Menapaki Setapak Perubahan dengan Literasi
loading...
A
A
A
Romadhon JASN
Koordinator Jaringan Aktivis Nusantara
TWIT Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo tentang peringatan Hari Buku Sedunia atau World Book Day menarik dicermati secara mendalam. Dalam laman Twitter pribadinya, mantan Kabareskrim Polri itu menuliskan sebuah kalimat bijak “rajinlah membaca buku agar terbuka wawasan, memiliki pandangan yang maju ke depan, sehingga kita mampu menghargai perbedaan dan kebhinnekaan".
Intinya, terdapat pesan moral dan makna yang tersirat pada kalimat bijak itu, yaitu tentang pentingnya membaca buku dan kaitannya dengan cara kita menghargai perbedaan dan kebhinnekaan.
Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya mantan Kapolda Banten itu ingin menjelaskan kepada publik betapa kebhinnekaan kita terancam. Hal tersebut disebabkan minimnya tingkat kemampuan literasi kita sehingga pemikirannya cenderung eksklusif. Lemahnya kemampuan literasi juga menyebabkan seseorang gampang terjerembab, terprovokasi, dan mudah terjebak dalam arus informasi hoaks yang menyesatkan.
Akibat arus informasi yang melimpah ruah juga menyebabkan seseorang enggan untuk sekadar melakukan verifikasi atau "tabayyun" meminjam istilah Al-Qur'an. Akibatnya, disinformasi tak dapat dihindari saking meluapnya narasi-narasi kotor penuh hoaks dan bermuatan SARA menguasai ruang jagat digital.
Akibat itu, kegaduhan tak dapat dihindari. Dengan demikian, kegaduhan yang terjadi itu sebenarnya bersumber dari berita hoaks yang penuh manipulasi dan intrik. Itu semua terjadi tak lain dan tak bukan karena disebabkan tingkat kemampuan literasi kita sangat lemah dan rendah.
Oleh karena itu, jika dicerna dan diamati betul kalimat bijak Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah merupakan bentuk ajakan dan imbauan kepada kita untuk membiasakan dan membudayakan tradisi membaca sehingga memiliki wawasan yang luas dan cara pandang moderat sehingga tidak gampang menyalahkan pihak lain dan selalu menghargai perbedaan sebagai sebuah keniscayaan (sunnatullah) terutama di Indonesia sebagai negara majemuk yang plural. Sikap demikian merupakan bentuk ekspresi penegasan tentang pentingnya literasi dan kekayaan wawasan serta khazanah pemikiran yang moderat.
Perkuat Budaya Literasi
Di era disrupsi dan berkuasanya jagat digital, semua orang dituntut cakap dan responsif dengan perkembangan tekhnologi digital. Pun juga disertai kemampuan literasi yang mumpuni. Salah satu cara meningkatkan literasi adalah dengan memperkuat dan meningkatkan minat baca dan minat menulis. Budaya literasi harus diperkuat untuk membuka wawasan dan cakrawala pemikiran yang moderat.
Ikhwal, sudah jadi rahasia umum bahwa di era disrupsi di mana dalam era ini ditandai dengan sebuah gejala yang cukup masif, yaitu berjubelnya informasi yang diterima manusia, namun tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang cukup. Akibatnya, percekcokan, perkelahian, provokasi, dan kegaduhan tak dapat dihindari sebagai sebuah konsekuensi.
Pada titik inilah, sesungguhnya hidup di era disrupsi seyogyanya harus disertai dengan kemampuan membaca yang baik agar memiliki refleksi yang mendalam. Tujuannya agar masyarakat memiliki kemampuan atau kecerdasan dalam memilah informasi.
Konsekuensi hidup di era disrupsi harus menerima fakta baru, yaitu hidup berdampingan dengan tingginya intensitas laju informasi. 24 jam nonstop informasi lalu lalang di gadget. Dan tak jarang dari kita yang secara serampangan mengkonsumsi informasi tanpa filter. Kecenderungan ini kita bisa amati dalam kasus hoaks dan hate speech yang seringkali menjadi ancaman bagi persatuan dan kebhinekaan kita.
Untuk itu, dalam peringatan Hari Buku Sedunia ini, seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda atau milenial terus meningkatkan minat baca sebagai modal utama membangun bangsa yang besar dan maju dalam segala sektor. Karena tingkat kemampuan literasi suatu negara sangat mempengaruhi cara berfikir dan cara pandang masyarakatnya. Demikian juga apabila tingkat budaya literasi suatu negara rendah, tak menutup kemungkinan cara berfikirnya eksklusif bahkan enggan menghargai perbedaan dan keragaman (pluralitas dan kebhinnekaan).
Oleh karena, budaya literasi harus ditingkatkan dan diperkuat sehingga lahir generasi yang berwawasan luas dan memiliki pemikiran brilian serta cara pandang yang moderat (watshatiyah).
Sementara ini, jika mencermati tingkat literasi kita terbilang rendah saat ini. Tahun 2021 lalu, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan di tengah meluapnya arus informasi yang sesungguhnya membutuhkan kemampuan literasi yang mumpuni. Artinya, setiap informasi hoaks bermuatan SARA, hate speech yang berpotensi memecah belah persatuan dan kebhinnekaan sejatinya perlu disaring sedemikian rupa.
Verifikasi (tabayyun) atas suatu informasi atau peristiwa adalah keniscayaan sehingga menghasilkan jawaban yang shohih dan tak menimbulkan diskursus yang berujung kegaduhan. Dalam konteks ini, sebagai bagian dari generasi milenial atau kelompok sosial yang paling dominan menggunakan media sosial, tentu merasa terpanggil untuk memperbaiki hal tersebut. Setidaknya perlu diselenggarakan kegiatan khusus untuk meningkatkan literasi generasi muda. Semisal kegiatan pelatihan (training khusus) untuk membekali kemampuan literasi anak-anak muda.
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
Koordinator Jaringan Aktivis Nusantara
TWIT Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo tentang peringatan Hari Buku Sedunia atau World Book Day menarik dicermati secara mendalam. Dalam laman Twitter pribadinya, mantan Kabareskrim Polri itu menuliskan sebuah kalimat bijak “rajinlah membaca buku agar terbuka wawasan, memiliki pandangan yang maju ke depan, sehingga kita mampu menghargai perbedaan dan kebhinnekaan".
Intinya, terdapat pesan moral dan makna yang tersirat pada kalimat bijak itu, yaitu tentang pentingnya membaca buku dan kaitannya dengan cara kita menghargai perbedaan dan kebhinnekaan.
Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya mantan Kapolda Banten itu ingin menjelaskan kepada publik betapa kebhinnekaan kita terancam. Hal tersebut disebabkan minimnya tingkat kemampuan literasi kita sehingga pemikirannya cenderung eksklusif. Lemahnya kemampuan literasi juga menyebabkan seseorang gampang terjerembab, terprovokasi, dan mudah terjebak dalam arus informasi hoaks yang menyesatkan.
Akibat arus informasi yang melimpah ruah juga menyebabkan seseorang enggan untuk sekadar melakukan verifikasi atau "tabayyun" meminjam istilah Al-Qur'an. Akibatnya, disinformasi tak dapat dihindari saking meluapnya narasi-narasi kotor penuh hoaks dan bermuatan SARA menguasai ruang jagat digital.
Akibat itu, kegaduhan tak dapat dihindari. Dengan demikian, kegaduhan yang terjadi itu sebenarnya bersumber dari berita hoaks yang penuh manipulasi dan intrik. Itu semua terjadi tak lain dan tak bukan karena disebabkan tingkat kemampuan literasi kita sangat lemah dan rendah.
Oleh karena itu, jika dicerna dan diamati betul kalimat bijak Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah merupakan bentuk ajakan dan imbauan kepada kita untuk membiasakan dan membudayakan tradisi membaca sehingga memiliki wawasan yang luas dan cara pandang moderat sehingga tidak gampang menyalahkan pihak lain dan selalu menghargai perbedaan sebagai sebuah keniscayaan (sunnatullah) terutama di Indonesia sebagai negara majemuk yang plural. Sikap demikian merupakan bentuk ekspresi penegasan tentang pentingnya literasi dan kekayaan wawasan serta khazanah pemikiran yang moderat.
Perkuat Budaya Literasi
Di era disrupsi dan berkuasanya jagat digital, semua orang dituntut cakap dan responsif dengan perkembangan tekhnologi digital. Pun juga disertai kemampuan literasi yang mumpuni. Salah satu cara meningkatkan literasi adalah dengan memperkuat dan meningkatkan minat baca dan minat menulis. Budaya literasi harus diperkuat untuk membuka wawasan dan cakrawala pemikiran yang moderat.
Ikhwal, sudah jadi rahasia umum bahwa di era disrupsi di mana dalam era ini ditandai dengan sebuah gejala yang cukup masif, yaitu berjubelnya informasi yang diterima manusia, namun tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang cukup. Akibatnya, percekcokan, perkelahian, provokasi, dan kegaduhan tak dapat dihindari sebagai sebuah konsekuensi.
Pada titik inilah, sesungguhnya hidup di era disrupsi seyogyanya harus disertai dengan kemampuan membaca yang baik agar memiliki refleksi yang mendalam. Tujuannya agar masyarakat memiliki kemampuan atau kecerdasan dalam memilah informasi.
Konsekuensi hidup di era disrupsi harus menerima fakta baru, yaitu hidup berdampingan dengan tingginya intensitas laju informasi. 24 jam nonstop informasi lalu lalang di gadget. Dan tak jarang dari kita yang secara serampangan mengkonsumsi informasi tanpa filter. Kecenderungan ini kita bisa amati dalam kasus hoaks dan hate speech yang seringkali menjadi ancaman bagi persatuan dan kebhinekaan kita.
Untuk itu, dalam peringatan Hari Buku Sedunia ini, seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda atau milenial terus meningkatkan minat baca sebagai modal utama membangun bangsa yang besar dan maju dalam segala sektor. Karena tingkat kemampuan literasi suatu negara sangat mempengaruhi cara berfikir dan cara pandang masyarakatnya. Demikian juga apabila tingkat budaya literasi suatu negara rendah, tak menutup kemungkinan cara berfikirnya eksklusif bahkan enggan menghargai perbedaan dan keragaman (pluralitas dan kebhinnekaan).
Oleh karena, budaya literasi harus ditingkatkan dan diperkuat sehingga lahir generasi yang berwawasan luas dan memiliki pemikiran brilian serta cara pandang yang moderat (watshatiyah).
Sementara ini, jika mencermati tingkat literasi kita terbilang rendah saat ini. Tahun 2021 lalu, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan di tengah meluapnya arus informasi yang sesungguhnya membutuhkan kemampuan literasi yang mumpuni. Artinya, setiap informasi hoaks bermuatan SARA, hate speech yang berpotensi memecah belah persatuan dan kebhinnekaan sejatinya perlu disaring sedemikian rupa.
Verifikasi (tabayyun) atas suatu informasi atau peristiwa adalah keniscayaan sehingga menghasilkan jawaban yang shohih dan tak menimbulkan diskursus yang berujung kegaduhan. Dalam konteks ini, sebagai bagian dari generasi milenial atau kelompok sosial yang paling dominan menggunakan media sosial, tentu merasa terpanggil untuk memperbaiki hal tersebut. Setidaknya perlu diselenggarakan kegiatan khusus untuk meningkatkan literasi generasi muda. Semisal kegiatan pelatihan (training khusus) untuk membekali kemampuan literasi anak-anak muda.
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
(kri)