Rektor ITB-AD: Mubazir, Implementasi Jaring Pengaman Sosial Amburadul!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna mengungkapkan, program pengalokasian anggaran Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar Rp110 triliun untuk masyarakat lapisan bawah yang sudah dilansir sejak awal April 2020 ternyata implementasi di lapangan amburadul. JPS itu terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, Program Kartu Prakerja, dan Program Tarif Listrik untuk 450VA dan 900VA.
"Persoalan database kelompok sasaran masih sangat rapuh sehingga yang terjadi, yang semestinya berhak memperoleh bantuan social justru salah sasaran, jatuh ke kelompok tidak pantas memperolehnya," ujarnya, Jumat (24/4/2020).
Mukhaer menjelaskan, pada kasus pekerja informal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), pekerja serabutan, tukang parkir, pekerja bangunan yang menetap di kota-kota besar misalnya justru banyak yang tidak memperoleh bantuan. Pendekatan pemerintah yang formalistik dan sarat gimmick memicu mereka tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya banyak yang mubazir.
"Kelompok pekerja informal ini lazimnya tinggal nomaden alias tidak bertempat tinggal tetap dan tidak memiliki KTP setempat. Mereka ini banyak ber-KTP dari daerah (kampung) asal. Tatkala pemerintah memberlakukan kebijakan tidak boleh mudik di masa wabah Covid-19 justru pekerja informal ini banyak merana dan terkatung-katung hidupnya di kota-kota. Penghasilan mereka anjlok, bahkan nganggur karena mereka kehilangan pelanggan dan pembeli," bebernya.
Kemudian, dia juga menyampaikan bahwa pekerja informal tinggal di rumah-rumah kontrakan berskala sempit. Tentu mereka ini bakal tidak dapat bantuan apapun, bahkan terancam terusir karena tidak mampu bayar kontrakan.
"Rumah kontrakan yang sambungan listriknya 450VA justru subsidinya diterima pemilik rumah kontrakan. Mereka ini akhirnya hidup gelandangan yang ujungnya bisa memicu kriminalitas dan kerawanan sosial yang membahayakan masyarakat umum," terang Mukhaer.
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengusulkan kepada pemerintah agar pekerja informal yang nomaden dan tidak memiliki KTP tetap diberikan bantuan sosial. Caranya, pertama harus pendekatan basis komunitas RT/RW. Manfaatkan kembali Kartu Keterangan Domisili. Ketua dan perangkat RT/RW harus difasilitasi agar bisa mendata dan mendistribusikan bantuan kepada warga yang pekerja nomaden ini.
"Bayangkan ketika proses Pemilu 2019 lalu banyak warga yang tidak memiliki KTP setempat justru bisa berpartisipasi menggunakan hak pilihnya. Ada apa? Justru di masa wabah Covid-19 kok mereka tidak bisa mengakses bantuan, padahal ini persoalan perut rakyat? Mestinya para politisi/parpol mendata dan mengadvokasi mereka supaya bisa mengakses bantuan. Parpol jangan diam seribu bahasa, berlagak pilon," tegasnya.
Kedua, pemerintah harus memberikan mereka ini program padat karya berupa pembangunan berbagai proyek di perkotaan dengan pendekatan tunai. Misalnya, beri pekerjaan pembersihan fasilitas umum, keindahan kota, pembersihan gorong-gorong, perbaikan saluran drainase, dan lainnya dengan tetap menggunakan protokol pembatasan fisik/sosial.
"Kalau bisa alokasi anggaran pelatihan Program Prakerja dialihkan saja untuk program padat karya. Program ini lebih realistis dan bermanfaat dibanding pelatihan-pelatihan online yang berbasis proyek formalistik dan gimmick," katanya.
"Persoalan database kelompok sasaran masih sangat rapuh sehingga yang terjadi, yang semestinya berhak memperoleh bantuan social justru salah sasaran, jatuh ke kelompok tidak pantas memperolehnya," ujarnya, Jumat (24/4/2020).
Mukhaer menjelaskan, pada kasus pekerja informal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), pekerja serabutan, tukang parkir, pekerja bangunan yang menetap di kota-kota besar misalnya justru banyak yang tidak memperoleh bantuan. Pendekatan pemerintah yang formalistik dan sarat gimmick memicu mereka tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya banyak yang mubazir.
"Kelompok pekerja informal ini lazimnya tinggal nomaden alias tidak bertempat tinggal tetap dan tidak memiliki KTP setempat. Mereka ini banyak ber-KTP dari daerah (kampung) asal. Tatkala pemerintah memberlakukan kebijakan tidak boleh mudik di masa wabah Covid-19 justru pekerja informal ini banyak merana dan terkatung-katung hidupnya di kota-kota. Penghasilan mereka anjlok, bahkan nganggur karena mereka kehilangan pelanggan dan pembeli," bebernya.
Kemudian, dia juga menyampaikan bahwa pekerja informal tinggal di rumah-rumah kontrakan berskala sempit. Tentu mereka ini bakal tidak dapat bantuan apapun, bahkan terancam terusir karena tidak mampu bayar kontrakan.
"Rumah kontrakan yang sambungan listriknya 450VA justru subsidinya diterima pemilik rumah kontrakan. Mereka ini akhirnya hidup gelandangan yang ujungnya bisa memicu kriminalitas dan kerawanan sosial yang membahayakan masyarakat umum," terang Mukhaer.
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengusulkan kepada pemerintah agar pekerja informal yang nomaden dan tidak memiliki KTP tetap diberikan bantuan sosial. Caranya, pertama harus pendekatan basis komunitas RT/RW. Manfaatkan kembali Kartu Keterangan Domisili. Ketua dan perangkat RT/RW harus difasilitasi agar bisa mendata dan mendistribusikan bantuan kepada warga yang pekerja nomaden ini.
"Bayangkan ketika proses Pemilu 2019 lalu banyak warga yang tidak memiliki KTP setempat justru bisa berpartisipasi menggunakan hak pilihnya. Ada apa? Justru di masa wabah Covid-19 kok mereka tidak bisa mengakses bantuan, padahal ini persoalan perut rakyat? Mestinya para politisi/parpol mendata dan mengadvokasi mereka supaya bisa mengakses bantuan. Parpol jangan diam seribu bahasa, berlagak pilon," tegasnya.
Kedua, pemerintah harus memberikan mereka ini program padat karya berupa pembangunan berbagai proyek di perkotaan dengan pendekatan tunai. Misalnya, beri pekerjaan pembersihan fasilitas umum, keindahan kota, pembersihan gorong-gorong, perbaikan saluran drainase, dan lainnya dengan tetap menggunakan protokol pembatasan fisik/sosial.
"Kalau bisa alokasi anggaran pelatihan Program Prakerja dialihkan saja untuk program padat karya. Program ini lebih realistis dan bermanfaat dibanding pelatihan-pelatihan online yang berbasis proyek formalistik dan gimmick," katanya.
(jon)