Ekspose Big Data DPD, LaNyalla: Pemerintah Harus Fokus, Hentikan Isu-Isu Inkonstitusional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dengan tegas meminta pemerintah fokus menyelesaikan masalah-masalah ekonomi. Ia juga meminta pemerintah menghentikan semua pernyataan terkait isu-isu inkonstitusional yang membuat gaduh.
LaNyalla menyampaikan hal itu saat Public Expose Big Data DPD, Kamis (14/4/2022), di Jakarta. "Kesimpulan yang kita dapat dengan merujuk pada tren dan perkembangan serta dinamika dalam masyarakat melalui analisis big data, DPD secara objektif mengingatkan pemerintah agar fokus pada menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi," katanya.
"Pemerintah juga harus meninggalkan atau menghentikan semua pernyataan terkait isu-isu yang in-konstitusional, seperti penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden," tegas LaNyalla.
Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu mengatakan, Public Expose Big Data DPD ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik. "Setiap badan publik, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang memberikan informasi ke publik di ruang terbuka, wajib membuka datanya apabila diminta," katanya.
LaNyalla juga mengutip Pasal 11 UU Nomor 14 Tahun 2008. Terutama poin 1 yang menyebut, Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat. "Di poin 1 F disebutkan, hal itu meliputi informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum," katanya.
Ditegaskannya, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang disediakan dan diumumkan secara berkala. Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, Public Expose Big Data DPD mengungkap perbincangan publik pengguna media sosial terhadap isu Sosial, Ekonomi dan Politik.
Baca juga: Ketua DPD Minta Menteri Fokus Kerja Sesuai Bidang, Tidak Urus Lain-lain
"Ekspose Publik ini penting. Karena, sebelumnya, secara terbuka saya telah membantah klaim yang disampaikan Menko Maritim dan Investasi, yang mengatakan bahwa dari temuan Big Data, ada sekitar 110 juta masyarakat pengguna media sosial yang menghendaki penundaan Pemilu atau Perpanjangan Masa Jabatan Presiden," katanya.
Dijelaskan LaNyalla, ia juga telah menyampaikan secara terbuka, bahwa kegiatan atau pernyataan elit politik, baik itu Menteri atau Ketua Partai, terkait Penundaan Pemilu atau Masa Jabatan Presiden 3 Periode justru tidak direspons positif oleh publik.
"Dan sebagai bagian dari keterbukaan informasi, saya sampaikan bahwa DPD, sejak dua tahun ini memang telah menggunakan Big Data untuk melakukan bacaan terhadap dinamika masyarakat pengguna media sosial di 34 Provinsi di Indonesia," katanya.
Lewat Big Data ini, DPD juga mengetahui bagaimana respons publik terhadap Pandemi Covid-19 saat ini, dan inflasi serta kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok dan BBM. "Kami juga membaca bagaimana respon publik terhadap kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng," katanya.
Dalam public expose yang disampaikan Founder Evello, Dudy Rudianto, yang juga rekanan DPD, diungkap sejumlah poin. Pertama, DPD meyakini bahwa tingkat kepedulian masyarakat terhadap Covid-19 pada tri-mester awal 2022 cenderung turun. Ada kecenderungan masyarakat ingin agar hidupnya kembali normal, terutama terkait dengan sektor ekonomi.
Kedua, DPD juga meyakini adanya keinginan yang kuat dari masyarakat agar Pemerintah berada pada garda terdepan pemulihan ekonomi. Dari analitik Big Data, DPD melihat ini sebagai salah satu alasan mengapa Gerakan Vaksin Covid-19 sukses dan bisa diterima masyarakat.
Ketiga, sejak Februari 2022, masyarakat mulai mengeluhkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak membantu harapan pemulihan ekonomi. Dari soal polemik pencairan Jaminan Hari Tua, naiknya harga kedelai dan kelangkaan minyak goreng. Keempat, ada kecenderungan pendapat yang kuat di masyarakat, jika pemerintah kalah menghadapi aksi mafia dan kartel minyak goreng dan rasa frustasi yang tinggi dari masyarakat, terhadap kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah ekonomi.
Dan terakhir, merebaknya isu penundaan pemilu 2024 membuat rasa kecewa publik meningkat. Melalui big data dapat ditangkap kecenderungan turunnya kesukaan terhadap Presiden Joko Widodo dan meningkatnya rasa pesimis bahwa Presiden dan jajaran pemerintah bisa menyelesaikan masalah-masalah ekonomi.
LaNyalla menyampaikan hal itu saat Public Expose Big Data DPD, Kamis (14/4/2022), di Jakarta. "Kesimpulan yang kita dapat dengan merujuk pada tren dan perkembangan serta dinamika dalam masyarakat melalui analisis big data, DPD secara objektif mengingatkan pemerintah agar fokus pada menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi," katanya.
"Pemerintah juga harus meninggalkan atau menghentikan semua pernyataan terkait isu-isu yang in-konstitusional, seperti penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden," tegas LaNyalla.
Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu mengatakan, Public Expose Big Data DPD ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik. "Setiap badan publik, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang memberikan informasi ke publik di ruang terbuka, wajib membuka datanya apabila diminta," katanya.
LaNyalla juga mengutip Pasal 11 UU Nomor 14 Tahun 2008. Terutama poin 1 yang menyebut, Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat. "Di poin 1 F disebutkan, hal itu meliputi informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum," katanya.
Ditegaskannya, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang disediakan dan diumumkan secara berkala. Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, Public Expose Big Data DPD mengungkap perbincangan publik pengguna media sosial terhadap isu Sosial, Ekonomi dan Politik.
Baca juga: Ketua DPD Minta Menteri Fokus Kerja Sesuai Bidang, Tidak Urus Lain-lain
"Ekspose Publik ini penting. Karena, sebelumnya, secara terbuka saya telah membantah klaim yang disampaikan Menko Maritim dan Investasi, yang mengatakan bahwa dari temuan Big Data, ada sekitar 110 juta masyarakat pengguna media sosial yang menghendaki penundaan Pemilu atau Perpanjangan Masa Jabatan Presiden," katanya.
Dijelaskan LaNyalla, ia juga telah menyampaikan secara terbuka, bahwa kegiatan atau pernyataan elit politik, baik itu Menteri atau Ketua Partai, terkait Penundaan Pemilu atau Masa Jabatan Presiden 3 Periode justru tidak direspons positif oleh publik.
"Dan sebagai bagian dari keterbukaan informasi, saya sampaikan bahwa DPD, sejak dua tahun ini memang telah menggunakan Big Data untuk melakukan bacaan terhadap dinamika masyarakat pengguna media sosial di 34 Provinsi di Indonesia," katanya.
Lewat Big Data ini, DPD juga mengetahui bagaimana respons publik terhadap Pandemi Covid-19 saat ini, dan inflasi serta kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok dan BBM. "Kami juga membaca bagaimana respon publik terhadap kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng," katanya.
Dalam public expose yang disampaikan Founder Evello, Dudy Rudianto, yang juga rekanan DPD, diungkap sejumlah poin. Pertama, DPD meyakini bahwa tingkat kepedulian masyarakat terhadap Covid-19 pada tri-mester awal 2022 cenderung turun. Ada kecenderungan masyarakat ingin agar hidupnya kembali normal, terutama terkait dengan sektor ekonomi.
Kedua, DPD juga meyakini adanya keinginan yang kuat dari masyarakat agar Pemerintah berada pada garda terdepan pemulihan ekonomi. Dari analitik Big Data, DPD melihat ini sebagai salah satu alasan mengapa Gerakan Vaksin Covid-19 sukses dan bisa diterima masyarakat.
Ketiga, sejak Februari 2022, masyarakat mulai mengeluhkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak membantu harapan pemulihan ekonomi. Dari soal polemik pencairan Jaminan Hari Tua, naiknya harga kedelai dan kelangkaan minyak goreng. Keempat, ada kecenderungan pendapat yang kuat di masyarakat, jika pemerintah kalah menghadapi aksi mafia dan kartel minyak goreng dan rasa frustasi yang tinggi dari masyarakat, terhadap kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah ekonomi.
Dan terakhir, merebaknya isu penundaan pemilu 2024 membuat rasa kecewa publik meningkat. Melalui big data dapat ditangkap kecenderungan turunnya kesukaan terhadap Presiden Joko Widodo dan meningkatnya rasa pesimis bahwa Presiden dan jajaran pemerintah bisa menyelesaikan masalah-masalah ekonomi.
(abd)