Tak Bayar Pajak ke Negara, Gerindra Kritik Kerja Sama Kemendikbud-Netflix

Selasa, 23 Juni 2020 - 09:47 WIB
loading...
Tak Bayar Pajak ke Negara,...
Tak bayar pajak ke negara, kerja sama Kemendikbud dengan Netflix diprotes. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Demi memperkuat program Belajar dari Rumah (BDR) selama masa pandemi Covid-19 ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggandeng penyedia layanan streaming Netflix.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Gerindra memiliki beberapa catatan kritis terkait kerja sama tersebut. Pertama, Netflix sendiri diketahui belum membayar pajak sehingga mendapat sorotan dari Menteri Keuangan (Menkeu). Dari data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya PMK No.48 Tahun 2020 yang mengatur tentang penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% bagi subjek pajak luar negeri, Netflix belum memenuhi kewajibannya kepada negara.

Kedua, Ali juga menyoroti legalitas Netflix di Indonesia yang masih dipertanyakan. Status karyawan yang bekerja di Netflix juga dikritisi legislator dapil Banten 1 ini. Apalagi, tambah Ali, kerja sama Kemendikbud dengan Netflix diduga bermotif kepentingan bisnis yang berujung pada komersialisasi pendidikan. “Legalitas Netflix inikan masih bermasalah. Selama mereka beroperasi, izin perusahaan ini apa sudah terdaftar? Kita juga harus mempertanyakan bagaimana status para karyawan yang bekerja di Netflix karena status perusahaanya kan yang belum jelas,” kata Ali dalam keterangan resminya, Selasa (23/6/2020). (Baca juga: Kerja Sama dengan Netflix Diprotes, Kemendikbud Tindak Lanjuti Masukan DPR)

Politisi Asal Partai Gerindra ini pun menuding upaya komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh Kemendikbud makin terasa dengan adanya kerja sama ini. Ali menilai yang dilakukan Kemendikbud dan Netflix diduga sarat kepentingan bisnis yang menjadi latarberlakangnya. “Kita tahu bahwa latar belakang Mas Menteri kan pebisnis. Saya khawatir ada conflict of interest antara kementerian ini dengan Netflix. Jangan sampai dunia pendidikan ini terus menerus dikomersilkan karena memanfaatkan bencana Covid-19 ini,” jelas Ali.

Terkait konten, Ali juga menilai konten-konten Netflix tidak layak dikonsumsi oleh para pelajar yang masih di bawah umur. Pengawasan terhadap isi konten Netflix saat ini disoroti tidak hanya oleh kalangan legislator, tetapi juga Kemenkominfo, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan akademisi. “Saya memastikan Kemendikbud belum mengajak bicara instansi seperti Kominfo, KPI, BRTI dan kalangan akademisi dalam hal konten Netflix. Konten Netflix perlu dikaji lebih jauh karena banyak yang tidak layak dikonsumsi pelajar. Jangan sampai kerja sama ini malah muncul masalah baru,” tambah Ali. (Baca juga: Tak Berkontribusi ke Negara, Kerja Sama Netflix Dinilai Janggal)

Kemendikbud sendiri dinilainya belum melakukan kajian secara komperhensif. Untuk itu dirinya mengingatkan agar Kemendikbud dalam mengambil semua kebijakan harus punya kerangka berfikir secara utuh. Sebab, tambah Ali, Jangankan untuk bisa membuka dan menikmati Netflix, faktanya masih banyak daerah yang belum bisa mendapat sinyal internet, terutama di daerah-daerah 3T. Kemendikbud dalam mengambil kebijakan jangan Jakarta sentris, tapi harus indonesia sentris. “Sudah dikaji belum secara utuh kerja sama ini. Jangankan menikmati tayangan Netflix, untuk mengakses internet saja kan masih banyak yang kesulitan. Terutama didaerah-daerah 3T. Pemerataan akses internet masih belum optimal,” tegas Ali.

Ali pun menyayangkan kerja sama Netflix dan Kemendikbud di tengah potensi TV Edukasi yang belum dioptimalkan. Padahal, di Kemendikbud ada Pustekkom atau TV Edukasi sebagai televisi pendidikan yang berada di bawah Kemendikbud secara langsung.

Ali sendiri mengakui pernah datang langsung ke Studio TV Edukasi Pusdatin/ Pustekkom Kemendikbud. Menurutnya peralatan dan jaringan lengkap, SDM juga mumpuni itu saja di kuatkan tidak perlu bekerja sama dengan Netflix. “Di Kemendikbud itu ada TV Edukasi, justru menjadi pertanyaan kenapa Kemendikbud malah bekerja sama dengan Netflix. Ini kan perlu kita kritisi ada apa sebenarnya dengan kerja sama Netflix dan Kemendikbud. Harusnya Kemendikbud kuatkan TV Edukasi dengan menambah anggarannya. Bukan sebaliknya,” kata Ali. (Baca juga: DPR Anggap Kerja Sama Kemendikbud dengan Netflix Kurang Etis)

Terpisah, Mendikbud Nadiem Makarim menanggapi polemik soal kerja sama dengan Netflix dalam penyediaan konten siaran film dokumenter untuk TVRI sebagai materi ajar selama kegiatan belajar dari rumah. Nadiem mengatakan kerja sama tersebut dilakukan secara gratis dengan tujuan untuk memberikan sajian tontonan mengenai kebhinekaan global. Nadiem juga menyebut mayoritas tontonan yang disajikan Kemendikbud melalui TVRI untuk sajian belajar dari rumah adalah konten-konten lokal. "Konten lokal masih mendominasi dan 100% gratis. Ini bertujuan untuk memberikan kebhinekaan global, knowledge yang global," ujar Nadiem saat Rapat Kerja dengan Komisi X DPR secara virtual, Senin (22/6/2020).

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menambahkan, program kerja sama dengan Netflix tersebut sebenarnya adalah kesepakatan lama. "Perlu diketahui kerja sama dengan Netflix ini sudah dimulai sejak Januari 2020," katanya.

Disebutkan Hilmar, kerja sama tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas pelatihan untuk industri film di dalam negeri mulai dari penulisan skenario hingga produksi. Ketika terjadi pandemi Corona, kemudian ada pembicaraan dengan Netflix untuk menggunakan film dokumenter sebagai bahan ajar program belajar di rumah.

Hilmar menyebutkan ada 14 judul film dokumenter yang setara dengan 12 jam tayang dan digunakan untuk tiga bulan proses belajar dari rumah. "Kalau dilihat film-film ini nilainya jutaan dolar dan seluruhnya ditanggung Netflix. Kemendikbud tidak menggunakan biaya. Ada mispersepsi sebaiknya anggaran digunakan untuk produk lokal, saya jelaskan tidak ada anggaran untuk Netflix," katanya.

Hilmar menyebutkan penayangan film dokumenter dari Netflix ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan pengetahuan mengenai kebhinekaan global. "Programnya fokus ke planet bumi dan sains dokumenter. Ada 311 jam tayang program belajar dari rumah, 99% lebih adalah konten lokal," paparnya.

Hilmar mengaku telah banyak melibatkan para seniman lokal untuk membuat konten-konten lokal dalam tayangan konten pembelajaran dari rumah. "Ke depan akan semakin besar konten lokal dan pekerja seni yang kita libatkan," paparnya.

Dikatakan Hilmar, konten film dokumenter dari Netflix yang ditayangkan melalui TVRI tersebut juga terlebih dahulu melalui proses kurasi yang ketat, apa yang boleh dan tidak untuk ditayangkan. "Kami melibatkan perwakilan lembaga sensor film, Komisi Penyiaran Indonesia, TVRI, dan Kemendikbud. Jadi melalui proses pengujian. Kami sangat berhati-hati mengenai konten apa yang boleh dan tidak. Dan mengenai keprihatinan publik, sangat kami pahami dan kami kawal dengan ketat," katanya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1473 seconds (0.1#10.140)