Jokowi dan PKL

Jum'at, 19 April 2013 - 05:57 WIB
Jokowi dan PKL
Jokowi dan PKL
A A A
GUBERNUR DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mulai bersihbersih Jakarta. Inilah fenomena yang kita lihat belakangan ini perihal penggusuran pedagang kaki lima (PKL) liar di sejumlah titik di Jakarta, mulai di pinggiran jalan, terminal hingga stasiun kereta api.

Penggusuran terakhir dilakukan kemarin, satpol PP menggusur puluhan PKL di kawasan Jatinegara, samping Kantor Imigrasi, Jakarta Timur. Tindakan tersebut menimbulkan perlawanan dari para PKL. Kendati demikian, penggusuran tetap berlangsung karena sebelumnya PKL sudah diberi surat peringatan agar memindahkan lapaknya secara sukarela.

Secara umum, langkah yang dilakukan itu mendapatkan respons positif dari masyarakat sekitar Kantor Imigrasi dan para pengguna jalan yang setiap hari terganggu dengan keberadaan lapak mereka yang memakan jalan.

Penataan memang bukan perkara mudah. Selama ini berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah, termasuk Pemprov DKI Jakarta, tidak menuai hasil. PKL bukan hanya tetap “berkuasa” di titik-titik strategis, mereka pun sudah bermetamorfosis sebagai kanker yang menjalar dan kemudian merampas hak-hak publik akan ruang kosong seperti trotoar atau sudut jalan. Lebih memprihatinkan, mereka sering kali “membunuh” pemilik kios yang sah karena tertutupnya pajangan dagangan dan tempat parkir mereka.

Keberadaan PKL yang kian tidak terkendali memang bisa dipahami sebagai fenomena sosial sebagai residu ketidakberdayaan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak secara merata kepada masyarakat. Dengan demikian, menggusur PKL sama halnya mencabut sumber perekonomian mereka.

Tapi pada sisi lain keberadaan PKL liar bukan hanya menimbulkan kemacetan, tapi juga masalah kesehatan dan memicu terjadinya banjir akibat ketidaktertiban PKL membuang sampah. Dari sisi tata kota, PKL yang berserakan tentu mengganggu estetika.

Dengan demikian, pilihan yang bisa diambil Jokowi sebagai leaderDKI Jakarta adalah terus konsisten menggusur dan menata PKL sekaligus memikirkan bagaimana nasib PKL. Penggusuran harus terus dilakukan karena menata PKL sama halnya menyelesaikan satu akar persoalan utama DKI Jakarta, yakni kemacetan dan banjir.

Lebih jauh, penataan PKL akan menjadi awal transformasi wajah dan peradaban baru ibu kota negara. Karena itu, Jokowi tidak perlu takut menghadapi perlawanan PKL, memanen kecaman LSM, atau menuai anjloknya popularitas.

Senyampang kebijakan tetap berdiri di atas asas utilitas, Jokowi harus kukuh dengan program tersebut. Para PKL di wilayah Jakarta semestinya bersyukur memiliki pemimpin seperti Jokowi yang mempunyai sense of sensibility sehingga penggusuran tidak serta-merta berhenti pada estetika semata. Penggusuran selalu berangkat dari dialog, mengedepankan kerelaan, dan berujung pada pemikiran bagaimana nasib mereka selanjutnya.

Jokowi malahan sudah memikirkan solusi permanen penataan PKL, yakni membangun infrastruktur untuk menampung PKL yang rencananya tersebar di 20 titik di Jakarta. Tentu para PKL harus merespons positif penggusuran dan penataan PKL beserta solusi pemindahan sementara, bukan sekonyong-konyong menolak dan melawan seperti ditunjukkan PKL di samping Kantor Imigrasi Jakarta Timur yang sebelumnya sudah ditawari pindah ke wilayah dekat LP Cipinang. Sikap ngotot, semau sendiri, dan menang sendiri justru hanya menghasilkan ketidaksimpatian masyarakat secara luas.

Pengalaman menunjukkan, penggusuran PKL liar selalu menemui jalan buntu karena menuai perlawanan atau tidak mampu menjadi solusi permanen karena PKL selalu kembali dan kembali ke tempat semula.

Kesuksesan penggusuran dan penataan PKL di Kota Solo tentu tidak serta-merta bisa di-copy paste ke Jakarta karena persoalan dan latar belakang PKL jauh lebih kompleks. Namun, yang pasti penggusuran dan penataan PKL di Jakarta akan menjadi ujian kedigdayaan kepemimpinan Jokowi. Semoga berhasil!
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7691 seconds (0.1#10.140)