Kekerasan Antarsesama Jauh dari Budaya Bangsa
loading...
A
A
A
RENTETAN kasus pengeroyokan seperti yang terakhir terjadi di Jakarta dan Yogyakarta membuat banyak pihak prihatin. Apapun faktor yang melatarbelakanginya, kekerasan itu tidak bisa dibenarkan. Dan yang lebih membuat kita mengelus dada, tindakan kekerasan itu begitu mudah meletup.
Kekerasan itu pun bukan dipicu persoalan kuat seperti ada ancaman terkoyaknya harga diri, pertahanan atau persatuan bangsa. Pengeroyokan justru seringkali hanya disulut masalah sepele, seperti senggolan kendaraan di jalan, persoalan rebutan perempuan, saling tatap pandang atau ketegangan di klub malam. Bahkan Januari 2022 lalu, akibat ribut-ribut di sebuah klub malam di Papua Barat, sedikitnya 18 orang pengunjung dan pegawai klub harus kehilangan nyawa.
Ini membuat keprihatinan mendalam lantaran orang mudah marah hingga nyawa seolah menjadi murah. Yang membuat lebih miris, seringkali justru pelaku sejumlah kasus kekerasan itu adalah orang-orang yang dididik untuk menegakkan hukum. Kasus di Yogyakarta yang menimpa Bryan Yoga Kusuma dengan melibatkan dua polisi misalnya menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan panjang, gelar berikut pangkat tinggi tidak menjamin terhadap tingginya kesadaran mereka dalam menjalankan hukum.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai penghormatan dan persaudaraan, kekerasan demi kekerasan itu jelas tidak bisa dibenarkan. Bangsa Indonesia telah lama menanamkan prinsip-prinsip dasar guna menyelesaikan setiap perbedaan maupun ketegangan seperti dengan jalan musyawarah sebagaimana yang termaktub dalam sila keempat Pancasila. Tentu di luar jalur ini, banyak solusi lain yang telah diajarkan dan ditawarkan para leluhur bangsa guna meredakan setiap ada konflik.
Maraknya kasus kekerasan antarsesama ini jelas menuntut kita sebagai penerus generasi bangsa berkaca. Kenapa begitu mudah generasi sekarang bertikai bahkan harus ada yang terlukai atau kehilangan nyawanya? Faktor apa yang membuat mereka cepat bertindak melakukan kekerasan? Apakah nilai-nilai luhur yang dianut bangsa ini memang sudah tidak relevan lagi dan perlu ditata ulang?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus diurai bersama guna merumuskan solusi yang terbaik. Sangat mungkin, lewat kajian yang mendalam ada rumusan baru, baik terkait pola antisipasi, penanganan saat kejadian hingga pascakonflik. Semua harus memiliki kesadaran bersama, bahwa budaya-budaya luhur kita tidak sepenuhnya terimplementasi kuat bagi generasi sekarang.
Dari aspek pendidikan misalnya, mungkin bisa diurai sejauhmana nilai-nilai yang ditanamkan selama ini efektif dalam membangun karakter siswa. Pendidikan menjadi poros penting karena dari titik inilah cara pandang seseorang terhadap suatu konflik akan terukur. Model pendidikan yang sekadar transfer pengetahuan tentu tidak lagi menjadi solusi di tengah impitan perkembangan teknologi informasi saat ini.
Demikian juga soal pemahaman agama tidak bisa disepelekan. Apakah nilai-nilai agama hanya dipahami sebatas bahan hafalan dan penjelasan tekstual, atau sudah mengedepankan aspek implementatif yang menyandingkan realitas.
Sekali lagi, solusi kekerasan yang terjadi akhir-akhir harus menjadi tanggung jawab bersama. Penanganannya tentu tidak sekadar parsial seperti pada kasus yang menimpa Bryan atau Justin Fredrick yang mencuat belakangan ini, namun perlu lebih komprehensif dengan melihat akar masalah dari fenomenanya.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kekerasan itu pun bukan dipicu persoalan kuat seperti ada ancaman terkoyaknya harga diri, pertahanan atau persatuan bangsa. Pengeroyokan justru seringkali hanya disulut masalah sepele, seperti senggolan kendaraan di jalan, persoalan rebutan perempuan, saling tatap pandang atau ketegangan di klub malam. Bahkan Januari 2022 lalu, akibat ribut-ribut di sebuah klub malam di Papua Barat, sedikitnya 18 orang pengunjung dan pegawai klub harus kehilangan nyawa.
Ini membuat keprihatinan mendalam lantaran orang mudah marah hingga nyawa seolah menjadi murah. Yang membuat lebih miris, seringkali justru pelaku sejumlah kasus kekerasan itu adalah orang-orang yang dididik untuk menegakkan hukum. Kasus di Yogyakarta yang menimpa Bryan Yoga Kusuma dengan melibatkan dua polisi misalnya menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan panjang, gelar berikut pangkat tinggi tidak menjamin terhadap tingginya kesadaran mereka dalam menjalankan hukum.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai penghormatan dan persaudaraan, kekerasan demi kekerasan itu jelas tidak bisa dibenarkan. Bangsa Indonesia telah lama menanamkan prinsip-prinsip dasar guna menyelesaikan setiap perbedaan maupun ketegangan seperti dengan jalan musyawarah sebagaimana yang termaktub dalam sila keempat Pancasila. Tentu di luar jalur ini, banyak solusi lain yang telah diajarkan dan ditawarkan para leluhur bangsa guna meredakan setiap ada konflik.
Maraknya kasus kekerasan antarsesama ini jelas menuntut kita sebagai penerus generasi bangsa berkaca. Kenapa begitu mudah generasi sekarang bertikai bahkan harus ada yang terlukai atau kehilangan nyawanya? Faktor apa yang membuat mereka cepat bertindak melakukan kekerasan? Apakah nilai-nilai luhur yang dianut bangsa ini memang sudah tidak relevan lagi dan perlu ditata ulang?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus diurai bersama guna merumuskan solusi yang terbaik. Sangat mungkin, lewat kajian yang mendalam ada rumusan baru, baik terkait pola antisipasi, penanganan saat kejadian hingga pascakonflik. Semua harus memiliki kesadaran bersama, bahwa budaya-budaya luhur kita tidak sepenuhnya terimplementasi kuat bagi generasi sekarang.
Dari aspek pendidikan misalnya, mungkin bisa diurai sejauhmana nilai-nilai yang ditanamkan selama ini efektif dalam membangun karakter siswa. Pendidikan menjadi poros penting karena dari titik inilah cara pandang seseorang terhadap suatu konflik akan terukur. Model pendidikan yang sekadar transfer pengetahuan tentu tidak lagi menjadi solusi di tengah impitan perkembangan teknologi informasi saat ini.
Demikian juga soal pemahaman agama tidak bisa disepelekan. Apakah nilai-nilai agama hanya dipahami sebatas bahan hafalan dan penjelasan tekstual, atau sudah mengedepankan aspek implementatif yang menyandingkan realitas.
Sekali lagi, solusi kekerasan yang terjadi akhir-akhir harus menjadi tanggung jawab bersama. Penanganannya tentu tidak sekadar parsial seperti pada kasus yang menimpa Bryan atau Justin Fredrick yang mencuat belakangan ini, namun perlu lebih komprehensif dengan melihat akar masalah dari fenomenanya.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)