan esensi pergelaran musik pada umumnya.

Meskipun konser virtual sudah dinyatakan sebagai bentuk adaptasi ketika masa pandemi, tetapi achievement industri musik secara keseluruhan ada pada kehadiran penonton secara langsung.

Harapan para musisi agar pemerintah mempermudah terselenggaranya konser yang digelar secara langsung dengan tetap menerapkan ketentuan CHSE (cleanliness, health, safety, and environment sustainability).

Potensi industri musik nasional bisa menjadi daya ungkit sektor pariwisata. Beberapa kota yang selama ini menyandang predikat sebagai kota wisata musik, satu di antaranya adalah Bandung. Perlu strategi yang memadukan konser musik dengan ekowisata yang memiliki panorama indah.

Selama ini Bandung merupakan salah satu kota musik yang punya andil besar dalam perkembangan industri musik di Tanah Air. Banyak musisi dan komunitas dengan berbagai aliran musik lahir di Kota Kembang ini. Pada 2015, UNESCO mengumumkan bahwa Kota Bandung masuk ke dalam kategori kota kreatif dari 47 kota di seluruh belahan dunia.

Predikat kota musik yang ada di Indonesia perlu mengadopsi proyek UNESCO yang menjadikan Bogota sebagai Creative City of Music. Kesuksesan Bogota Internasional Music Festival menjadi magnet yanag luar biasa bagi turis mancanegara. Bogota Music Market (BOMM) tidak hanya menjadi wahana bagi para musisi, tetapi juga menghasilan ribuan proyek atau investasi baru.

Saatnya meneguhkan eksistensi kota musik di Indonesia, sekaligus sebagai destinasi wisata musik. Menurut musisi rock Robin Malau, definisi kota musik yang paling mendasar adalah tempat di mana ekonomi musik berkembang pesat.

Istilah kota musik pada awalnya adalah sebutan untuk Kota Nashville di Amerika Serikat. Di kota itu ekonomi musik tumbuh pesat. Kesuksesan ekosistem musik di kota yang dikenal dengan musik folk khas Amerika tersebut ternyata terbukti berpengaruh pada keadaan sosial, politik, budaya dan ekonomi sebuah kota.

Untuk mewujudkan wisata musik dibutuhkan infrastruktur berupa gedung pusat musik. Sayangnya yang disebut kota musik, seperti contohnya Kota Bandung, sayangnya belum memiliki gedung yang sesuai dengan standar global.

Infrastruktur gedung yang selama ini dijadikan tempat diselenggarakannya pertunjukan musik di Kota Bandung yaitu Sasana Budaya Ganesa (SABUGA Convention Center). Namun gedung ini spesifikasinya belum sesuai sebagai concert hall.

Dengan adanya concert hall yang memenuhi standar dari sebuah gedung pertunjukan musik, Kota Bandung dapat menyelenggarakan pertunjukan musik dengan skala yang lebih besar dan sebagai infrastruktur penunjang wisata musik.

Perkembangan sektor pariwisata global kini menjadikan pagelaran musik sebagai destinasi wisata. Konsep music tourism (wisata musik) terus berkembang dan menyumbangkan devisa yang luar biasa.

Salah satu contohnya Inggris, negara yang menjadikan kawasan Abbey Road dan Festival musik Glastonbury sebagai kiblatnya wisata musik dunia. Sejak 2016 sektor wisata musik di Inggris meraup keuntungan hingga Rp76 triliun. Setiap tahun kunjungan meningkat 11%.

Negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Singapura juga sangat agresif mengembangkan wisata musik. Thailand dengan Full Moon Party atau Festival Bulan Purnama di Phuket. Sedangkan Singapura, menekankan konser musisi dunia.

Perpaduan antara pertunjukan musik dan kegiatan ekowisata sering diselenggarakan oleh komunitas musik independen. Grup musik Indie telah berhasil merintis wisata musik sebagai pendorong pariwisata berbasis potensi lokalitas di pelosok Tanah Air.

Salah satu yang menjadi ciri dari musik indie adalah kentalnya unsur lokalitas yang mereka bawa sebagai bagian dari identitas mereka, baik itu lagu-lagu mereka, bahasa serta penggunaan atribut saat melakukan pertunjukan musik secara langsung.

Mendorong Industri Kreatif
Pemulihan ekonomi nasional sangat dipengaruhi oleh keberhasilan di bidang investasi. Pemerintah telah menentukan target investasi 2022 sebesar Rp 1.200 triliun. Langkah strategis Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno bersama Wamenparekraf Angela Tanoesoedibjo yang menjadikan tahun ini sebagai momentum pemulihan ekonomi sangat ditentukan oleh investor yang mendukung industri kreatif.

Saat ini Indonesia menempati peringkat ketiga dunia, setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan. Di mana industri ekonomi kreatif berkontribusi 7,8% atau senilai Rp1.100 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Para investor diarahkan mendukung usaha industri kreatif dengan memberi pinjaman melalui berbagai platform peer to peer lending. Hingga kini ada tiga sub-sektor industri kreatif yang menjadi penyumbang devisa terbesar yaitu kuliner, kriya dan fashion.

Diharapkan pada 2022, nilai ekspor produk kreatif bisa mencapai Rp16,38 triliun.Selain tiga sub-sektor industri kreatif di atas, sebenarnya semua sektor memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Seperti misalnya sektor musik. Salah satunya musik Indie yang di Tanah Air mulai berkembang pada 1970-an lewat kehadiran Guruh Gipsy, God Bless, dan Super Kid.

Pada 2022 ini, perkembangan musik Indie semakin pesat, Beberapa musisi seperti Efek Rumah Kaca, Pamungkas, Rumah Sakit, Danilla Riyadi, Feast, Nadim Amizah berhasil menjadi idola kaum muda.

Industri musik di atas membutuhkan ekosistem yang baik untuk berkembang, khususnya terkait dengan inovasi yang berupa platform semacam rumahnya musik Indie. Contoh rumah musik Indie adalah platform SVARA. Platform tersebut adalah karya inovasi anak bangsa yang dilengkapi dengan fitur musik, radio, podcast dan video yang bisa menjadi wahana proses kreatif dan pameran bagi para musisi dan kalangan industri.

Keniscayaan, Indonesia membutuhkan super platform pasar budaya yang fungsinya tidak hanya menjadi pajangan produk budaya yang dikomersilkan lewat e-Commerce. Tetapi super platform tersebut juga mampu menyiarkan produk budaya dengan nilai seni dan kaidah jurnalistik yang bagus.

Super platform itu juga bisa menjadi wahana apresiasi publik secara digital yang memiliki jangkauan hingga hiperlokal atau mengakar hingga ke kampung-kampung. Dari aspek komersialisasi produk, super platform kebudayaan perlu kerja sama dengan berbagai pihak yang selama ini memiliki kepedulian terhadap pengembangan produk budaya.

Produk budaya berbasis super platform perlu menyasar kepada generasi milenial. Belanja teknologi informasi di kalangan milenial perlu diarahkan untuk hal-hal yang bersifat kreatif dan produktif.

Kolaborasi pertunjukkan musik Indie dengan destinasi ekowisata perlu bantuan insentif dari pemerimtah pusat dan daerah. Bagi musisi Indie tahapan pertunjukan musik ini juga menjadi salah satu cara mereka memasarkan rilisan fisik mereka.

Musisi indie adalah sosok yang menghasilkan dan membawakan musik terlepas dari kepentingan label-label major. Para musisi indie menciptakan serta membawakan lagu hasil karya mereka sendiri.

Menurut Nelson (2018) indie sebagai istilah untuk para musisi yang mencoba mempertahankan “aura seni yang asli”, dan juga yang mencoba menjaga sikap antimainstream dengan memproduksi musik yang menjadi identitas mereka berdasarkan idealisme. Namun tidak menolak untuk mendapatkan paparan media, di mana artis atau musisi tersebut dapat memperoleh publisitas dan marketing yang lebih luas lewat platform.

Baca Juga: koran-sindo.com

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1759 seconds (0.1#10.140)