Oligarki Partai Politik Mengancam Demokrasi
loading...
A
A
A
Bambang Istianto
Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies (CPPS) Institut STIAMI Jakarta/Ketua Bidang PPP ASIAN
Tren oligarki partai politik di Indonesia saat ini tengah menguat dalam mengendalikan pemerintahan. Baik di kalangan eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Padahal dalam ajaran “Trias Politika“ ketiganya memiliki fungsi masing masing saling kontrol dalam menjaga keseimbangan (check and balance of power). Namun secara empiristik bisa terjadi ketidak seimbangan kekuasaan (unbalance power).
Salah satu contoh konkrit yang baru baru ini terjadi yaitu pengesahan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan menjadi undang-undang dengan mulus tanpa perdebatan yang berarti di parlemen sebagai indikasi pernyataan di atas.
Padahal, Perppu tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para tokoh dan kekuatan elemen masyarakat yang saat ini persidangannya masih berlangsung. Artinya, keputusan yang cepat mengindahkan suara rakyat yang berada di luar parlemen, dengan kata lain bisa dikatakan mem-baypass demokrasi substansial (Heyness, 2003).
Demikian pula masyarakat yang kritis pada umumnya menduga bahwa gugatan materi pokok Perppu tersebut melalui persidangan yang melelahkan pada akhirnya akan ditolak sebagian atau seluruhnya oleh hakim MK. Mekanisme ketatanegaraan yang formalistik tersebut dinilai akan membuktikan kuatnya “Oligarki Partai Politik” dalam memberikan dukungan tanpa reserve terhadap pemerintahan eksekutif, bersama partai koalisinya.
Terminologi Oligarki secara harafiah yaitu pemerintahan yang dikendalikan oleh “kelompok kecil elit”. Keberadaan elit tersebut berada di pucuk pimpinan partai politik dan kelompok penekan lain yang berpengaruh. Karena itu disebut “Oligarki Partai Politik” atau oligarki politik, Robert Michels ( 1915 ) dalam bukunya “Political Parties”.
Nurohman (2018) mengutip pemikiran Jeffrey A Winters dalam bukunya “Oligarhy” menjelaskan bahwa oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yang tidak terbatas. Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Dengan demikian, oligarki selalu berorientasi memainkan kekuasaan sesuai dengan keinginan para elite dan kelompoknya.
Karena itu tidak mengherankan jika praktik oligarki politik tidak hanya terhadap pengesahan Perppu saja, akan tetapi juga pengesahan draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversi dan menghebohkan masuk dalam “program legislasi nasional” yang tidak banyak diketahui publik.
Demikian pula kebijakan strategis lainnya seperti Undang- Undang KPK dan Minerba boleh jadi hasil beroperasinya praktik oligarki politik tersebut. Karena itu banyak kalangan yang menilai sepak terjang “oligraki partai politik” semakin merugikan kepentingan publik. Implikasi yang lebih serius yaitu menelantarkan fungsi dan peran partai politik sebagai “artikulator dan agregator kepentingan masyarakat”.
Padahal, partai politik sering disebut sebagai tiangnya demokrasi. Bahkan, salah satu prasyarat negara demokrasi harus memiliki partai politik. Dengan demikian, esensi yang melekat pada diri partai politik yakni demokrasi. Untuk itu, jika fungsi partai politik dijalankan dengan efektif maka proses demokratisasi menginternalisasi ke dalam kelembagaan politik di pemerintahan. Karena itu fenomena politik yang diungkapkan diatas, “oligarki politik” memiliki kecenderungan merusak dan mengancam demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mencegah menuju otoritarianism harus diimbangi dengan konsolidasi masyarakat sipil. Kekuatan konsolidasi tersebut mampu melakukan kontrol sosial yang efektif terhadap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Negara pada umumnya di dunia terdapat beberapa jenis elit yang mengendalikan pemerintahan, yaitu seperti oligarki di Rusia, plutokrasi di Amerika Serikat, dan para globalis di berbagai negara Eropa. Partai politik adalah organisasi yang memiliki kewenangan mengendalikan pemerintahan melalui hasil konstestasi elektoral pada periode tertentu.
Karena itu, ketiga jenis elit tersebut menggunakan partai politik sebagai kuda tunggangannya dalam menjalankan misinya. Jika dicermati, fenomena politik di Indonesia ciri-ciri ketiga jenis elit tersebut selama ini mempengaruhi kebijakan pemerintah terutama pada sektor publik strategis.
Demikian pula ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global yakni sistem neoliberalisme dapat dipastikan peran dari para oligarki, plutokrasi, dan globalis tersebut. Pada kenyataannya, kepatuhan mengikuti sistem ekonomi neoliberal, hasilnya pertumbuhan ekonomi sulit naik secara signifikan. Ironisnya, angka pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi janji para pemimpin dalam setiap kampanye pemilihannya.
Sementara itu, di tengah situasi kurang kondusif saat ini yakni dampak pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi terjun bebas bisa sampai diprediksi pertumbuhan minus. Termasuk lilitan hutang luar negeri (LN) Indonesia yang sudah mencapai Rp6.376 triliun ( kurs Rp15.600 ) atau USD407,5 miliar pada Febuari tahun 2020 (compass.com). Dengan terpuruknya ekonomi Indonesia tersebut sehingga pemerintah mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang tersebut.
Gurita lilitan hutang luar negeri Indonesia tersebut dan sulitnya lepas dari jeratan IMF dan World Bank boleh jadi tidak terlepas dukungan para oligarki, plutokrasi, dan globalis terhadap lembaga keuangan tersebut. Seperti diketahui, pada dasarnya pekerjaan lembaga keuangan internasional tersebut menjaring perangkap terhadap negara berkembang yang kaya sumber alam untuk dipaksa berhutang dan dipastikan tidak mampu membayar hutang (John Perkins, 2005).
Sedangkan hutang tersebut diperuntukkan membangun infrastruktur, misalnya sektor transportasi. Tapi bagi masyarakat, manfaatnya tidak dirasakan secara langsung. Karena proyek sejenis itu sifatnya untuk masa yang akan datang. Namun di lain pihak, kebutuhan masyarakat kecil menginginkan proyek yang mendatangkan manfaat langsung.
Hal yang sama seperti kebijakan impor dan ekspor pangan yang menjadi kesukaan pemerintah, juga tidak berkorelasi dengan perbaikan nasib petani. Dengan demikian beberapa kebijakan tersebut di atas mencerminkan berorientasi untuk kepentingan para oligarki masih kuat. Artinya mereka lebih membela kepada para pemilik modal besar dan kurang membela nasib kalangan menengah kebawah yang beraktifitas di sektor informal dan UMKM.
Beberapa indikator ekonomi misalnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 diprediksi hanya 2,5% bahkan prediksi pesimis bisa minus. Sedang gini ratio masih bertengger pada angka 3,9 ketimpangan ekonomi sudah lampu merah. Di bidang kesehatan angka stunting Indonesia tahun 2019 pada angka 27,67% tetap lebih tinggi dari batas toleransi yang ditetapkan WHO yaitu 20%.
Berdasarkan indikator ekonomi dan kesehatan dapat djadikan sebagai sampel kecil menunjukan bahwa kebijakan publik yang selama ini banyak dikendalikan oleh para oligraki politik, terbukti tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
Seperti dijelaskan di atas, beroperasinya oligarki politik lebih memikirkan kepentingan bisnis semata dan demi melindungi modal serta kepentingan global. Alih- alih menegakkan jiwa nasionalisme bahkan jika ada kesempatan kedaulatan negara pun akan dijualnya. Karena itu, pada masa pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap ekonomi global justru memberi peluang agar pemerintah membuat kebijakan ekonomi dan politik yang berorientasi kepada kemampuan bangsanya sendiri.
Saatnya para oligarki politik sadar terbangun jiwa nasionalismennya dan membela kedaulatan negara. Pemerintah harus melepaskan diri dari jeratan IMF dan World Bank, advisnya yang selalu dipatuhi pemerintah terbukti gagal dan malah menjerumuskan kejurang kehancuran ekonomi.
Karena itu pemerintah agar percaya diri membangun sistem yang baru “Ekonomi Pancasila“ sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sebab dampak pandemi Covid-19 justru akan terjadi “deglobalisasi”, seperti yang diucapkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong bahwa dampak pandemi Covid-19 ke depan akan terjadi “deglobalisasi”. Untuk itu, civil society harus terkonsolidasi agar bisa bangkit berdikari dan saatnya berjaya di negeri sendiri.
Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies (CPPS) Institut STIAMI Jakarta/Ketua Bidang PPP ASIAN
Tren oligarki partai politik di Indonesia saat ini tengah menguat dalam mengendalikan pemerintahan. Baik di kalangan eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Padahal dalam ajaran “Trias Politika“ ketiganya memiliki fungsi masing masing saling kontrol dalam menjaga keseimbangan (check and balance of power). Namun secara empiristik bisa terjadi ketidak seimbangan kekuasaan (unbalance power).
Salah satu contoh konkrit yang baru baru ini terjadi yaitu pengesahan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan menjadi undang-undang dengan mulus tanpa perdebatan yang berarti di parlemen sebagai indikasi pernyataan di atas.
Padahal, Perppu tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para tokoh dan kekuatan elemen masyarakat yang saat ini persidangannya masih berlangsung. Artinya, keputusan yang cepat mengindahkan suara rakyat yang berada di luar parlemen, dengan kata lain bisa dikatakan mem-baypass demokrasi substansial (Heyness, 2003).
Demikian pula masyarakat yang kritis pada umumnya menduga bahwa gugatan materi pokok Perppu tersebut melalui persidangan yang melelahkan pada akhirnya akan ditolak sebagian atau seluruhnya oleh hakim MK. Mekanisme ketatanegaraan yang formalistik tersebut dinilai akan membuktikan kuatnya “Oligarki Partai Politik” dalam memberikan dukungan tanpa reserve terhadap pemerintahan eksekutif, bersama partai koalisinya.
Terminologi Oligarki secara harafiah yaitu pemerintahan yang dikendalikan oleh “kelompok kecil elit”. Keberadaan elit tersebut berada di pucuk pimpinan partai politik dan kelompok penekan lain yang berpengaruh. Karena itu disebut “Oligarki Partai Politik” atau oligarki politik, Robert Michels ( 1915 ) dalam bukunya “Political Parties”.
Nurohman (2018) mengutip pemikiran Jeffrey A Winters dalam bukunya “Oligarhy” menjelaskan bahwa oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yang tidak terbatas. Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Dengan demikian, oligarki selalu berorientasi memainkan kekuasaan sesuai dengan keinginan para elite dan kelompoknya.
Karena itu tidak mengherankan jika praktik oligarki politik tidak hanya terhadap pengesahan Perppu saja, akan tetapi juga pengesahan draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversi dan menghebohkan masuk dalam “program legislasi nasional” yang tidak banyak diketahui publik.
Demikian pula kebijakan strategis lainnya seperti Undang- Undang KPK dan Minerba boleh jadi hasil beroperasinya praktik oligarki politik tersebut. Karena itu banyak kalangan yang menilai sepak terjang “oligraki partai politik” semakin merugikan kepentingan publik. Implikasi yang lebih serius yaitu menelantarkan fungsi dan peran partai politik sebagai “artikulator dan agregator kepentingan masyarakat”.
Padahal, partai politik sering disebut sebagai tiangnya demokrasi. Bahkan, salah satu prasyarat negara demokrasi harus memiliki partai politik. Dengan demikian, esensi yang melekat pada diri partai politik yakni demokrasi. Untuk itu, jika fungsi partai politik dijalankan dengan efektif maka proses demokratisasi menginternalisasi ke dalam kelembagaan politik di pemerintahan. Karena itu fenomena politik yang diungkapkan diatas, “oligarki politik” memiliki kecenderungan merusak dan mengancam demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mencegah menuju otoritarianism harus diimbangi dengan konsolidasi masyarakat sipil. Kekuatan konsolidasi tersebut mampu melakukan kontrol sosial yang efektif terhadap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Negara pada umumnya di dunia terdapat beberapa jenis elit yang mengendalikan pemerintahan, yaitu seperti oligarki di Rusia, plutokrasi di Amerika Serikat, dan para globalis di berbagai negara Eropa. Partai politik adalah organisasi yang memiliki kewenangan mengendalikan pemerintahan melalui hasil konstestasi elektoral pada periode tertentu.
Karena itu, ketiga jenis elit tersebut menggunakan partai politik sebagai kuda tunggangannya dalam menjalankan misinya. Jika dicermati, fenomena politik di Indonesia ciri-ciri ketiga jenis elit tersebut selama ini mempengaruhi kebijakan pemerintah terutama pada sektor publik strategis.
Demikian pula ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global yakni sistem neoliberalisme dapat dipastikan peran dari para oligarki, plutokrasi, dan globalis tersebut. Pada kenyataannya, kepatuhan mengikuti sistem ekonomi neoliberal, hasilnya pertumbuhan ekonomi sulit naik secara signifikan. Ironisnya, angka pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi janji para pemimpin dalam setiap kampanye pemilihannya.
Sementara itu, di tengah situasi kurang kondusif saat ini yakni dampak pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi terjun bebas bisa sampai diprediksi pertumbuhan minus. Termasuk lilitan hutang luar negeri (LN) Indonesia yang sudah mencapai Rp6.376 triliun ( kurs Rp15.600 ) atau USD407,5 miliar pada Febuari tahun 2020 (compass.com). Dengan terpuruknya ekonomi Indonesia tersebut sehingga pemerintah mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang tersebut.
Gurita lilitan hutang luar negeri Indonesia tersebut dan sulitnya lepas dari jeratan IMF dan World Bank boleh jadi tidak terlepas dukungan para oligarki, plutokrasi, dan globalis terhadap lembaga keuangan tersebut. Seperti diketahui, pada dasarnya pekerjaan lembaga keuangan internasional tersebut menjaring perangkap terhadap negara berkembang yang kaya sumber alam untuk dipaksa berhutang dan dipastikan tidak mampu membayar hutang (John Perkins, 2005).
Sedangkan hutang tersebut diperuntukkan membangun infrastruktur, misalnya sektor transportasi. Tapi bagi masyarakat, manfaatnya tidak dirasakan secara langsung. Karena proyek sejenis itu sifatnya untuk masa yang akan datang. Namun di lain pihak, kebutuhan masyarakat kecil menginginkan proyek yang mendatangkan manfaat langsung.
Hal yang sama seperti kebijakan impor dan ekspor pangan yang menjadi kesukaan pemerintah, juga tidak berkorelasi dengan perbaikan nasib petani. Dengan demikian beberapa kebijakan tersebut di atas mencerminkan berorientasi untuk kepentingan para oligarki masih kuat. Artinya mereka lebih membela kepada para pemilik modal besar dan kurang membela nasib kalangan menengah kebawah yang beraktifitas di sektor informal dan UMKM.
Beberapa indikator ekonomi misalnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 diprediksi hanya 2,5% bahkan prediksi pesimis bisa minus. Sedang gini ratio masih bertengger pada angka 3,9 ketimpangan ekonomi sudah lampu merah. Di bidang kesehatan angka stunting Indonesia tahun 2019 pada angka 27,67% tetap lebih tinggi dari batas toleransi yang ditetapkan WHO yaitu 20%.
Berdasarkan indikator ekonomi dan kesehatan dapat djadikan sebagai sampel kecil menunjukan bahwa kebijakan publik yang selama ini banyak dikendalikan oleh para oligraki politik, terbukti tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
Seperti dijelaskan di atas, beroperasinya oligarki politik lebih memikirkan kepentingan bisnis semata dan demi melindungi modal serta kepentingan global. Alih- alih menegakkan jiwa nasionalisme bahkan jika ada kesempatan kedaulatan negara pun akan dijualnya. Karena itu, pada masa pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap ekonomi global justru memberi peluang agar pemerintah membuat kebijakan ekonomi dan politik yang berorientasi kepada kemampuan bangsanya sendiri.
Saatnya para oligarki politik sadar terbangun jiwa nasionalismennya dan membela kedaulatan negara. Pemerintah harus melepaskan diri dari jeratan IMF dan World Bank, advisnya yang selalu dipatuhi pemerintah terbukti gagal dan malah menjerumuskan kejurang kehancuran ekonomi.
Karena itu pemerintah agar percaya diri membangun sistem yang baru “Ekonomi Pancasila“ sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sebab dampak pandemi Covid-19 justru akan terjadi “deglobalisasi”, seperti yang diucapkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong bahwa dampak pandemi Covid-19 ke depan akan terjadi “deglobalisasi”. Untuk itu, civil society harus terkonsolidasi agar bisa bangkit berdikari dan saatnya berjaya di negeri sendiri.
(nbs)