Suara-Suara Tertahan
loading...
A
A
A
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Pertanyaan “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” mungkin serupa dengan “Mengapa langit berwarna biru?” atau “Mengapa payudara perempuan bentuknya menggelembung sedemikian rupa?” Semua bermuara di satu titik jawaban, “Sebab, memang begitulah semesta bekerja: dengan tidak membiarkan segalanya tercipta sia-sia.”
Yap, semua hal di jagat ini memiliki perannya masing-masing. Jika ada hal-hal yang masih menjadi misteri, tentu bukan karena tidak punya peran apa-apa, tetapi pengetahuan kita saja yang belum sampai ke titik itu. Itu termasuk untuk sekian juta pertanyaan yang muncul tiba-tiba di sepanjang perjalanan hidup kita. Seperti yang tersirat dari judul buku ini, adalah fitrah manusia mempertanyakan macam-macam hal yang menarik minatnya, atau mungkin sesuatu yang telah berdampak besar terhadap kehidupannya.
Dibuka dengan cerpen Menunggu Marduk Datang, Sasti seolah-olah mengingatkan pembaca bahwa memang kegiatan menunggu amatlah membosankan, bahkan tidak jarang malah melelahkan. Menunggu berarti diam. Dan, dalam diam, seringnya benak kita malah mengembara ke mana-mana, menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi seharusnya tidak perlu dipikirkan. Ya, apa lagi? Sebab, masa depan memang bukan hal yang dapat dipastikan.
Akan tetapi, menunggu bukan melulu hal yang menjengkelkan. Semesta kerap mengirim sinyal kepada kita. Dan, menunggu adalah sebuah syarat. Seperti yang coba Sasti sampaikan dalam cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?. Seandainya Eren mau menunggu sebentar lagi agar Han bisa mengantarnya pulang, mungkin peristiwa di bawah Jembatan Semanggi tidak perlu terjadi.
Mungkin, pernikahan mereka yang tinggal mencari tanggal baik pun bisa berlangsung. Mungkin, Han tidak perlu terdiam di meja makan seolah-olah mendengar serenade yang muncul entah dari mana. Mungkin, ia juga tidak perlu berjumpa kucing hitam yang tiba-tiba saja bertengger di ambang jendela dapur. Mungkin, kucing itu juga tidak perlu menggelepar dengan mulut berbusa setelah menjilat tumpahan susu yang sejatinya hendak Han minum.
Memang, semuanya masih serba-mungkin. Setidaknya, dengan menunggu sebentar lagi, dukacita bisa sedikit menunda kehadirannya. “Kadang, siapa yang salah, bukan tergantung pada siapa yang benar-benar berbuat.” (Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?, halaman 28)
Dalam cerpen ini, dengan lantang Sasti menyodorkan pertanyaan, “Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan?” Apalagi, jika ia adalah orang terkasih. Apalagi, jika kehilangan itu seharusnya tidak perlu terjadi apabila mau sedikit bersabar. Apalagi, kesalahan selalu dan selalu ditimpakan kepada orang-orang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan keributan yang tengah terjadi.
Semesta memang tidak pernah salah memilih. Akan tetapi, terkadang ada energi tertentu yang amat kuat menarik kita ke dalam palung hitam tanpa ada kesempatan kembali ke permukaan. Ada kalanya kematian bukan berarti sesuatu yang buruk. Seperti dedaunan yang luruh di musim gugur, yang justru memberi kesempatan daun-daun baru untuk tumbuh. Seperti juga Hujan dalam cerpen Pembersih Jejak Kematian, yang kehilangan topeng, tetapi kembali mendapatkan jiwanya.
Kali ini Sasti menyampaikan bahwa apa yang tampak, belum tentu nyata. Manusia sejak awal telah berkenalan dengan fungsi topeng―harfiah maupun kiasan, untuk ritual maupun pencitraan. Ada pula topeng yang seperti dipakai Hujan, yang cocok sekali untuk menyembunyikan luka. Topeng model ini jamak dipakai perempuan yang hidup dalam belenggu atau malah sangkar emas. Jika sudah begitu, kematian menjadi satu-satunya kawan baik yang memahami segalanya, sekaligus membebaskan dari belenggu.
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Pertanyaan “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” mungkin serupa dengan “Mengapa langit berwarna biru?” atau “Mengapa payudara perempuan bentuknya menggelembung sedemikian rupa?” Semua bermuara di satu titik jawaban, “Sebab, memang begitulah semesta bekerja: dengan tidak membiarkan segalanya tercipta sia-sia.”
Yap, semua hal di jagat ini memiliki perannya masing-masing. Jika ada hal-hal yang masih menjadi misteri, tentu bukan karena tidak punya peran apa-apa, tetapi pengetahuan kita saja yang belum sampai ke titik itu. Itu termasuk untuk sekian juta pertanyaan yang muncul tiba-tiba di sepanjang perjalanan hidup kita. Seperti yang tersirat dari judul buku ini, adalah fitrah manusia mempertanyakan macam-macam hal yang menarik minatnya, atau mungkin sesuatu yang telah berdampak besar terhadap kehidupannya.
Dibuka dengan cerpen Menunggu Marduk Datang, Sasti seolah-olah mengingatkan pembaca bahwa memang kegiatan menunggu amatlah membosankan, bahkan tidak jarang malah melelahkan. Menunggu berarti diam. Dan, dalam diam, seringnya benak kita malah mengembara ke mana-mana, menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi seharusnya tidak perlu dipikirkan. Ya, apa lagi? Sebab, masa depan memang bukan hal yang dapat dipastikan.
Akan tetapi, menunggu bukan melulu hal yang menjengkelkan. Semesta kerap mengirim sinyal kepada kita. Dan, menunggu adalah sebuah syarat. Seperti yang coba Sasti sampaikan dalam cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?. Seandainya Eren mau menunggu sebentar lagi agar Han bisa mengantarnya pulang, mungkin peristiwa di bawah Jembatan Semanggi tidak perlu terjadi.
Mungkin, pernikahan mereka yang tinggal mencari tanggal baik pun bisa berlangsung. Mungkin, Han tidak perlu terdiam di meja makan seolah-olah mendengar serenade yang muncul entah dari mana. Mungkin, ia juga tidak perlu berjumpa kucing hitam yang tiba-tiba saja bertengger di ambang jendela dapur. Mungkin, kucing itu juga tidak perlu menggelepar dengan mulut berbusa setelah menjilat tumpahan susu yang sejatinya hendak Han minum.
Memang, semuanya masih serba-mungkin. Setidaknya, dengan menunggu sebentar lagi, dukacita bisa sedikit menunda kehadirannya. “Kadang, siapa yang salah, bukan tergantung pada siapa yang benar-benar berbuat.” (Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?, halaman 28)
Dalam cerpen ini, dengan lantang Sasti menyodorkan pertanyaan, “Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan?” Apalagi, jika ia adalah orang terkasih. Apalagi, jika kehilangan itu seharusnya tidak perlu terjadi apabila mau sedikit bersabar. Apalagi, kesalahan selalu dan selalu ditimpakan kepada orang-orang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan keributan yang tengah terjadi.
Semesta memang tidak pernah salah memilih. Akan tetapi, terkadang ada energi tertentu yang amat kuat menarik kita ke dalam palung hitam tanpa ada kesempatan kembali ke permukaan. Ada kalanya kematian bukan berarti sesuatu yang buruk. Seperti dedaunan yang luruh di musim gugur, yang justru memberi kesempatan daun-daun baru untuk tumbuh. Seperti juga Hujan dalam cerpen Pembersih Jejak Kematian, yang kehilangan topeng, tetapi kembali mendapatkan jiwanya.
Kali ini Sasti menyampaikan bahwa apa yang tampak, belum tentu nyata. Manusia sejak awal telah berkenalan dengan fungsi topeng―harfiah maupun kiasan, untuk ritual maupun pencitraan. Ada pula topeng yang seperti dipakai Hujan, yang cocok sekali untuk menyembunyikan luka. Topeng model ini jamak dipakai perempuan yang hidup dalam belenggu atau malah sangkar emas. Jika sudah begitu, kematian menjadi satu-satunya kawan baik yang memahami segalanya, sekaligus membebaskan dari belenggu.