PPATK Bekukan 17 Rekening Senilai Rp77,945 Miliar terkait Investasi Bodong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali melakukan pembekuan rekening yang diduga terkait aliran dana investor produk investasi ilegal atau bodong . Pada 24 Maret 2022 lalu, PPATK kembali melakukan pembekuan sejumlah rekening yang diduga berasal dari tindak pidana investasi ilegal.
"Ada 17 rekening dengan nilai Rp77,945 miliar kita bekukan, sehingga total penghentian sementara transaksi yang diduga berasal dari tindak pidana berupa investasi ilegal sebesar Rp502,88 M dari 275 rekening," ujar Kepala PPATK Ivan Yustivandana, Jumat (25/3/2022).
Dia menyebutkan PPATK terus memantau dan melakukan analisis terhadap dugaan tindak pidana investasi ilegal. Dari hasil analisis PPATK, modus aliran uang tersebut cukup beragam.
"Misalkan disimpan dalam bentuk aset kripto, penggunaan rekening milik orang lain dan kemudian dipindahkan ke berbagai rekening di beberapa bank untuk mempersulit penelusuran transaksi," ungkap Ivan.
PPATK dikatakan Ivan terus melakukan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Indonesia berkoordinasi dengan FIU dari negara lain.
"Kami memiliki memiliki kewenangan dalam melakukan penghentian sementara transaksi selama 20 hari kerja dan selanjutnya berkoordinasi serta melaporkan kepada penegak hukum terhadap transaksi mencurigakan dalam nominal besar terkait dengan investasi yang diduga ilegal," jelas Ivan.
Ivan menekankan pelaporan yang disampaikan oleh pihak Pelapor (Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa) ke PPATK juga dimaksudkan untuk menjaga pihak Pelapor dari risiko hukum dan reputasi agar mencegah dijadikan sarana dan sasaran oleh pelaku kejahatan untuk mencuci hasil tindak pidana.
Pihak Pelapor dan Profesi terdiri atas Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa. Penyedia Jasa Keuangan mencakup bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, dan penyedia jasa keuangan lainnya.
Sementara itu, penyedia barang dan jasa terdiri atas perusahaan/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan antik, dan balai lelang.
"Dalam Pasal 29 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan secara tegas bahwa pihak Pelapor tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK," tutur Ivan.
PPATK terus berkomitmen dalam mencegah dan memberantas TPPU dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) maupun pencegahan dan pemberantasan TPPU dari hasil kejahatan lingkungan atau Green Financial Crime (GFC).
Lihat Juga: Ini Penampakan Uang Rp372 Miliar yang Disita Kejagung, Ditaruh Kardus, Koper, dan Brankas
"Ada 17 rekening dengan nilai Rp77,945 miliar kita bekukan, sehingga total penghentian sementara transaksi yang diduga berasal dari tindak pidana berupa investasi ilegal sebesar Rp502,88 M dari 275 rekening," ujar Kepala PPATK Ivan Yustivandana, Jumat (25/3/2022).
Dia menyebutkan PPATK terus memantau dan melakukan analisis terhadap dugaan tindak pidana investasi ilegal. Dari hasil analisis PPATK, modus aliran uang tersebut cukup beragam.
"Misalkan disimpan dalam bentuk aset kripto, penggunaan rekening milik orang lain dan kemudian dipindahkan ke berbagai rekening di beberapa bank untuk mempersulit penelusuran transaksi," ungkap Ivan.
PPATK dikatakan Ivan terus melakukan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Indonesia berkoordinasi dengan FIU dari negara lain.
"Kami memiliki memiliki kewenangan dalam melakukan penghentian sementara transaksi selama 20 hari kerja dan selanjutnya berkoordinasi serta melaporkan kepada penegak hukum terhadap transaksi mencurigakan dalam nominal besar terkait dengan investasi yang diduga ilegal," jelas Ivan.
Ivan menekankan pelaporan yang disampaikan oleh pihak Pelapor (Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa) ke PPATK juga dimaksudkan untuk menjaga pihak Pelapor dari risiko hukum dan reputasi agar mencegah dijadikan sarana dan sasaran oleh pelaku kejahatan untuk mencuci hasil tindak pidana.
Pihak Pelapor dan Profesi terdiri atas Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa. Penyedia Jasa Keuangan mencakup bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, dan penyedia jasa keuangan lainnya.
Sementara itu, penyedia barang dan jasa terdiri atas perusahaan/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan antik, dan balai lelang.
"Dalam Pasal 29 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan secara tegas bahwa pihak Pelapor tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK," tutur Ivan.
PPATK terus berkomitmen dalam mencegah dan memberantas TPPU dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) maupun pencegahan dan pemberantasan TPPU dari hasil kejahatan lingkungan atau Green Financial Crime (GFC).
Lihat Juga: Ini Penampakan Uang Rp372 Miliar yang Disita Kejagung, Ditaruh Kardus, Koper, dan Brankas
(kri)