Kekerasan Seksual di Kampus dan Kebijakan Berbasis Bukti

Kamis, 16 Juni 2022 - 11:59 WIB
loading...
A A A
Hasil survei Value Champion (2019) menunjukkan Indonesia sebagai negara ke-2 paling berbahaya bagi perempuan di Kawasan Asia Pasifik. Survei Ditjen Diktiristek (2020) mengungkapkan 77% dosen menyatakan “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus“, dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Dari regulasi maka belum ditemukan aturan khusus pada jenjang Perguruan Tinggi. Regulasi yang ada didominasi identitas yang belum terlindungi seperti UU Perlindungan Anak, UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Adapun yang lain yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Apakah peraturan ini disusun secara sistematis dan melibatkan berbagai pihak? Terungkap adanya tiga fase penyusunan yaitu pengumpulan data (Maret 2020), pembahasan substansi (Juni 2020), dan persiapan infrastruktur pelaksanaan (September 2020).

Pengumpulan data melibatkan dengar pendapat mahasiswa, pendidik, praktis dan pejabat lintas Kementerian/Lembaga. Juga, mempertimbangkan praktik baik di beberapa perguruan tinggi. Pembahasan subtansi dilakukan dengan uji publik di beberapa kota. Uji publik melibatkan sivitas akademika, pegiat isu kekerasan seksual, Lembaga Pendampingan Korban Kekerasan Seksual (LPKKS), Forum Lintas Iman, dan Kementerian/Lembaga lain.

Apakah perangkat implementasi peraturan sudah disiapkan? Terungkap, pedoman pelaksanaan peraturan dalam bentuk animasi dan buku sudah disiapkan. Juga pedoman pembentukan panitia dan modul pelatihan untuk seleksi (pansel) dan satuan tugas (satgas), modul pembelajaran bagi mahasiswa, sivitas akademika, dosen atau tenaga kependidikan. Hal yang menarik, sudah dikembangkan aplikasi pelaporan bagi korban yang dijaga dan dijamin kerahasiaannya.

Tindaklanjut Kebijakan
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 secara prosedur dan metodologi sesungguhnya sudah memenuhi prinsip formulasi kebijakan berbasis bukti. Publik dapat mengetahui secara terbuka dan mudah proses penyusunan peraturan ini. Modul-modul juga dapat diakses bagi pemangku kepentingan yang relevan.

Tampaknya masih terdapat tiga tantangan sebagai tindaklanjut peraturan ini. Pertama, sejauhmana perguruan tinggi segera bergerak untuk menuntaskan permasalahan kekerasan seksual? Kekerasan mungkin selama ini sudah ada di kampus, tetapi cenderung di-"peties"-kan.

Kedua, apakah pelaku atau predator kekerasan, bersedia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya? Hal ini tidak mudah karena menyangkut kredibilitas pelaku dan kemungkinan sanksi yang akan diterima.

Ketiga, bagaimana masyarakat turut mengambil peran untuk menjadi pengawas dan pengontrol? Peran ini agar dapat memastikan kampus sebagai tempat aman dan nyaman dari tindakan kekerasan.

Hal yang pasti permohonan hak uji materiil oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat dengan nomor perkara 34P/HUM/2022, telah ditolak pengadilan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1926 seconds (0.1#10.140)