Kembali Bahas RUU KUHP, Wamenkumham: Penghinaan Presiden Delik Aduan

Rabu, 25 Mei 2022 - 17:06 WIB
loading...
Kembali Bahas RUU KUHP,...
Wamenkumham Edward OS Hiariej mengatakan ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) merupakan delik aduan sebagaimana putusan MK. Foto/Kemenkumham
A A A
JAKARTA - Komisi III DPR bersama dengan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej kembali melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) . Pasalnya, pengesahannya terhenti pada akhir DPR periode 2014-2019 lalu.

Salah satu yang dijelaskan oleh Wamenkumham mengenai ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres), yang merupakan delik aduan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Wamenkumham menjelaskan RUU KUHP sudah masuk prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022. RUU KUHP juga direncanakan diselesaikan dalam masa sidang ke-5 tahun 2022 ini. Secara garis besar, terhadap isu-isu kontroversi ini ada beberapa hal dan ada beberapa yang hapus.

“Kami hapus menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), lalu ada yang tetap tapi ada yang melakukan reformulasi namun tidak menghilangkan substansi, kita melakukan penghalusan terhadap bahasa yang ada,” ujar pria yang akrab disapa Eddy ini dalam Raker dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (25/5/2022).

Mengenai isu-isu kontroversial tersebut, Eddy menjelaskan ada beberapa kebaruan dalam RUU KUHP ini. Yakni pertama, mengenai the living law, pemerintah ingin memberikan penjelasan dan tidak mengubah norma. Dia menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat.

“Sekali lagi bapak, ibu, ini kita tambahkan dalam penjelasan, jadi tidak merubah norma,” tegasnya.

Kedua, Eddy melanjutkan pidana mati yang diatur pada Pasal 100. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, RUU KUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.

Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu (paling lama 20 tahun) dan pidana penjara seumur hidup.

“Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1). Mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101,” papar Eddy.

Lalu, kata Eddy, terkait penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wapres pada Pasal 218. Ada perubahan dari delik yang biasa menjadi delik aduan, jadi sama sekali tidak membangkitkan pasal yang dimatikan oleh MK yakni delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP adalah delik aduan.

“Sementara kami menambahkan pengadilan dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan Wapres. Ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk dengan kepentingan umum. Jadi ini berbeda dengan apa yang dimatikan oleh MK,” tutup Eddy.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1772 seconds (0.1#10.140)