Jalan Panjang Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Kamis, 21 April 2022 - 14:49 WIB
loading...
Jalan Panjang Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Mira Permatasari (Foto: Ist)
A A A
Mira Permatasari
Direktur The Yudhoyono Institute

TANGGAL 21 April merupakan salah satu hari bersejarah bagi kaum perempuan di Indonesia. Di hari itulah, setiap tahunnya kaum perempuan diingatkan kembali akan perjuangan seorang perempuan dari Jepara bernama Kartini tentang kesetaraan, hak- hak dan emansipasi perempuan, yang dulu sangat tabu dibicarakan. Ratusan tahun sejak berpulangnya Kartini, pemikirannya tidak pernah usang dimakan zaman. Pemikirannya tak hanya menggerakkan jiwa perempuan untuk terus bergerak dari waktu ke waktu, namun juga berhasil mendobrak pakem-pakem lama yang sarat dengan cara pandang kuno dan kolot tentang keberadaan dan peran perempuan.

Kini semakin marak perempuan yang terjun ke politik. Tidak sedikit perempuan Indonesia yang bertengger di parlemen menyuarakan dengan lantang hak-hak aspirasi perempuan. Tercatat pada hasil Pemilu Legislatif 2019, per Januari 2021 ada sekitar 123 legislator perempuan atau setara dengan lebih dari 21% yang berhasil melenggang ke Senayan dari total anggota legislator. Angka yang cukup baik dan jauh meningkat dari pemilu sebelumnya, meskipun masih tetap di bawah target 30%.

Menurut catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Berdasarkan data dari World Bank (2019), Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen.

Kita juga tidak bisa menampik kenyataan, di sana-sini masih saja terdapat ketidakadilan dan diskriminasi bagi perempuan dalam berpolitik. Berdasarkan hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada pemilu legislatif, calon legislatif perempuan masih saja terkendala mendapatkan nomor urut atas. Padahal, itu semua sudah tertampung secara hukum dalam zipper system yang mensyaratkan setidaknya terdapat satu calon perempuan dari tiga calon yang ada berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017.

Bentuk diskriminasi lainnya yang sering terjadi adalah adanya anggapan perempuan merupakan warga kelas dua atau hanya gula-gula di kancah politik. Tidak jarang kita membaca berita, ada perlakuan seksis atau kekerasan verbal politisi laki-laki yang mendegradasi politisi perempuan. Alih-alih beradu argumentasi dan gagasan yang sarat akan substansi, namun penampilan fisik politisi perempuan yang justru jadi perhatian.

Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA, 2018) menyatakan bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam politik juga diakibatkan oleh adanya faktor budaya, stereotype, marginalisasi, subordinasi dan beban ganda yang tak terelakkan. Ini merupakan fenomena puncak gunung es yang harus segera diatasi.

Begitu pula dengan persoalan implementasi atas regulasi tentang minimal 30% representasi perempuan dalam UU. Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pertanyaannya adalah, apakah benar-benar regulasi tersebut diimplementasikan untuk keterwakilan suara dan aspirasi perempuan? Ataukah ini semua hanya untuk memenuhi kuota semata? Padahal, sejatinya keterwakilan perempuan dalam politik akan memuat perspektif dan hak-hak perempuan yang dapat berkontribusi pada pembuatan keputusan politik yang lebih inklusif, setara dan adil, serta berpihak bagi perempuan.

Beberapa studi menemukan bahwa kehadiran perempuan dalam representasi politik memang mampu mengubah agenda, perdebatan dan produk hasil legislatif (Carroll 2001; Gray 2002; Swers 2002). Partisipasi aktif perempuan dalam politik niscaya akan mampu meningkatkan kesejahteraan perempuan, karena dianggap bisa mewakili dan mengawal isu-isu serta agenda pembangunan nasional.

Namun pada kenyataannya, data aktual menunjukkan bahwa masih terdapat fenomena paritas gender, di mana perempuan masih kurang terwakili dalam politik. Sehingga produk- produk kebijakan yang dihasilkan masih lekat dengan nuansa patriarkal. Padahal dengan tidak melibatkan perempuan dalam pembuatan kebijakan, sama saja dengan tindakan pengabaian dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi (Mansbridge 1999; Phillips 1995; Young 2000).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0982 seconds (0.1#10.140)