Pendidikan yang Kita Rindukan

Senin, 09 Mei 2022 - 13:15 WIB
loading...
Pendidikan yang Kita...
Totok Amin Soefijanto, Dosen dan Peneliti Kebijakan Publik Universitas Paramadina dan UNJ. Foto/Dok/Pribadi
A A A
Totok Amin Soefijanto
Dosen dan Peneliti Kebijakan Publik Universitas Paramadina dan UNJ

USAIpandemi, situasi pendidikan kita tidak baik-baik saja. Walaupun sudah diantisipasi, tetap saja kondisi pendidikan kita lumayan berat. Benar kegiatan pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai normal sampai 100%, tetapi unjuk kinerjanya di sisi anak didik dan tenaga kependidikan masih belum sesuai harapan.

Menurut Kajian Akademik yang diterbitkan Kemendikbudristek mengenai Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran (edisi 1, Februari 2022), anak didik kita mengalami ketertinggalan pembelajaran (learning loss) sekitar lima bulan pembelajaran dengan Kurikulum 2013; kalau diukur dari capaian numerasi kehilangan sekitar 40 poin (seharusnya 522 tetapi hanya tercapai 482) dan dari capaian literasi kehilangan 51 poin (seharusnya 583, tercapai hanya 532). Beruntung, menurut kajian yang sama, adanya Kurikulum Darurat selama 4 bulan dapat mengurangi ketertinggalan tadi masing-masing capaian menjadi hanya kehilangan 5 poin dan 13 poin saja.

Walaupun demikian, pendidikan kita sudah masuk tahap kritis sejak sebelum ada pandemi. Studi RISE dan SMERU dalam laporan bertajuk "Indonesian Children: In School but Not Learning" yang mengamati kinerja pendidikan pada periode 2000-2014 menyimpulkan capaian belajar cenderung menurun dan hanya sedikit sekali peningkatan kompetensi murid antar jenjang kelas.

Kalau diamati lagi dari hasil tes PISA 2018, maka menurut pengamat pendidikan Najelaa Shihab, skornya cenderung mengalami penurunan. Secara umum, menurut Najelaa, anak didik usia 15 tahun yang mencapai kompetensi literasi minimal hanya di kisaran 30% pada membaca, 29% pada matematika, dan 40% pada sains.

Artinya, kebanyakan anak didik kita hanya bisa membaca bacaan sederhana, tanpa bisa memahami maknanya. Menurut Laporan Bank Dunia dalam "The Promise of Education in Indonesia" (2020), anak Indonesia memang memiliki masa persekolahan (years of schooling) sampai 12,4 tahun, tetapi masa pembelajarannya (years of learning) hanya 7,8 tahun. Kinerja yang menurun ini dikonfirmasi juga oleh hasil Ujian Nasional pada saat itu.

Pendidikan kita sedang memasuki kondisi gawat darurat. Kita tidak bisa berdalih bahwa negara-negara lain juga mengalami penurunan akibat pandemi yang berkepanjangan sampai 2 tahun ini. Persoalannya, kondisi kita sudah di bawah sebelum pandemi, kemudian makin terpuruk sesudah dihantam pandemi ini. Masa depan anak didik kita yang juga menjadi masa depan bangsa ini akan menjadi kian suram bila kita semua tidak mengambil langkah serius dalam mengatasi masalah mutu pendidikan ini.

Kebetulan saat ini pemerintah sedang menyiapkan perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional yang memang sudah ketinggalan jaman. Terbit tahun 2003 dan efektif tahun 2005, UU Sisdiknas ini konon akan diganti dengan sekaligus mengkonsolidasikan dua UU lainnya, yaitu UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Niat yang sangat mulia dan ambisius, tetapi kita semua perlu mendukungnya dengan terlibat secara aktif menguji dari semua aspek agar landasan hukum yang penting di sektor pendidikan ini dapat berjalan efektif dalam mengatasi berbagai masalah pendidikan kita saat ini.

Senyampang para wakil rakyat dan pemerintah sedang berkutat "mengunyah" pasal demi pasal RUU Sisdiknas tersebut, ada baiknya kita semua memberikan usulan yang konstruktif ke dalam prosesnya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam sektor pendidikan kita yang saat ini relatif masih tercecer, sehingga mungkin saja menjadi penyebab kinerja pendidikan kita hanya jalan di tempat.

Pertama, kompetensi guru dan tenaga kependidikan yang kurang dijaga proses peningkatannya. Program uji kompetensi guru yang direncanakan berjalan rutin sejak 2012, akhirnya dihentikan pada 2015; kecuali untuk wilayah DKI Jakarta yang masih dijalankan pada 2019 untuk seluruh guru. Uji kompetensi dan pelatihan profesi berkelanjutan (continuous professional development) adalah dua mata uang yang saling berkaitan. Pelatihan tanpa mengukur kekurangan setiap guru itu seperti menebak kucing dalam karung: sama meongnya tapi tidak tahu kondisi sebenarnya.

Kedua, program pendidikan inklusi dan anak berbakat. Anak didik di dua kelompok yang berbeda ini sangat perlu diperhatikan. Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di lapisan difabel perlu diperhatikan karena mereka adalah anak-anak kita juga yang kelak bisa ikut berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah bagian dari tugas mulia negara untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan di masyarakat.

Di kelompok anak-anak berbakat istimewa, kita juga perlu memastikan mereka ini "terjaring" sehingga dapat memperkuat bangsa ini dalam persaingan global. Salman Amin Khan, pendiri platform pembelajaran daring gratis Khan Academy pada 2005, memiliki pandangan bahwa penemu obat kanker atau perjalanan antar-galaksi itu jangan-jangan ada di antara anak-anak miskin di gurun Afrika atau sebagian pelosok terpencil kumuh miskin di muka bumi ini. Ya, anak didik berbakat istimewa dari keluarga miskin itu akan selalu tersisihkan dalam persaingan memasuki pendidikan formal. Mereka sudah kalah sebelum bertanding.

Ingat serial novel "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata (2005)? Anak yang bernama Lintang itu mestinya bisa menjadi ahli nuklir kalau sukses sekolahnya. Namun, apa hendak di kata, nasibnya berakhir sebagai sopir truk karena ayahnya wafat sehingga dia harus drop out banting tulang mencari nafkah demi keluarganya. Di mana gerangan negara dalam kondisi seperti itu?

Ketiga, peran banyak pihak di luar sekolah dan sektor pendidikan perlu ditingkatkan. Lembaga negara, masyarakat, kalangan akademik, dunia usaha, dan media adalah pihak-pihak pemangku pendidikan yang memiliki peran strategis dalam membantu bangsa ini mengangkat kualitas pendidikan secara masif. Ide kolaborasi ini bukan hal baru, karena Ki Hajar Dewantara sudah mencetuskannya dalam konsep Tripusat atau tiga "pusat" yang melingkupi pendidikan si anak didik, yaitu keluarga, sekolah,dan masyarakat. Pengalaman si anak, kalau ditilik dari konsep pendidikan konstruktivisme John Dewey, menjadi sentral dalam proses pembelajaran.

Alangkah baiknya apabila negara dalam hal ini kementerian pendidikan menjadi motor penggerak dan pengembang terwujudnya perluasan tiga pusat tadi menjadi kolaborasi yang ekstensif, sistemik, dan sistematis. Ekstensif karena menyangkut seluruh aspek pendidikan, mulai dari input, proses, dan keluarannya. Sistemik karena menyangkut semua unsur dalam aktivitas sektor pendidikan. Sistematis karena dijalankan secara mudah, terbuka, dan demokratis karena memanfaatkan aplikasi teknologi yang terbaru.

Cita-cita kemerdekaan republik ini dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara masih belum selesai. Tidak akan pernah selesai. Proses perbaikan secara terus menerus inilah yang membuat kita menjadi bangsa yang besar, maju, dan terdidik. Kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam sektor pendidikan apabila kita mampu menggali potensi diri dan hikmah dari pengalaman sejarah yang panjang ini. Semua strategi yang kita terapkan demi peningkatan kualitas anak-anak kita ini penting untuk melahirkan pemimpin-pemimpin kelas dunia di masa depan. Kita mampu kalau kita mau. Selamat Hari Pendidikan Nasional.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1642 seconds (0.1#10.140)