Abaikan Surat Soeharto, Singapura Nekat Gantung 2 Prajurit Marinir
loading...
A
A
A
Setelah menggantikan Soekarno, Presiden Soeharto menunjuk Letkol TNI Abdul Rachman Ramly sebagai liason officer, mewakili pemerintah Indonesia, untuk membebaskan Usman Harun. Waktu itu, Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan Singapura.
"Tiba di Singapura, dalam pembicaraan untuk membebaskan Usman dan Harun, saya menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Lama, yang memulai konfrontasi, sudah berakhir dan pemerintah Republik Indonesia yang baru tidak ingin ada warga negaranya yang digantung. Kami ingin menyelesaikan masalah ini secara baik," kata Ramly dikutip dari buku Pak Harto The Untold Stories (2012), Jumat (20/5/2022).
Baca juga: Fahri Hamzah: Kalau UAS Jadi Presiden, Pusing Lu
Namun, Singapura tetap berpendirian ingin menyelesaikan masalah itu secara hukum. Karena Singapura termasuk anggota negara persemakmuran, maka keputusan tertinggi ada di London, Inggris. Pemerintah Indoensia, dibantu pengacara Singapura, lalu mengajukan banding ke London. Namun, banding itu ditolak, bahkan hukuman mati terhadap Usman Harun akan secepatnya dilakukan.
Ramly kemudian meminta waktu untuk melaporkan kabar tersebut ke Jakarta. Awalnya, banyak yang menyarankan agar informasi itu tidak disampaikan ke Presiden Soeharto, tapi Ramly teguh pendirian. Ia harus melaporkan ke pemimpinan tertinggi Republik Indonesia.
"Kenapa Singapura ingin sekali menggantung mereka?" tanya Soeharto.
"Kesimpulan umum kami, Pak, Singapura itu kan negara kecil. Sebagai negara kecil, mereka ingin eksis, maka mereka menggunakan alasan rule of law yang harus ditegakkan. Hukum yang diterapkan Singapura adalah hukuman mati," jawab Ramly.
Komandan Batalyon pada Operasi Trikora (1962) itu lalu menyarankan kepada Presiden Soeharto untuk membuat surat resmi kepada pemerintah Singapura. Isinya, Indonesia tidak keberatan Singapura menegakkan hukum tapi meminta agar tidak menghukum mati Usman dan Harun. Sebagai gantinya bisa dengan hukuman seumur hidup atau lainnya. Pak Harto menyetujuinya dan segera menulis surat tersebut.
Dengan membawa surat Presiden Soeharto, Ramly bergegas menemui Presiden Singapura Yusuf Ishak. Namun, Yusuf beralasan urusan pemerintahan ada di tangan Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang tengah berada di Amerika Serikat. Ramly lalu menelusuri perjalanan PM Lee ke luar negeri. Diketahui, PM Lee singgah di Tokyo, Jepang.
Ramly pun meminta bantuan Dubes RI untuk Jepang Rukminto Hendraningrat untuk menyampaikan permohonan Presiden Soeharto ke PM Lee agar Singapura tidak menghukum mati Usman Harun. Kepada Dubes RI, PM Lee mengaku sedang cuti sehingga tidak bisa mengambil keputusan. Wakil Perdana Menteri Toh Chin Chye lah yang bertanggung jawab.
"Tiba di Singapura, dalam pembicaraan untuk membebaskan Usman dan Harun, saya menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Lama, yang memulai konfrontasi, sudah berakhir dan pemerintah Republik Indonesia yang baru tidak ingin ada warga negaranya yang digantung. Kami ingin menyelesaikan masalah ini secara baik," kata Ramly dikutip dari buku Pak Harto The Untold Stories (2012), Jumat (20/5/2022).
Baca juga: Fahri Hamzah: Kalau UAS Jadi Presiden, Pusing Lu
Namun, Singapura tetap berpendirian ingin menyelesaikan masalah itu secara hukum. Karena Singapura termasuk anggota negara persemakmuran, maka keputusan tertinggi ada di London, Inggris. Pemerintah Indoensia, dibantu pengacara Singapura, lalu mengajukan banding ke London. Namun, banding itu ditolak, bahkan hukuman mati terhadap Usman Harun akan secepatnya dilakukan.
Ramly kemudian meminta waktu untuk melaporkan kabar tersebut ke Jakarta. Awalnya, banyak yang menyarankan agar informasi itu tidak disampaikan ke Presiden Soeharto, tapi Ramly teguh pendirian. Ia harus melaporkan ke pemimpinan tertinggi Republik Indonesia.
"Kenapa Singapura ingin sekali menggantung mereka?" tanya Soeharto.
"Kesimpulan umum kami, Pak, Singapura itu kan negara kecil. Sebagai negara kecil, mereka ingin eksis, maka mereka menggunakan alasan rule of law yang harus ditegakkan. Hukum yang diterapkan Singapura adalah hukuman mati," jawab Ramly.
Komandan Batalyon pada Operasi Trikora (1962) itu lalu menyarankan kepada Presiden Soeharto untuk membuat surat resmi kepada pemerintah Singapura. Isinya, Indonesia tidak keberatan Singapura menegakkan hukum tapi meminta agar tidak menghukum mati Usman dan Harun. Sebagai gantinya bisa dengan hukuman seumur hidup atau lainnya. Pak Harto menyetujuinya dan segera menulis surat tersebut.
Dengan membawa surat Presiden Soeharto, Ramly bergegas menemui Presiden Singapura Yusuf Ishak. Namun, Yusuf beralasan urusan pemerintahan ada di tangan Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang tengah berada di Amerika Serikat. Ramly lalu menelusuri perjalanan PM Lee ke luar negeri. Diketahui, PM Lee singgah di Tokyo, Jepang.
Ramly pun meminta bantuan Dubes RI untuk Jepang Rukminto Hendraningrat untuk menyampaikan permohonan Presiden Soeharto ke PM Lee agar Singapura tidak menghukum mati Usman Harun. Kepada Dubes RI, PM Lee mengaku sedang cuti sehingga tidak bisa mengambil keputusan. Wakil Perdana Menteri Toh Chin Chye lah yang bertanggung jawab.