Abaikan Surat Soeharto, Singapura Nekat Gantung 2 Prajurit Marinir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hubungan Indonesia dan Singapura pernah berada di titik nadir. Negara berjuluk The Lion City itu mengabaikan surat Presiden Soeharto dan tetap menghukum mati dua prajurit Marinir, Usman Djanatin dan Harun Tohir, di tiang gantungan pada 17 Oktober 1968.
Usman dan Harus (selanjutnya disebut Usman Harun ) merupakan anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama Korps Marinir TNI Angkatan Laut waktu itu. Bersama Gani bin Aroep, keduanya mendapat tugas melakukan sabotase di Singapura.
Awalnya, Indonesia terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya (sebutan untuk Malaysia sebelum resmi dideklarasikan pada 16 September 1963). Presiden Soekarno tak senang melihat ambisi Federasi Malaya mencaplok Serawak, Sabah, bahkan Brunei Darussalam yang berada persis di utara Pulau Kalimantan. Soekarno menganggap ambisi Federasi Malaya, yang merupakan negara persemakmuran Inggris, mengancam kedaulatan Indonesia. Dari situlah kemudian muncul gerakan Ganyang Malaysia yang diserukan oleh Bung Karno pada awal Mei 1964.
Berdasarkan buku 60 Tahun Pengabdian Korps Mariniryang dikutip SINDOnews, sebagai tindak lanjut dari gerakan Ganyang Malaysia, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Perintah itu berisi, pertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.
Indonesia kemudian menggelar operasi militer Komando Mandala Siaga yang dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Omar Dhani. Tiga sukarelawan kemudian dikirim untuk melakukan sabotase di Singapura. Ketiganya adalah Sersan Dua KKO Djanatin, Kopral Satu KKO Tohir, dan Gani bin Aroep. Untuk mendukung penyamaran, mereka mengubah nama yang disesuaikan dengan masyarakat setempat. Djanatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji Muhammad Ali dan Tohir menjadi Harun bin Said.
Dengan menggunakan perahu karet, ketiganya menyeberang ke Singapura dengan membawa 12,5 kilogram bahan peledak. Menjelang fajar menyingsing 9 Maret 1965, ketiganya berhasil mendarat dan menyusup masuk ke pusat kota Singapura. Tiga sukarelawan itu lalu meledakkan Gedung Mac Donald House tepat pukul 03.07 dinihari.
Baca juga: Mengharukan, Surat Terakhir Prajurit KKO Usman-Harun Sebelum Dihukum Gantung di Singapura
Di tengah perjalanan ke pangkalan, mereka berpisah dengan Gani bin Aroep untuk menghindari kecurigaan. Tapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih Usman dan Harun tertangkap polisi perairan Singapura pada pagi hari, 13 Maret 1965, karena perahu motor hasil rampasan yang dipakai untuk kembali ke pangkalan macet di tengah laut.
Keduanya akhirnya dihadapkan kemeja hijau dituduh melanggar 'kontrol area' dan pembunuhan saat terjadi aksi peledakan Gedung Mc Donald House. Hakim menolak tuntutan terdakwa agar diperlakukan sebagai tawanan perang dan akhirnya pada 20 Oktober 1965 keduanya divonis hukuman mati di tiang gantung.
Usman dan Harus (selanjutnya disebut Usman Harun ) merupakan anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama Korps Marinir TNI Angkatan Laut waktu itu. Bersama Gani bin Aroep, keduanya mendapat tugas melakukan sabotase di Singapura.
Awalnya, Indonesia terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya (sebutan untuk Malaysia sebelum resmi dideklarasikan pada 16 September 1963). Presiden Soekarno tak senang melihat ambisi Federasi Malaya mencaplok Serawak, Sabah, bahkan Brunei Darussalam yang berada persis di utara Pulau Kalimantan. Soekarno menganggap ambisi Federasi Malaya, yang merupakan negara persemakmuran Inggris, mengancam kedaulatan Indonesia. Dari situlah kemudian muncul gerakan Ganyang Malaysia yang diserukan oleh Bung Karno pada awal Mei 1964.
Berdasarkan buku 60 Tahun Pengabdian Korps Mariniryang dikutip SINDOnews, sebagai tindak lanjut dari gerakan Ganyang Malaysia, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Perintah itu berisi, pertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.
Indonesia kemudian menggelar operasi militer Komando Mandala Siaga yang dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Omar Dhani. Tiga sukarelawan kemudian dikirim untuk melakukan sabotase di Singapura. Ketiganya adalah Sersan Dua KKO Djanatin, Kopral Satu KKO Tohir, dan Gani bin Aroep. Untuk mendukung penyamaran, mereka mengubah nama yang disesuaikan dengan masyarakat setempat. Djanatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji Muhammad Ali dan Tohir menjadi Harun bin Said.
Dengan menggunakan perahu karet, ketiganya menyeberang ke Singapura dengan membawa 12,5 kilogram bahan peledak. Menjelang fajar menyingsing 9 Maret 1965, ketiganya berhasil mendarat dan menyusup masuk ke pusat kota Singapura. Tiga sukarelawan itu lalu meledakkan Gedung Mac Donald House tepat pukul 03.07 dinihari.
Baca juga: Mengharukan, Surat Terakhir Prajurit KKO Usman-Harun Sebelum Dihukum Gantung di Singapura
Di tengah perjalanan ke pangkalan, mereka berpisah dengan Gani bin Aroep untuk menghindari kecurigaan. Tapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih Usman dan Harun tertangkap polisi perairan Singapura pada pagi hari, 13 Maret 1965, karena perahu motor hasil rampasan yang dipakai untuk kembali ke pangkalan macet di tengah laut.
Keduanya akhirnya dihadapkan kemeja hijau dituduh melanggar 'kontrol area' dan pembunuhan saat terjadi aksi peledakan Gedung Mc Donald House. Hakim menolak tuntutan terdakwa agar diperlakukan sebagai tawanan perang dan akhirnya pada 20 Oktober 1965 keduanya divonis hukuman mati di tiang gantung.