Kebebasan dan Daya Akademik dalam RUU Sisdiknas

Minggu, 22 Mei 2022 - 10:22 WIB
loading...
Kebebasan dan Daya Akademik...
Foto/dok.SINDOnews
A A A
Prof Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DRAF Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ( RUU Sisdiknas ) sudah beredar di berbagai media dan kanal. Sebaiknya, kita sebagai warga negara mengapresiasi dan mencermati pasal demi pasal. Kontribusi kita adalah pembacaan yang cermat dan menyarankan gagasan kreatif dan inovatif. Komunikasi publik dalam kebijkan-kebijakan strategis diperlukan, apalagi menyangkut persiapan generasi mendatang. Salah satu isu penting dalam pendidikan nasional kita adalah kebebasan akademik. Kebebasan akademik memberi nafas pendidikan secara umum dan melindungi nalar ilmiah.

Pembaca RUU akan mendapati pasal lima dalam RUU Sisdiknas yang jelas-jelas mencantumkan bahwa prinsip pendidikan kita menjunjung tinggi kebenaran ilmiah. Ini merupakan komitmen awal yang perlu kita apresiasi. Berbaik sangka sangat penting untuk bersama-sama memahami niat yang baik pula.

Kebebasan akademik sendiri tidak berarti kebebasan tanpa batas, dengan mengatakan pendapat tanpa pertanggungjawaban atau mengkritisi sepedas-pedasnya. Kebebasan adalah penguatan, atau dalam bahasa Inggrisnya, empowering. Penguatan pada lembaga, siswa, guru, dan proses. Kebebasan akademik berarti jaminan dari semua pihak agar pendidikan berjalan menuju arah yang kita sepakati bersama: mempersiapkan generasi mendatang untuk nasib bangsa.



Pertama, kebebasan juga harus terjamin dari segi pendanaan. Kita lihat pasal lima belas, yang mengatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengalokasikan pendanaan sebesar dua puluh persen dari anggaran pendapatan belanja. Tentu ini sebuah itikad yang mulia. Strategi dan cara aturan pendanaan ini bisa direalisasikan adalah persoalan lain lagi. Praktik dari alokasi ini bisa kita cermati lebih lanjut. Jika betul bahwa dua puluh persen anggaran belanja untuk pendidikan dilaksanakan secara konsisten, ini akan menjadi berkah.

Bagaimana mengetahui bahwa dua puluh persen dari anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah itu isu pada tataran lain lagi. Mungkin yang perlu dipikirkan adalah adanya mekanisme yang jelas untuk mengetahui komitmen ini, atau bagaimana tindakan afirmasi ini betul-betul terwujud dan didukung oleh semua pihak, baik sekolah, pemerintah, dan masyarakat secara luas. Semua bersama-sama mewujudkan komitmen alokasi anggaran dua puluh persen.

Kadangkala kita juga mendengar kegalauan dua puluh persen itu termasuk apa saja: apakah riset, gaji, kepustakaan, manajemen, pembangunan fisik sudah termasuk di dalamnya? Ini mungkin perlu strategi pada tataran lain lagi, rencana penganggaran dan sumber anggaran. Dua puluh persen adalah angka yang besar, jika angka ini diperjelas untuk kebutuhan pendidikan bagian mana, tindakan lebih afirmatif pada penguatan pendidikan semoga terwujud.

Penyelengaraan pendidikan, dalam RUU itu, juga menyebut tanggungjawab tidak hanya satu pihak pemerintah, tetapi masyarakat juga. Biaya pendidikan yang bertambah tinggi perlu juga dipikirkan skema dunia industri dan dunia usaha untuk mendukung dari segi finansial. Banyak dari orang yang sukses mewaqafkan atau mensedekahkan hartanya untuk hal-hal bersifat ritual agamis, seperti pembangunan tempat ibadah, contohnya masjid.



Tetapi masih sedikit, jika ada, yang mewaqafkan hartanya untuk riset atau pengembangan teknologi. Di negara maju seperti Amerika Serikat komitmen ini sudah umum. Mungkin secara teologis, karena watak masyarakat kita agamis, perlu dipikirkan bentuk sedekah dan waqaf untuk riset dan penemuan ilmiah. Mungkin RUU juga perlu mengihimbau sumderdaya swasta dan industri untuk pengembangan pendidikan dan penelitian, yang justru berkait erat dengan persaingan dunia industri global. Jelasnya, dana riset kita ke arah produksi pengetahuan, pengembangan riset dan teknologi memerlukan penguatan yang serius.

Pasal lima puluh sembilan membahas tentang makna kebebasan akademik. Pada pasal dua dijelaskan, “Kebebasan akademik merupakan kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab.” Ini merupakan jaminan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Baik dosen dan mahasiswa pada perguruan tinggi dijamin kebebasan dalam mengungkap fakta ilmiah dan penemuan-penemuan.

Terus terang saja, dalam hal produksi pengetahuan dalam bentuk karya ilmiah kita perlu usaha yang lebih keras lagi. Bandingkan kita dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, atau Filipina. Dalam hal karya ilmiah dan hasilnya dalam beberapa bidang mereka lebih ke depan dalam melangkah, dan dalam aspek tertentu meninggalkan kita.

Namun, dalam jangka sepuluh tahun terakhir perkembangan jurnal ilmiah menggembirakan. Portal-portal seperti Sinta, Portal Garuda dan Moraref, terus menunjukkan kemajuan jurnal di Perguruan tinggi Indonesia. Kewajiban kita memberi apresiasi tulisan-tulisan ilmiah karya para akademisi kita, mengunggahnya, membacanya, dan menggunakan untuk referensi baik statemen ilmiah atau dalam rangka mengambil kebijakan.



Dunia ilmiah dan kebijakan publik nyata harus terus dikait-kaitkan. Kita tidak hanya menunjukkan kelemahan kondisi akademik, tetapi juga mensyukuri capaian-capaian kolega kampus kita. Perjuangan demi perjuangan harus dihargai. Tentu untuk menjadi seperti Jerman, Jepang, atau Korea, dimana penelitian dan industri saling menopang, perlu perjuangan. Namun, tidak perlu pesimis, dunia kampus, kantor kementrian, dan gedung parlemen perlu terus dihubungkan lebih dekat lagi agar saling mendengar, melihat, dan memberi apresiasi. Dari situ kebijakan sinergis akan lahir. Dalam RUU Sisdiknas ini, arah itu yang kita tuju.

Ayat selanjutnya mengatakan, “Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang dosen yang memiliki otoritas ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan cabang dan rumpun ilmunya.” Kebebasan akademik tidak hanya menyangkut pemerintah dan universitas, namun masyarakat dan pihak swasta juga harus mendukung. Masyarakat kita perlu mengapresiasi akademik, tidak hanya yang sifatnya popular dan kesalehan agamis. Ilmu pengetahuan di masyarakat kita masih menempati urutan bawah.

Urutan pertama tentu adalah agama, kemudian disusul politik dan ekonomi. Ilmu pengetahuan perlu didorong lagi agar memperoleh tempat yang layak. RUU adalah kebijakan hukum dan politik dari pemerintah, masyarakat, baik dunia usaha atau masyarakat umum, juga perlu mengambil peran lebih besar lagi dalam mendukung dan memperkuat kemerdekaan akademik, dalam arti memberdayakannya secara finansial dan moral.

(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1900 seconds (0.1#10.140)