Bermain di Harga Pertamax
loading...
A
A
A
WACANA kenaikan harga bahan bakar khusus alias nonsubsidi jenis Pertamax dengan RON 92 kembali mengemuka secara masif. Momentum jelang Ramadan di mana harga-harga bahan pokok umumnya naik dinilai banyak pihak justru meresahkan masyarakat. Wacana kenaikan dengan membandingkan harga BBM jenis serupa di Thailand tentu bukan hal yang pas. Mengingat di Thailand harga jual yang dijadikan perbandingan yakni harga jual di SPBU swasta (Shell).
Memang harga BBM setara Pertamax di Thailand (RON 91) setara dengan Rp17.045 per liter. Namun. di Malaysia harga BBM Ron 95 yang kualitasnya lebih baik deibandingkan Pertamax RON 92 dijual setara Rp 6.990 per liter. Jauh lebih murah dibandingkan Pertamax yang dijual Rp 9.000 per liter, bahkan dibandingkan Pertalite dengan kualitas lebih rendah, BBM RON 95 di Malaysia masih lebih murah. Di dalam negeri, Pertalite yang memiliki RON 90 dijual Rp7.650 per liter.
Yang mengagetkan publik, ada rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium (RON 88) yang saat ini sejatinya sudah langka pada 2022 mendatang dan juga Pertalite (RON 90) secara bertahap.
Problematika harga BBM terjadi di seluruh era pemerintahan. Mahalnya harga BBM di dalam negeri seperti yang diungkapkan Pertamina tahun lalu, lantaran kilang-kilang pengolahan di dalam negeri tidak efisien. Ongkos produksi BBM di kilang domestik mahal, karena enam kilang yang beroperasi saat ini berusia tua bahkan ada yang berusia setengah abad. Biaya produksi yang tinggi menjadi alasan utama kenapa harga bahan bakar minyak atau BBM di dalam negeri cukup tinggi.
Minyak yang diolah pun hanya jenis tertentu, yakni yang memiliki kadar sulfur rendah atau sweet crude. Di seluruh dunia, jenis minyak mentah tersebut hanya tersedia sekitar 3% dari seluruh jenis minyak mentah yang tersedia. Tentu menjadi pertanyaan besar, kenapa kilang-kilang Pertamina hanya bisa mengolah minyak mentah dunia yang suplainya hanya 3%? Tentunya patut dipertanyakan juga siapa pemasok sweet crude yang tentunya jika produksinya berkurang maka harganya akan melambung tinggi.
Tentu menjadi pertanyaan besar kenapa berpuluh tahun minyak produksi domestik tak diproduksi secara maksimal di kilang dalam negeri. Siapa pula pemasok atau pemenang tender produk-produk BBM selama ini?
Berkaca dari berpuluh tahun sebelumnya, setiap isu kenaikan harga BBM diembuskan, maka kenaikan harga-harga barang akan mendahului. Yang berarti harga barang-barang, bahkan bahan pokok pun berpotensi melambung tinggi. Karena kebijakan pengendalian BBM terkait langsung dengan kebijakan transportasi nasional. Pengendalian BBM bersubsidi baik melalui opsi pembatasan konsumsi maupun opsi kenaikan harga secara bertahap akan membebani masyarakat. Biaya logistik otomatis akan menyesuaikan, begitupula ongkos transportasi. Hal itu tentunya akan membuat masyarakat semakin babak belur ditengah menurunnya pendapatan akibat pandemi.
Dalam kebijakan BBM, transparansi alias keterbukaan perlu dijujung tinggi Perlu keterbukaan berapa besar sejatinya volume impor BBM. Apalagi di masa lalu masyarakat gampang menghitung berapa besar volume impor BBM tahunan karena menggunakan satuan barel, kini menggunakan satuan ton. Padahal satu jenis minyak dengan minyak lainnya memiliki perbedaan bobot. Untuk minyak Brent misalnya, 1 ton setara dengan 7,61 barel, sedangkan untuk minyak Ural 1 ton setara 7,28 barel.
Volume impor BBM selama 2021 hanya naik 5,5% menjadi 21,93 juta ton dari 29,79 juta ton sepanjang 2020. Volume impor BBM terbesar masih berasal dari produk bensin, seperti bensin dengan nilai oktan (RON) di atas atau sama dengan 90 berupa Pertalite, Pertamax dan sejenisnya.
Impor bensin sepanjang 2021 mencapai 13,97 juta ton. Terbesar produk Pertamax dan RON diatasnya yang mencapai 8,17 juta ton. Jauh lebih besar dibandingkan impor bensin di bawah RON 90 yang hanya 5,66 juta ton, turun 21,3% dari tahun sebelumnya.
Artinya, suplai Pertamax sudah lebih besar dibandingkan dengan BBM jenis lain yang konon masih menghabiskan anggaran subsidi dalam jumlah besar. Sudah saatnya masyarakat bersikap kritis dan ikut berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap ekosistem bisnis BBM di dalam negeri.
Memang harga BBM setara Pertamax di Thailand (RON 91) setara dengan Rp17.045 per liter. Namun. di Malaysia harga BBM Ron 95 yang kualitasnya lebih baik deibandingkan Pertamax RON 92 dijual setara Rp 6.990 per liter. Jauh lebih murah dibandingkan Pertamax yang dijual Rp 9.000 per liter, bahkan dibandingkan Pertalite dengan kualitas lebih rendah, BBM RON 95 di Malaysia masih lebih murah. Di dalam negeri, Pertalite yang memiliki RON 90 dijual Rp7.650 per liter.
Yang mengagetkan publik, ada rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium (RON 88) yang saat ini sejatinya sudah langka pada 2022 mendatang dan juga Pertalite (RON 90) secara bertahap.
Problematika harga BBM terjadi di seluruh era pemerintahan. Mahalnya harga BBM di dalam negeri seperti yang diungkapkan Pertamina tahun lalu, lantaran kilang-kilang pengolahan di dalam negeri tidak efisien. Ongkos produksi BBM di kilang domestik mahal, karena enam kilang yang beroperasi saat ini berusia tua bahkan ada yang berusia setengah abad. Biaya produksi yang tinggi menjadi alasan utama kenapa harga bahan bakar minyak atau BBM di dalam negeri cukup tinggi.
Minyak yang diolah pun hanya jenis tertentu, yakni yang memiliki kadar sulfur rendah atau sweet crude. Di seluruh dunia, jenis minyak mentah tersebut hanya tersedia sekitar 3% dari seluruh jenis minyak mentah yang tersedia. Tentu menjadi pertanyaan besar, kenapa kilang-kilang Pertamina hanya bisa mengolah minyak mentah dunia yang suplainya hanya 3%? Tentunya patut dipertanyakan juga siapa pemasok sweet crude yang tentunya jika produksinya berkurang maka harganya akan melambung tinggi.
Tentu menjadi pertanyaan besar kenapa berpuluh tahun minyak produksi domestik tak diproduksi secara maksimal di kilang dalam negeri. Siapa pula pemasok atau pemenang tender produk-produk BBM selama ini?
Berkaca dari berpuluh tahun sebelumnya, setiap isu kenaikan harga BBM diembuskan, maka kenaikan harga-harga barang akan mendahului. Yang berarti harga barang-barang, bahkan bahan pokok pun berpotensi melambung tinggi. Karena kebijakan pengendalian BBM terkait langsung dengan kebijakan transportasi nasional. Pengendalian BBM bersubsidi baik melalui opsi pembatasan konsumsi maupun opsi kenaikan harga secara bertahap akan membebani masyarakat. Biaya logistik otomatis akan menyesuaikan, begitupula ongkos transportasi. Hal itu tentunya akan membuat masyarakat semakin babak belur ditengah menurunnya pendapatan akibat pandemi.
Dalam kebijakan BBM, transparansi alias keterbukaan perlu dijujung tinggi Perlu keterbukaan berapa besar sejatinya volume impor BBM. Apalagi di masa lalu masyarakat gampang menghitung berapa besar volume impor BBM tahunan karena menggunakan satuan barel, kini menggunakan satuan ton. Padahal satu jenis minyak dengan minyak lainnya memiliki perbedaan bobot. Untuk minyak Brent misalnya, 1 ton setara dengan 7,61 barel, sedangkan untuk minyak Ural 1 ton setara 7,28 barel.
Volume impor BBM selama 2021 hanya naik 5,5% menjadi 21,93 juta ton dari 29,79 juta ton sepanjang 2020. Volume impor BBM terbesar masih berasal dari produk bensin, seperti bensin dengan nilai oktan (RON) di atas atau sama dengan 90 berupa Pertalite, Pertamax dan sejenisnya.
Impor bensin sepanjang 2021 mencapai 13,97 juta ton. Terbesar produk Pertamax dan RON diatasnya yang mencapai 8,17 juta ton. Jauh lebih besar dibandingkan impor bensin di bawah RON 90 yang hanya 5,66 juta ton, turun 21,3% dari tahun sebelumnya.
Artinya, suplai Pertamax sudah lebih besar dibandingkan dengan BBM jenis lain yang konon masih menghabiskan anggaran subsidi dalam jumlah besar. Sudah saatnya masyarakat bersikap kritis dan ikut berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap ekosistem bisnis BBM di dalam negeri.
(bmm)