Teknologi Metaverse Antikorupsi
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Associate Professor Bidang Hukum
SEBELUM libur panjang Idul Fitri, Bupati Bogor, Ade Yasin tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada kamis 28 April 2022. Itonisnya, beberapa hari sebelum ditangkap bupqti tersebut berpesan kepada jajarannya untuk tidak melakukan korupsi. Kasus tersebut bukanlah yang pertama untuk pejabat yang berkampanye maupun berpesan antikorupsi namun ternyata justru melakukan korupsi.
Masyarakat sudah lelah dengan budaya koruptif dan kini menjurus pada kleptokrasi mengingat semua elemen yang terlibat dalam pemerintahan cenderung memiliki keterlibatan pada korupsi. Misalnya dalam kasus terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang seharusnya mengawasi penggunaan anggaran, ironinya justru terlibat dalam jual beli status wajar tanpa pengecualian (WTP). Sudah hampir tiadanya lagi check and balances yang menjadi ciri negara demokratis membuat perilaku koruptif semakin menggerogoti seluruh fungsi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun organ negara yang sifatnya organ perbantuan.
Demikian juga sudah beragam cara yang diterapkan untuk memberantas perilaku koruptif, mulai "rompi oranye", upaya pemiskinan para koruptor hingga upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi lainnya, namun korupsi tetap saja terjadi dan berulang. Meskipun UU Tipikor telah memasukkan pasal hukuman mati namun perilaku koruptif tetap saja terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman hukuman yang ada tidak cukup menakutkan bagi koruptor dan calon koruptor.
Sementara mencoba membuat efek jera dan mencegah korupsi melalui regulasi juga merupakan hal yang melelahkan khususnya bagi masyarakat yang menjadi korban dari berbagai macam perilaku koruptif. Perubahan melalui regulasi yakni revisi perundangan jelas akan memakan waktu, biaya dan akan sudah pasti erat dengan intervensi politik. Parson (1988), menjelaskan bahwa implementasi hukum akan selalu berada di bawah intervensi politik, sedangkan dalam hal ini banyak kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan partai politik. Artinya upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan cara progresif dan terobosan yang tidak konvensional.
Teknologi Metaverse
Saat ini masyarakat mengenal teknologi metaverse sebagai bagian dari peradaban berbasis internet of think baik untuk kepentingan bisnis maupun bersosialisasi melalui ruang-ruang perjuampaan digital. Jika banyak kalangan bisnis maupun pemerintahan memproyeksikan bahwa dunia metaverse merupakan bagian dari peradaban masa depan, maka artinya dunia metaverse dapat pula dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya korupsi.
Fritjof Capra (1982), dalam bukunya The Turning Point menyebutkan bahwa setiap peradaban akan memiliki ciri dan antitesisnya masing-masing. Pemikiran Capra ini jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, bahwa perilaku korupsi justru terjadi pada ruang-ruang perjuampaan secara aktual serta banyaknya perilaku "munafik" yang tidak terdeteksi sedari awal pada saat pencalonan maka teknologi metaverse yang ada dapat dipergunakan sebagai alternatif pencegahan dan pemberantasan perilaku koruptif di tengah putus asanya masyarakat.
CEO Facebook Mark Zuckerberg menjelaskan definisi metaverse adalah seperangkat ruang virtual, tempat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet lainnya yang tidak berada pada ruang fisik yang sama dengan orang tersebut. Artinya simulasi integritas dan peran dapat dibuat melalui dunia metaverse, hal ini akan jauh lebih menguntungkan masyarakat dibanding memilih berdasarkan acuan debat para kandidat atau berdasarkan kampanye para kandidat semata.
Profiling dapat dibuat melalui serangkaian psikotes maupun alat bantu lainnya dan dunia metaverse bisa menyiapkan aktor digital yang ditampilkan dalam ujian metaverse para calon kepala daerah, menteri atau bahkan presiden. Cara bekerja uji integritas melalui dunia metaverse selain dapat menampilkan seting dari situasi dilemma sebuah keputusan yang menggambarkan integritas juga dapat dibuat dengan kombinasi model penggunaan ‘lie detector’ (deteksi kebohongan) pernyataan saksi atau tersangka pada tindak pidana.
Jika panitia seleksi jabatan publik atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke depannya menggunakan teknologi metaverse dalam penjaringan pejabat publik dengan memberi ruang keterlibatan pada masyarakat seluas-luasnya maka bisa jadi teknologi metaverse ini dapat menjadi antitesis dari berlarut-larutnya persoalan korupsi. Demikian juga jika teknologi metaverse ini dipergunakan maka akan sangat membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Associate Professor Bidang Hukum
SEBELUM libur panjang Idul Fitri, Bupati Bogor, Ade Yasin tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada kamis 28 April 2022. Itonisnya, beberapa hari sebelum ditangkap bupqti tersebut berpesan kepada jajarannya untuk tidak melakukan korupsi. Kasus tersebut bukanlah yang pertama untuk pejabat yang berkampanye maupun berpesan antikorupsi namun ternyata justru melakukan korupsi.
Masyarakat sudah lelah dengan budaya koruptif dan kini menjurus pada kleptokrasi mengingat semua elemen yang terlibat dalam pemerintahan cenderung memiliki keterlibatan pada korupsi. Misalnya dalam kasus terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang seharusnya mengawasi penggunaan anggaran, ironinya justru terlibat dalam jual beli status wajar tanpa pengecualian (WTP). Sudah hampir tiadanya lagi check and balances yang menjadi ciri negara demokratis membuat perilaku koruptif semakin menggerogoti seluruh fungsi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun organ negara yang sifatnya organ perbantuan.
Demikian juga sudah beragam cara yang diterapkan untuk memberantas perilaku koruptif, mulai "rompi oranye", upaya pemiskinan para koruptor hingga upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi lainnya, namun korupsi tetap saja terjadi dan berulang. Meskipun UU Tipikor telah memasukkan pasal hukuman mati namun perilaku koruptif tetap saja terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman hukuman yang ada tidak cukup menakutkan bagi koruptor dan calon koruptor.
Sementara mencoba membuat efek jera dan mencegah korupsi melalui regulasi juga merupakan hal yang melelahkan khususnya bagi masyarakat yang menjadi korban dari berbagai macam perilaku koruptif. Perubahan melalui regulasi yakni revisi perundangan jelas akan memakan waktu, biaya dan akan sudah pasti erat dengan intervensi politik. Parson (1988), menjelaskan bahwa implementasi hukum akan selalu berada di bawah intervensi politik, sedangkan dalam hal ini banyak kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan partai politik. Artinya upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan cara progresif dan terobosan yang tidak konvensional.
Teknologi Metaverse
Saat ini masyarakat mengenal teknologi metaverse sebagai bagian dari peradaban berbasis internet of think baik untuk kepentingan bisnis maupun bersosialisasi melalui ruang-ruang perjuampaan digital. Jika banyak kalangan bisnis maupun pemerintahan memproyeksikan bahwa dunia metaverse merupakan bagian dari peradaban masa depan, maka artinya dunia metaverse dapat pula dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya korupsi.
Fritjof Capra (1982), dalam bukunya The Turning Point menyebutkan bahwa setiap peradaban akan memiliki ciri dan antitesisnya masing-masing. Pemikiran Capra ini jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, bahwa perilaku korupsi justru terjadi pada ruang-ruang perjuampaan secara aktual serta banyaknya perilaku "munafik" yang tidak terdeteksi sedari awal pada saat pencalonan maka teknologi metaverse yang ada dapat dipergunakan sebagai alternatif pencegahan dan pemberantasan perilaku koruptif di tengah putus asanya masyarakat.
CEO Facebook Mark Zuckerberg menjelaskan definisi metaverse adalah seperangkat ruang virtual, tempat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet lainnya yang tidak berada pada ruang fisik yang sama dengan orang tersebut. Artinya simulasi integritas dan peran dapat dibuat melalui dunia metaverse, hal ini akan jauh lebih menguntungkan masyarakat dibanding memilih berdasarkan acuan debat para kandidat atau berdasarkan kampanye para kandidat semata.
Profiling dapat dibuat melalui serangkaian psikotes maupun alat bantu lainnya dan dunia metaverse bisa menyiapkan aktor digital yang ditampilkan dalam ujian metaverse para calon kepala daerah, menteri atau bahkan presiden. Cara bekerja uji integritas melalui dunia metaverse selain dapat menampilkan seting dari situasi dilemma sebuah keputusan yang menggambarkan integritas juga dapat dibuat dengan kombinasi model penggunaan ‘lie detector’ (deteksi kebohongan) pernyataan saksi atau tersangka pada tindak pidana.
Jika panitia seleksi jabatan publik atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke depannya menggunakan teknologi metaverse dalam penjaringan pejabat publik dengan memberi ruang keterlibatan pada masyarakat seluas-luasnya maka bisa jadi teknologi metaverse ini dapat menjadi antitesis dari berlarut-larutnya persoalan korupsi. Demikian juga jika teknologi metaverse ini dipergunakan maka akan sangat membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi.