Pimpinan DPD Soroti Masalah di Perbatasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) RI Mahyudin melakukan kunjungan kerja di Kalimantan Utara (Kaltara) pada 28-30 Maret 2022. Beberapa anggota DPD Dapil Kaltara lintas komite ikut dalam kunjungan kerja tersebut.
Kunjungan kerja mereka juga turut didampingi Wakil Menteri (Wamen) Agraria Tata Ruang (ATR)/Waka Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surya Tjandra dan Wamen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong. Dalam kunjungan kerjanya, Mahyudin melihat masih banyaknya tantangan pembangunan yang dihadapi provinsi termuda itu, terutama ketersediaan infrastruktur yang layak di perbatasan dengan Malaysia, seperti di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan.
Dirinya pun mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan pembangunan di wilayah perbatasan itu, sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya Sipadan-Ligitan yang diklaim Malaysia. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat banyak potensi ancaman dan gangguan terkait kedaulatan negara pada daerah perbatasan.
Menurut dia, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia di perbatasan secara ekonomi bergantung dari Malaysia, karena adanya keterbatasan transportasi darat yang dibangun di wilayah Krayan. Namun, menurutnya, nasionalisme masyarakat di sana masih kuat sampai saat ini.
"Rakyat di sana benar-benar teruji kesetiaannya pada Indonesia. Bahkan ada jargon di sana 'Ringgit di Dompetku, Malaysia di perutku, namun Garuda tetap di Dadaku.' Itu artinya betapapun rakyat di perbatasan begitu familiar dengan uang Ringgit Malaysia, bahan makanan pun lebih murah dari sana, namun kesetiaan mereka pada NKRI tidak tergoyahkan," kata Mahyudin.
Dia meminta kondisi tersebut tak boleh diabaikan. Sebab, sangat tidak adil jika negara mengabaikan penderitaan rakyat di perbatasan yang justru banyak bergantung pada produk negara tetangga, menyadari barang kebutuhan pokok dari dalam negeri jauh lebih mahal, akibat akses transportasi yang sulit.
"Berbagai keterbatasan infrastruktur itu, membuat ada ketimpangan yang sangat besar antara warga Indonesia di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kaltara, dengan tetangga di Sabah dan Serawak, Malaysia,” imbuhnya.
Ironisnya, masyarakat yang tinggal di Krayan juga kesulitan memiliki tanah bersertifikat karena hampir seluruh wilayah itu berstatus hutan lindung. Padahal, kata dia, penting sekali keberadaan sertifikat di wilayah perbatasan sebagai wujud eksistensi negara.
“Belajar dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, karena di Mahkamah Internasional, bukti otentik kepemilikan Indonesia lemah. Seandainya di wilayah Sipadan-Ligitan ada kepemilikan sertifikat tanah milik warga Indonesia, mungkin akan lain ceritanya,” katanya.
Dia pun mengungkapkan ada perbedaan perlakuan dua negara terhadap perbatasan, jika di Indonesia daerah perbatasan dijadikan hutan lindung, maka di Malaysia dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi seperti mendirikan pabrik CPO. Hal inilah yang menurutnya harus diperhatikan oleh pemerintah, terutama Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Bukan berarti saya menyarankan agar seluruh hutan lindung dialihfungsikan, tapi kita harus melihat fakta bahwa ada rakyat Indonesia, saudara kita di sana yang butuh tempat tinggal, hidup dan berusaha dan sebagainya. Mohon agar hal ini menjadi prioritas Kementerian ATR," kata Mahyudin kepada Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra saat itu.
Selain di Krayan, tantangan infrastruktur jalan perbatasan dengan Malaysia juga ditemukan di Apau Kayan, Kabupaten Malinau Kaltara. Lokasi di mana masyarakat terisolir akibat ketiadaan jalan yang layak, selain jalan peninggalan PT Sumalindo. Namun sekarang, jalan itu tidak lagi terawat, karena PT Sumalindo tidak beroperasi lagi.
“Di sini ada dilema, ketika pemerintah mau membangun jalan, namun status jalan masih menjadi milik perusahaan. Kecuali ada pelepasan. Nanti kami akan panggil PT Sumalindo untuk minta kejelasan kepemilikan jalan dari mereka,” kata Mahyudin.
Mahyudin menjelaskan kehadiran dua wamen dalam kunjungan itu demi menyelaraskan cara pandang terhadap permasalahan pembangunan daerah. Sehingga apa pun aspirasi rakyat, diharapkan bisa dikoordinasi dengan baik.
“Agar mereka melihat langsung hambatan, peluang, dan permasalahan pembangunan di Kaltara. Sehingga bisa secara cepat dikeluarkan kebijakan yang tepat, setelah melihat dan mendengar langsung aspirasi masyarakat di bawah,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tandra menilai bahwa masalah itu tidak lepas dari kompleksnya kepengurusan agraria, karena masih adanya tumpang tindih regulasi, membuat teknis pelaksanaannya masih ego sektoral. "Di sini ada tantangan wilayah perbatasan. Jadi tidak cuma sekadar pelayanan publik tetapi pertumbuhan di daerah perbatasan dengan Malaysia, artinya memang kompleks permasalahan di sini," kata dia.
Dia menuturkan dengan situasi seperti itu Kementerian ATR/BPN tidak bisa lagi berpikir ego sektoral, namun harus kerja bersama lintas sektoral, termasuk dengan Kementerian LHK. "Kita tata yang benar, karena tata batas kawasan hutan jadi kunci di sini," tuturnya.
Surya Tjandra mengatakan bahwa permasalahan lahan di dalam hutan sudah berupaya dibenahi dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH). "Kami sedang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membenahi batas kawasan hutan, karena perintah presiden jelas di situ. Mudah-mudahan PPTKH bisa mencairkan suasana, menjadi salah satu terobosan yang bisa mendukung pembangunan, juga di sisi lain menjaga lingkungan," jelasnya.
Surya juga mengaku sangat terkesan dengan kekompakan antara Wakil Ketua DPD RI dan beberapa anggota DPD Dapil Kaltara lintas komite yang turut dalam kunjungan kerja. Sehingga berbagai permasalahan di daerah diharapkan bisa segera diatasi. "Untuk membenahi permasalahan yang ada, peran masyarakat yang solid diperlukan. Di samping itu, peran DPD yang solid sebagai perwakilan dari daerah serta masyarakatnya juga diperlukan, untuk menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat," ucapnya.
Wamen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengakui masih banyaknya persoalan kepemilikan lahan dan kehutanan di Kaltara. Dia menjelaskan saat ini pemerintah telah menyetujui pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di 130 kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan total luas lahan 330.357 hektare yang akan dilaksanakan.
“Mengenai kampung-kampung tua yang perlu sertifikasi namun statusnya di kawasan hutan, kita keluarkan sertifikatnya, kita ubah batas hutannya, supaya ada legalisasi aset di masyarakat. Artinya rakyat mendapatkan kepastian atas tanah yang didapat dari hutan," ungkapnya.
Kunjungan kerja mereka juga turut didampingi Wakil Menteri (Wamen) Agraria Tata Ruang (ATR)/Waka Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surya Tjandra dan Wamen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong. Dalam kunjungan kerjanya, Mahyudin melihat masih banyaknya tantangan pembangunan yang dihadapi provinsi termuda itu, terutama ketersediaan infrastruktur yang layak di perbatasan dengan Malaysia, seperti di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan.
Dirinya pun mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan pembangunan di wilayah perbatasan itu, sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya Sipadan-Ligitan yang diklaim Malaysia. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat banyak potensi ancaman dan gangguan terkait kedaulatan negara pada daerah perbatasan.
Menurut dia, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia di perbatasan secara ekonomi bergantung dari Malaysia, karena adanya keterbatasan transportasi darat yang dibangun di wilayah Krayan. Namun, menurutnya, nasionalisme masyarakat di sana masih kuat sampai saat ini.
"Rakyat di sana benar-benar teruji kesetiaannya pada Indonesia. Bahkan ada jargon di sana 'Ringgit di Dompetku, Malaysia di perutku, namun Garuda tetap di Dadaku.' Itu artinya betapapun rakyat di perbatasan begitu familiar dengan uang Ringgit Malaysia, bahan makanan pun lebih murah dari sana, namun kesetiaan mereka pada NKRI tidak tergoyahkan," kata Mahyudin.
Dia meminta kondisi tersebut tak boleh diabaikan. Sebab, sangat tidak adil jika negara mengabaikan penderitaan rakyat di perbatasan yang justru banyak bergantung pada produk negara tetangga, menyadari barang kebutuhan pokok dari dalam negeri jauh lebih mahal, akibat akses transportasi yang sulit.
"Berbagai keterbatasan infrastruktur itu, membuat ada ketimpangan yang sangat besar antara warga Indonesia di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kaltara, dengan tetangga di Sabah dan Serawak, Malaysia,” imbuhnya.
Ironisnya, masyarakat yang tinggal di Krayan juga kesulitan memiliki tanah bersertifikat karena hampir seluruh wilayah itu berstatus hutan lindung. Padahal, kata dia, penting sekali keberadaan sertifikat di wilayah perbatasan sebagai wujud eksistensi negara.
“Belajar dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, karena di Mahkamah Internasional, bukti otentik kepemilikan Indonesia lemah. Seandainya di wilayah Sipadan-Ligitan ada kepemilikan sertifikat tanah milik warga Indonesia, mungkin akan lain ceritanya,” katanya.
Dia pun mengungkapkan ada perbedaan perlakuan dua negara terhadap perbatasan, jika di Indonesia daerah perbatasan dijadikan hutan lindung, maka di Malaysia dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi seperti mendirikan pabrik CPO. Hal inilah yang menurutnya harus diperhatikan oleh pemerintah, terutama Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Bukan berarti saya menyarankan agar seluruh hutan lindung dialihfungsikan, tapi kita harus melihat fakta bahwa ada rakyat Indonesia, saudara kita di sana yang butuh tempat tinggal, hidup dan berusaha dan sebagainya. Mohon agar hal ini menjadi prioritas Kementerian ATR," kata Mahyudin kepada Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra saat itu.
Selain di Krayan, tantangan infrastruktur jalan perbatasan dengan Malaysia juga ditemukan di Apau Kayan, Kabupaten Malinau Kaltara. Lokasi di mana masyarakat terisolir akibat ketiadaan jalan yang layak, selain jalan peninggalan PT Sumalindo. Namun sekarang, jalan itu tidak lagi terawat, karena PT Sumalindo tidak beroperasi lagi.
“Di sini ada dilema, ketika pemerintah mau membangun jalan, namun status jalan masih menjadi milik perusahaan. Kecuali ada pelepasan. Nanti kami akan panggil PT Sumalindo untuk minta kejelasan kepemilikan jalan dari mereka,” kata Mahyudin.
Mahyudin menjelaskan kehadiran dua wamen dalam kunjungan itu demi menyelaraskan cara pandang terhadap permasalahan pembangunan daerah. Sehingga apa pun aspirasi rakyat, diharapkan bisa dikoordinasi dengan baik.
“Agar mereka melihat langsung hambatan, peluang, dan permasalahan pembangunan di Kaltara. Sehingga bisa secara cepat dikeluarkan kebijakan yang tepat, setelah melihat dan mendengar langsung aspirasi masyarakat di bawah,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tandra menilai bahwa masalah itu tidak lepas dari kompleksnya kepengurusan agraria, karena masih adanya tumpang tindih regulasi, membuat teknis pelaksanaannya masih ego sektoral. "Di sini ada tantangan wilayah perbatasan. Jadi tidak cuma sekadar pelayanan publik tetapi pertumbuhan di daerah perbatasan dengan Malaysia, artinya memang kompleks permasalahan di sini," kata dia.
Dia menuturkan dengan situasi seperti itu Kementerian ATR/BPN tidak bisa lagi berpikir ego sektoral, namun harus kerja bersama lintas sektoral, termasuk dengan Kementerian LHK. "Kita tata yang benar, karena tata batas kawasan hutan jadi kunci di sini," tuturnya.
Surya Tjandra mengatakan bahwa permasalahan lahan di dalam hutan sudah berupaya dibenahi dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH). "Kami sedang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membenahi batas kawasan hutan, karena perintah presiden jelas di situ. Mudah-mudahan PPTKH bisa mencairkan suasana, menjadi salah satu terobosan yang bisa mendukung pembangunan, juga di sisi lain menjaga lingkungan," jelasnya.
Surya juga mengaku sangat terkesan dengan kekompakan antara Wakil Ketua DPD RI dan beberapa anggota DPD Dapil Kaltara lintas komite yang turut dalam kunjungan kerja. Sehingga berbagai permasalahan di daerah diharapkan bisa segera diatasi. "Untuk membenahi permasalahan yang ada, peran masyarakat yang solid diperlukan. Di samping itu, peran DPD yang solid sebagai perwakilan dari daerah serta masyarakatnya juga diperlukan, untuk menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat," ucapnya.
Wamen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengakui masih banyaknya persoalan kepemilikan lahan dan kehutanan di Kaltara. Dia menjelaskan saat ini pemerintah telah menyetujui pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di 130 kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan total luas lahan 330.357 hektare yang akan dilaksanakan.
“Mengenai kampung-kampung tua yang perlu sertifikasi namun statusnya di kawasan hutan, kita keluarkan sertifikatnya, kita ubah batas hutannya, supaya ada legalisasi aset di masyarakat. Artinya rakyat mendapatkan kepastian atas tanah yang didapat dari hutan," ungkapnya.
(rca)