BPOM dan Perang Dagang AMDK Galon
loading...
A
A
A
Abraham Runga Mali
Koordinator Indonesia Financial Watch
BISNIS air minum dalam kemasan ( AMDK ) di Indonesia memasuki babak baru ketika sejumlah organisasi, LSM, dan pendengung (buzzers) media sosial, sejak beberapa waktu terakhir, sekonyong-konyong mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) mengatur ulang regulasi terkait dengan kemasan AMDK galon guna ulang, khususnya terkait kekhawatiran potensi migrasi atau perpindahan zat Bisphenol A (BPA) sebagai salah satu bahan yang dipakai dalam pembuatan galon polikarbonat (plastik keras). Anehnya, isu ini menjadi bising setelah munculnya produk galon kemasan PET yang diluncurkan secara masif di awal 2020.
Sesungguhnya, selama lebih dari 30 tahun terakhir tak pernah ada kecemasan apa pun sehubungan kandungan BPA dalam galon polikarbonat untuk kemasan air. BPOM sebagai regulator menegaskan, meski mengandung BPA, tetapi air kemasan galon guna ulang atau galon isi ulang itu sangat aman untuk dikonsumsi karena tingkat migrasinya jauh di bawah batas aman yang dipersyaratkan oleh aturan BPOM.
Melalui laman resminya, BPOM menegaskan bahwa hasil pengawasan terhadap galon AMDK yang terbuat dari bahan polikarbonat selama lima tahun terakhir memperlihatkan bahwa migrasi BPA di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg). Dengan kata lain, migrasi BPA dalam air kemasan galon polikarbonat itu sangat kecil atau masih dalam ambang batas aman untuk kesehatan. Sekadar catatan, Peraturan BPOM 20 Tahun 2019, mengatur bahwa ambang batas migrasi zat BPA dalam kemasan makanan dan minuman maksimal di angka 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg). Ambang batas sebesar itu dinilai masih aman untuk kesehatan.
Selain itu, ada juga beleid seperti Permenperin No 26 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Minum Alam, dan Air Minum Embun secara Wajib, di mana galon guna ulang aman untuk dikonsumsi selama produk telah melalui proses pengujian parameter SNI. Sedangkan dalam Permenperin No 24/M-IND/PER/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan Plastik, galon guna ulang sudah terjamin keamanannya.
Dengan kata lain, ketika pelaku industri AMDK sudah memenuhi segala regulasi tersebut, tak ada alasan rasional apapun bagi BPOM untuk menerbitkan regulasi baru atau tambahan, misalnya seperti yang didesakkan pihak tertentu agar produsen AMDK diharuskan mencantumkan label perihal bahaya kandungan BPA dalam kemasan galon polikarbonat sementara kemasan galon PET diperbolehkan menampilkan label 'BPA Free'.
Selain mengada-ada (karena polikarbonat tidak hanya digunakan pada galon air kemasan dan semua jenis plastik, termasuk PET ada risiko bahayanya), wacana pelabelan bahaya kandungan BPA dalam kemasan galon polikarbonat patut diduga mewakili agenda tersembunyi pelaku usaha tertentu yang juga 'bermain' dalam bisnis AMDK, yang ingin memperbesar pangsa pasar dengan cara 'menyingkirkan' pemain lama melalui aturan pelabelan bahaya kandungan BPA dalam galon polikarbonat. Bukan apa-apa. Aturan ini akan menciptakan relasi asimetris (tak seimbang) antar-produk dengan menekankan pada kemasan, dan bukan produk yang dikonsumsi.
Komisioner KPPU Chandra Setiawan melihat polemik 'kontaminasi' BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon isi ulang berpotensi mengandung diskriminasi. Sebab, 99,9% industri ini menggunakan galon yang digunakan atau diisi ulang, dan hanya satu yang produknya hanya menggunakan galon sekali pakai jenis PET.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, dalam webinar, 2 Desember 2021, pernah mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 880 juta galon isi ulang yang beredar di pasaran. Investasi dari galon isi ulang diperkirakan Rp30,8 triliun. Jika beralih ke galon sekali pakai, nilai investasi tersebut akan membengkak menjadi Rp51 triliun.
Menurut dia, AMDK yang dikemas dalam galon mendominasi profil industri minuman. Secara pangsa pasar, 84% industri minuman dikuasai AMDK. Adapun, sisanya 12,4% dikontribusikan oleh minuman ringan lain, dan 3,6% oleh minuman berkarbonasi. Dari total pangsa pasar AMDK, 69% dikemas dalam galon guna ulang. Saat ini pelaku usahanya ada 900 unit, yang menyerap 40.000 tenaga kerja dan produksinya pada 2020 kurang lebih 29 miliar liter.
Dengan kata lain, nilai bisnis AMDK sangatlah fantastis. Wajar, karena hampir setiap rumah tangga di perkotaan seperti Jabodetabek, mengonsumsi AMDK galon sebagai sumber air minum sehari-hari. Istilahnya, bisnis AMDK takkan pernah ada matinya. Masyarakat perkotaan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap AMDK untuk memenuhi kebutuhan akan air minum.
Independensi BPOM
Di tengah persaingan bisnis para produsen AMDK, peran BPOM sangatlah menentukan dalam konteks sebagai otoritas pengawas keamanan pangan dan minuman. Pada titik ini, BPOM tidak boleh gegabah dan menyerah begitu saja terhadap kampanye hitam dan desakan segelintir pihak yang meminta BPOM menerbitkan regulasi tambahan yang mewajibakan produsen AMDK galon polikarbonat mencantumkan bahaya kandungan BPA. BPOM harus menyelidiki motif dan siapa di balik desakan ini. BPOM sebagai pengawas harus menjaga netralitas dan jangan sampai dijebak oleh agenda terselubung pihak tertentu yang bisa memetik keuntungan dari relasi asimetris produk air kemasan galon.
Selain BPOM sudah mengatur soal ambang batas migrasi zat BPA yang dianggap aman untuk kesehatan, isu pelabelan AMDK galon polikarbonat itu sarat oleh agenda kepentingan produsen AMDK galon PET (plastik lunak), yang lewat beleid itu secara tidak langsung ingin menggerus pangsa pasar AMDK galon polikarbonat.
BPOM harus tetap independen dan menjaga marwahnya sebagai otoritas pengawas obat, makanan dan minuman yang netral dan tidak memihak agar tetap bisa dipercaya dan bisa diandalkan oleh masyarakat luas. Jangan sampai BPOM dimanfaatkan pihak tertentu dan oknum lainnya yang bersekongkol berusaha mengambil keuntungan besar dengan cara membonceng penerbitan aturan BPOM sebagai satu-satunya lembaga pengawasan yang secara resmi mewakili negara.
Adalah sangat berbahaya kalau di balik penerbitan beleid BPOM ada transaksi uang dalam jumlah besar sebagai 'imbal jasa' untuk munculnya suatu peraturan baru, yang tidak didasarkan pada hasil penelitian yang sahih dan urgensinya pun dipertanyakan secara akademis.
Jika BPOM selalu mengkampanyekan konsumen untuk membaca label pangan, sudah seharusnya BPOM pun teliti membaca motif pihak-pihak yang mendesak penerbitan aturan label pangan sebelum menerbitkan aturan tersebut.
Koordinator Indonesia Financial Watch
BISNIS air minum dalam kemasan ( AMDK ) di Indonesia memasuki babak baru ketika sejumlah organisasi, LSM, dan pendengung (buzzers) media sosial, sejak beberapa waktu terakhir, sekonyong-konyong mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) mengatur ulang regulasi terkait dengan kemasan AMDK galon guna ulang, khususnya terkait kekhawatiran potensi migrasi atau perpindahan zat Bisphenol A (BPA) sebagai salah satu bahan yang dipakai dalam pembuatan galon polikarbonat (plastik keras). Anehnya, isu ini menjadi bising setelah munculnya produk galon kemasan PET yang diluncurkan secara masif di awal 2020.
Sesungguhnya, selama lebih dari 30 tahun terakhir tak pernah ada kecemasan apa pun sehubungan kandungan BPA dalam galon polikarbonat untuk kemasan air. BPOM sebagai regulator menegaskan, meski mengandung BPA, tetapi air kemasan galon guna ulang atau galon isi ulang itu sangat aman untuk dikonsumsi karena tingkat migrasinya jauh di bawah batas aman yang dipersyaratkan oleh aturan BPOM.
Melalui laman resminya, BPOM menegaskan bahwa hasil pengawasan terhadap galon AMDK yang terbuat dari bahan polikarbonat selama lima tahun terakhir memperlihatkan bahwa migrasi BPA di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg). Dengan kata lain, migrasi BPA dalam air kemasan galon polikarbonat itu sangat kecil atau masih dalam ambang batas aman untuk kesehatan. Sekadar catatan, Peraturan BPOM 20 Tahun 2019, mengatur bahwa ambang batas migrasi zat BPA dalam kemasan makanan dan minuman maksimal di angka 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg). Ambang batas sebesar itu dinilai masih aman untuk kesehatan.
Selain itu, ada juga beleid seperti Permenperin No 26 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Minum Alam, dan Air Minum Embun secara Wajib, di mana galon guna ulang aman untuk dikonsumsi selama produk telah melalui proses pengujian parameter SNI. Sedangkan dalam Permenperin No 24/M-IND/PER/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan Plastik, galon guna ulang sudah terjamin keamanannya.
Dengan kata lain, ketika pelaku industri AMDK sudah memenuhi segala regulasi tersebut, tak ada alasan rasional apapun bagi BPOM untuk menerbitkan regulasi baru atau tambahan, misalnya seperti yang didesakkan pihak tertentu agar produsen AMDK diharuskan mencantumkan label perihal bahaya kandungan BPA dalam kemasan galon polikarbonat sementara kemasan galon PET diperbolehkan menampilkan label 'BPA Free'.
Selain mengada-ada (karena polikarbonat tidak hanya digunakan pada galon air kemasan dan semua jenis plastik, termasuk PET ada risiko bahayanya), wacana pelabelan bahaya kandungan BPA dalam kemasan galon polikarbonat patut diduga mewakili agenda tersembunyi pelaku usaha tertentu yang juga 'bermain' dalam bisnis AMDK, yang ingin memperbesar pangsa pasar dengan cara 'menyingkirkan' pemain lama melalui aturan pelabelan bahaya kandungan BPA dalam galon polikarbonat. Bukan apa-apa. Aturan ini akan menciptakan relasi asimetris (tak seimbang) antar-produk dengan menekankan pada kemasan, dan bukan produk yang dikonsumsi.
Komisioner KPPU Chandra Setiawan melihat polemik 'kontaminasi' BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon isi ulang berpotensi mengandung diskriminasi. Sebab, 99,9% industri ini menggunakan galon yang digunakan atau diisi ulang, dan hanya satu yang produknya hanya menggunakan galon sekali pakai jenis PET.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, dalam webinar, 2 Desember 2021, pernah mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 880 juta galon isi ulang yang beredar di pasaran. Investasi dari galon isi ulang diperkirakan Rp30,8 triliun. Jika beralih ke galon sekali pakai, nilai investasi tersebut akan membengkak menjadi Rp51 triliun.
Menurut dia, AMDK yang dikemas dalam galon mendominasi profil industri minuman. Secara pangsa pasar, 84% industri minuman dikuasai AMDK. Adapun, sisanya 12,4% dikontribusikan oleh minuman ringan lain, dan 3,6% oleh minuman berkarbonasi. Dari total pangsa pasar AMDK, 69% dikemas dalam galon guna ulang. Saat ini pelaku usahanya ada 900 unit, yang menyerap 40.000 tenaga kerja dan produksinya pada 2020 kurang lebih 29 miliar liter.
Dengan kata lain, nilai bisnis AMDK sangatlah fantastis. Wajar, karena hampir setiap rumah tangga di perkotaan seperti Jabodetabek, mengonsumsi AMDK galon sebagai sumber air minum sehari-hari. Istilahnya, bisnis AMDK takkan pernah ada matinya. Masyarakat perkotaan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap AMDK untuk memenuhi kebutuhan akan air minum.
Independensi BPOM
Di tengah persaingan bisnis para produsen AMDK, peran BPOM sangatlah menentukan dalam konteks sebagai otoritas pengawas keamanan pangan dan minuman. Pada titik ini, BPOM tidak boleh gegabah dan menyerah begitu saja terhadap kampanye hitam dan desakan segelintir pihak yang meminta BPOM menerbitkan regulasi tambahan yang mewajibakan produsen AMDK galon polikarbonat mencantumkan bahaya kandungan BPA. BPOM harus menyelidiki motif dan siapa di balik desakan ini. BPOM sebagai pengawas harus menjaga netralitas dan jangan sampai dijebak oleh agenda terselubung pihak tertentu yang bisa memetik keuntungan dari relasi asimetris produk air kemasan galon.
Selain BPOM sudah mengatur soal ambang batas migrasi zat BPA yang dianggap aman untuk kesehatan, isu pelabelan AMDK galon polikarbonat itu sarat oleh agenda kepentingan produsen AMDK galon PET (plastik lunak), yang lewat beleid itu secara tidak langsung ingin menggerus pangsa pasar AMDK galon polikarbonat.
BPOM harus tetap independen dan menjaga marwahnya sebagai otoritas pengawas obat, makanan dan minuman yang netral dan tidak memihak agar tetap bisa dipercaya dan bisa diandalkan oleh masyarakat luas. Jangan sampai BPOM dimanfaatkan pihak tertentu dan oknum lainnya yang bersekongkol berusaha mengambil keuntungan besar dengan cara membonceng penerbitan aturan BPOM sebagai satu-satunya lembaga pengawasan yang secara resmi mewakili negara.
Adalah sangat berbahaya kalau di balik penerbitan beleid BPOM ada transaksi uang dalam jumlah besar sebagai 'imbal jasa' untuk munculnya suatu peraturan baru, yang tidak didasarkan pada hasil penelitian yang sahih dan urgensinya pun dipertanyakan secara akademis.
Jika BPOM selalu mengkampanyekan konsumen untuk membaca label pangan, sudah seharusnya BPOM pun teliti membaca motif pihak-pihak yang mendesak penerbitan aturan label pangan sebelum menerbitkan aturan tersebut.
(abd)