Kekerasan Seksual di Kampus dan Kebijakan Berbasis Bukti

Kamis, 16 Juni 2022 - 11:59 WIB
loading...
Kekerasan Seksual di Kampus dan Kebijakan Berbasis Bukti
Hendarman (Foto: Ist)
A A A
HENDARMAN
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek

MASIH terdapat pihak-pihak yang memasalahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Bahkan ada yang menggugat peraturan tersebut dengan permohonan uji materi yang diajukan kepada Mahkamah Agung.

Apakah peraturan tersebut tidak memenuhi norma sebagai sebuah kebijakan? Apakah peraturan tersebut tidak berbasis bukti yang cukup kuat?

Faktor Penting Kebijakan Publik
Kebijakan publik dipengaruhi oleh tiga faktor penting (Eko Prasojo, 2021), yaitu pengetahuan, kewenangan dan kepentingan. Pengetahuan mencakup teori dan data. Kewenangan terkait otoritas dan kuasa yang dimiliki oleh pihak yang mengeluarkan kebijakan. Sedangkan kepentingan dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Kebijakan yang baik seyogianya didukung oleh ketiga faktor tersebut. Di samping itu, harus disertai bukti yang memadai yang dikenal sebagai kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) atau kebijakan berbasis pengetahun (knowledge-based policy).

Adi Suryanto (2021) dalam makalahnya “Peran Analis Kebijakan dalam Kajian dan Analisis Kebijakan di Era VUCA” menegaskan bahwa kebijakan yang baik dan berbasis bukti juga ditentukan oleh tiga hal. Pertama yaitu unsur pembentuk bukti kuat (robust evidence) yang ditentukan oleh metodologi dan kapasitas analis kebijakan.

Kedua, berupa translasi laporan riset ke materi kebijakan. Dua komponen terkait yaitu perubahan dari data produser menjadi knowledge management, serta mandat jelas dan komitmen kuat dalam perumusan kebijakan.

Ketiga yaitu jaminan kredibilitas informasi (publikasi). Artinya, kebijakan tersebut dijamin oleh transparansi yaitu keterbukaan, akses dan peluang debat dari komunitas epistemik dan publik. Di samping itu, terdapat independensi dengan indikator kemandirian, objektivitas dan inklusivitas lembaga dan hasil kerja.

Berbasis Bukti
Apakah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan sebuah solusi? Peraturan ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mengatasi kasus kekerasan di perguruan tinggi. Kedua, menjamin hak Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan di pendidikan tinggi yang aman. Ketiga, memungkinkan pimpinan perguruan tinggi memiliki kepastian hukum untuk mengambil langkah tegas.


Apakah peraturan ini didukung latar belakang, data dan informasi akurat? Data kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2015-2020) menunjukkan kasus tertinggi pada universitas (27%), diikuti pesantren atau pendidikan berbasis Islam (19%), SMU/SMK (15%), SMP (7%), dan bahkan pada TK, SD, SLB dan Pendidikan Berbasis Kristen (12%).

Hasil survei Value Champion (2019) menunjukkan Indonesia sebagai negara ke-2 paling berbahaya bagi perempuan di Kawasan Asia Pasifik. Survei Ditjen Diktiristek (2020) mengungkapkan 77% dosen menyatakan “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus“, dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Dari regulasi maka belum ditemukan aturan khusus pada jenjang Perguruan Tinggi. Regulasi yang ada didominasi identitas yang belum terlindungi seperti UU Perlindungan Anak, UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Adapun yang lain yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Apakah peraturan ini disusun secara sistematis dan melibatkan berbagai pihak? Terungkap adanya tiga fase penyusunan yaitu pengumpulan data (Maret 2020), pembahasan substansi (Juni 2020), dan persiapan infrastruktur pelaksanaan (September 2020).

Pengumpulan data melibatkan dengar pendapat mahasiswa, pendidik, praktis dan pejabat lintas Kementerian/Lembaga. Juga, mempertimbangkan praktik baik di beberapa perguruan tinggi. Pembahasan subtansi dilakukan dengan uji publik di beberapa kota. Uji publik melibatkan sivitas akademika, pegiat isu kekerasan seksual, Lembaga Pendampingan Korban Kekerasan Seksual (LPKKS), Forum Lintas Iman, dan Kementerian/Lembaga lain.

Apakah perangkat implementasi peraturan sudah disiapkan? Terungkap, pedoman pelaksanaan peraturan dalam bentuk animasi dan buku sudah disiapkan. Juga pedoman pembentukan panitia dan modul pelatihan untuk seleksi (pansel) dan satuan tugas (satgas), modul pembelajaran bagi mahasiswa, sivitas akademika, dosen atau tenaga kependidikan. Hal yang menarik, sudah dikembangkan aplikasi pelaporan bagi korban yang dijaga dan dijamin kerahasiaannya.

Tindaklanjut Kebijakan
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 secara prosedur dan metodologi sesungguhnya sudah memenuhi prinsip formulasi kebijakan berbasis bukti. Publik dapat mengetahui secara terbuka dan mudah proses penyusunan peraturan ini. Modul-modul juga dapat diakses bagi pemangku kepentingan yang relevan.

Tampaknya masih terdapat tiga tantangan sebagai tindaklanjut peraturan ini. Pertama, sejauhmana perguruan tinggi segera bergerak untuk menuntaskan permasalahan kekerasan seksual? Kekerasan mungkin selama ini sudah ada di kampus, tetapi cenderung di-"peties"-kan.

Kedua, apakah pelaku atau predator kekerasan, bersedia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya? Hal ini tidak mudah karena menyangkut kredibilitas pelaku dan kemungkinan sanksi yang akan diterima.

Ketiga, bagaimana masyarakat turut mengambil peran untuk menjadi pengawas dan pengontrol? Peran ini agar dapat memastikan kampus sebagai tempat aman dan nyaman dari tindakan kekerasan.

Hal yang pasti permohonan hak uji materiil oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat dengan nomor perkara 34P/HUM/2022, telah ditolak pengadilan.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2615 seconds (0.1#10.140)