Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan juga Universitas Pelita Harapan (UPH), mendapat piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Foto/Ist
AAA
JAKARTA - Mengangkat disertasi berjudul Eksistensi SIN Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo diganjar penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Tak hanya Hadi Poernomo, Universitas Pelita Harapan (UPH) juga mendapatkan penghargaan yang sama dari MURI, sebagai perguruan tinggi pertama dan doktor hukum pertama yang melakukan uji publik disertasi yang dihadiri oleh lebih dari 1.500 peserta sebelum sidang terbuka.
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengungkapkan, tentang solusi melunasi utang negara yang terus membengkak. Caranya adalah dengan menerapkan Single Indentity Number (SIN) Pajak.
"SIN adalah sistem informasi yang terintegrasi berisi data-data baik finansial maupun nonfinansial. Dengan menerapkan SIN, semua pihak diwajibkan untuk membuka dan menyambungkan sistemnya ke pajak, termasuk yang rahasia," kata Hadi Poernomo usai mengikuti wisuda S3 di UPH, Karawaci, Tangerang, Banten, Rabu (15/6/2022).
Hadi Poernomo yang merupakan lulusan terbaik doktor hukum dengan predikat summa cum laude ini menjelaskan, dengan begitu, semua pihak terpaksa jujur sehingga tak ada lagi yang menggelapkan pajaknya.
"Hasilnya, tax ratio akan naik. Penerimaan pajak yang tinggi ini bisa digunakan untuk membayar semua utang negara. Jadi SIN ini bisa menyelesaikan SUN, semua utang negara," ungkap Hadi.
Uji publik ini menguji dari sisi feasebility dan kemanfaatan di masyarakat atas novelty (kebaruan) pemikiran ilmu pengetahuan dalam sebuah disertasi. Hal tersebut sejalan dengan yang tertulis dalam penelitian bahwa sebuah penelitian memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Mantan Ketua BPK ini lalu menyoroti tax ratio yang cenderung menurun sejak 6 tahun lalu. Dua tahun terakhir angkanya malah di bawah 10 persen. Tahu depan, pemerintah manargetkan tax ratio di angka 9,3-10 persen. Alasannya ekonomi masih belum pulih karena dihantam pandemi.
"Sebenarnya pandemi tak bisa dijadikan alasan untuk meningkatkan tax ratio," kata Hadi.
Ia lalu menceritakan pengalamannya saat memimpin Ditjen Pajak. Saat itu, secara perlahan tapi pasti, ia mampu meningkatkan penerimaan pajak. Pada 2005, tax ratio tercatat mencapai 12,7 persen. Padahal saat itu ekonomi masih tertatih-tatih setelah dihantam krisis moneter 1998.
"Regulasinya pun masih seadanya. Tidak seperti sekarang," ujarnya.
Saat itu lanjut Hadi, pemerintah mulai melakukan reformasi perpajakan dengan menjalankan program integrasi data dalam sebuah SIN pajak melalui nota kesepahaman (MoU) ke berbagai instansi baik instansi pemerintah maupun swasta.
Kebutuhan nomor tunggal sebagai alat penyatu data dalam metode link and match sebenarnya telah disadari oleh Pemerintah dengan mengusulkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengamanatkan nomor tunggal antara Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun harus disadari bahwa penyatuan NPWP dan NIK saja tidaklah cukup. Terdapat beberapa kelemahan dengan hanya menyatukan NPWP dan NIK berkaitan dengan adanya sifat rahasia data Pajak dan kaitannya dengan wali data yang seharusnya berada pada DJP sebagai Penerima Kewenangan Atributif.
"Belum lagi masalah kecukupan data sesuai keinginan pemerintah untuk meneliti uji kepatuhan aliran data pihak ketiga yang bahkan tidak ada dalam database NIK yang akan digabungkan dengan," tutupnya.