Pimpinan DPD Soroti Masalah di Perbatasan
loading...
A
A
A
Ironisnya, masyarakat yang tinggal di Krayan juga kesulitan memiliki tanah bersertifikat karena hampir seluruh wilayah itu berstatus hutan lindung. Padahal, kata dia, penting sekali keberadaan sertifikat di wilayah perbatasan sebagai wujud eksistensi negara.
“Belajar dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, karena di Mahkamah Internasional, bukti otentik kepemilikan Indonesia lemah. Seandainya di wilayah Sipadan-Ligitan ada kepemilikan sertifikat tanah milik warga Indonesia, mungkin akan lain ceritanya,” katanya.
Dia pun mengungkapkan ada perbedaan perlakuan dua negara terhadap perbatasan, jika di Indonesia daerah perbatasan dijadikan hutan lindung, maka di Malaysia dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi seperti mendirikan pabrik CPO. Hal inilah yang menurutnya harus diperhatikan oleh pemerintah, terutama Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Bukan berarti saya menyarankan agar seluruh hutan lindung dialihfungsikan, tapi kita harus melihat fakta bahwa ada rakyat Indonesia, saudara kita di sana yang butuh tempat tinggal, hidup dan berusaha dan sebagainya. Mohon agar hal ini menjadi prioritas Kementerian ATR," kata Mahyudin kepada Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra saat itu.
Selain di Krayan, tantangan infrastruktur jalan perbatasan dengan Malaysia juga ditemukan di Apau Kayan, Kabupaten Malinau Kaltara. Lokasi di mana masyarakat terisolir akibat ketiadaan jalan yang layak, selain jalan peninggalan PT Sumalindo. Namun sekarang, jalan itu tidak lagi terawat, karena PT Sumalindo tidak beroperasi lagi.
“Di sini ada dilema, ketika pemerintah mau membangun jalan, namun status jalan masih menjadi milik perusahaan. Kecuali ada pelepasan. Nanti kami akan panggil PT Sumalindo untuk minta kejelasan kepemilikan jalan dari mereka,” kata Mahyudin.
Mahyudin menjelaskan kehadiran dua wamen dalam kunjungan itu demi menyelaraskan cara pandang terhadap permasalahan pembangunan daerah. Sehingga apa pun aspirasi rakyat, diharapkan bisa dikoordinasi dengan baik.
“Agar mereka melihat langsung hambatan, peluang, dan permasalahan pembangunan di Kaltara. Sehingga bisa secara cepat dikeluarkan kebijakan yang tepat, setelah melihat dan mendengar langsung aspirasi masyarakat di bawah,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tandra menilai bahwa masalah itu tidak lepas dari kompleksnya kepengurusan agraria, karena masih adanya tumpang tindih regulasi, membuat teknis pelaksanaannya masih ego sektoral. "Di sini ada tantangan wilayah perbatasan. Jadi tidak cuma sekadar pelayanan publik tetapi pertumbuhan di daerah perbatasan dengan Malaysia, artinya memang kompleks permasalahan di sini," kata dia.
Dia menuturkan dengan situasi seperti itu Kementerian ATR/BPN tidak bisa lagi berpikir ego sektoral, namun harus kerja bersama lintas sektoral, termasuk dengan Kementerian LHK. "Kita tata yang benar, karena tata batas kawasan hutan jadi kunci di sini," tuturnya.
“Belajar dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, karena di Mahkamah Internasional, bukti otentik kepemilikan Indonesia lemah. Seandainya di wilayah Sipadan-Ligitan ada kepemilikan sertifikat tanah milik warga Indonesia, mungkin akan lain ceritanya,” katanya.
Dia pun mengungkapkan ada perbedaan perlakuan dua negara terhadap perbatasan, jika di Indonesia daerah perbatasan dijadikan hutan lindung, maka di Malaysia dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi seperti mendirikan pabrik CPO. Hal inilah yang menurutnya harus diperhatikan oleh pemerintah, terutama Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Bukan berarti saya menyarankan agar seluruh hutan lindung dialihfungsikan, tapi kita harus melihat fakta bahwa ada rakyat Indonesia, saudara kita di sana yang butuh tempat tinggal, hidup dan berusaha dan sebagainya. Mohon agar hal ini menjadi prioritas Kementerian ATR," kata Mahyudin kepada Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra saat itu.
Selain di Krayan, tantangan infrastruktur jalan perbatasan dengan Malaysia juga ditemukan di Apau Kayan, Kabupaten Malinau Kaltara. Lokasi di mana masyarakat terisolir akibat ketiadaan jalan yang layak, selain jalan peninggalan PT Sumalindo. Namun sekarang, jalan itu tidak lagi terawat, karena PT Sumalindo tidak beroperasi lagi.
“Di sini ada dilema, ketika pemerintah mau membangun jalan, namun status jalan masih menjadi milik perusahaan. Kecuali ada pelepasan. Nanti kami akan panggil PT Sumalindo untuk minta kejelasan kepemilikan jalan dari mereka,” kata Mahyudin.
Mahyudin menjelaskan kehadiran dua wamen dalam kunjungan itu demi menyelaraskan cara pandang terhadap permasalahan pembangunan daerah. Sehingga apa pun aspirasi rakyat, diharapkan bisa dikoordinasi dengan baik.
“Agar mereka melihat langsung hambatan, peluang, dan permasalahan pembangunan di Kaltara. Sehingga bisa secara cepat dikeluarkan kebijakan yang tepat, setelah melihat dan mendengar langsung aspirasi masyarakat di bawah,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tandra menilai bahwa masalah itu tidak lepas dari kompleksnya kepengurusan agraria, karena masih adanya tumpang tindih regulasi, membuat teknis pelaksanaannya masih ego sektoral. "Di sini ada tantangan wilayah perbatasan. Jadi tidak cuma sekadar pelayanan publik tetapi pertumbuhan di daerah perbatasan dengan Malaysia, artinya memang kompleks permasalahan di sini," kata dia.
Dia menuturkan dengan situasi seperti itu Kementerian ATR/BPN tidak bisa lagi berpikir ego sektoral, namun harus kerja bersama lintas sektoral, termasuk dengan Kementerian LHK. "Kita tata yang benar, karena tata batas kawasan hutan jadi kunci di sini," tuturnya.