Di Tengah Pandemi Covid-19, DPR Nilai Ada Kejanggalan Akuisisi Bukopin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR RI Komisi IX, Kamarussamad mengkritisi akuisisi Bank Bukopin terhadap Kookmin yang dinilai menyalahi aturan. Ia melihat kondisi ini cukup janggal mengingat terjadi di tengah Pandemi Covid-19.
Karena itu, dia meminta pemerintah turun tangan. Dia juga meminta OJK agar lebih konsisten dalam mengambil keputusan, termasuk merekomendasi akuisisi Bank Bukopin.
“Pemerintah disarankan membantu Bukopin karena merupakan bank terbesar kedua yang memiliki plafon kredit untuk UMKM. Padahal kita tahu kondisi UMKM saat ini sedang terpuruk akibat Covid-19,” ucapnya, Selasa (16/6/2020).
Kamarussamad lantas merinci, Bank Bukopin yang fokus melayani UMKM di Indonesia memiliki rasio kredit UMKM di posisi 57,4 persen dari total kredit yang disalurkan sepanjang tahun lalu.
Hingga Desember 2019, di antara 21 bank dengan aset terbesar di Tanah Air, komposisi kredit UMKM sebesar 57,4 persen Bank Bukopin menjadi bank dengan porsi kredit UMKM terbesar. Dua bank di bawahnya memiliki pangsa kredit UMKM sebesar 48,4 persen dan 24,9 persen.
Kondisi ini membuat kegaduhan di Bank Bukopin saat hasil laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di dalam laporan itu, BPK menuliskan laporan terkait fungsi pengawasan OJK terhadap perbankan.
BPK kemudian menilai pengawasan yang dilakukan OJK terhadap tujuh bank belum sesuai ketentuan. Dari bank tersebut salah satunya Bank Bukopin. Bank Bukopin dinilai memiliki masalah permodalan. Dalam hal ini, lanjutnya, Bank Bukopin sudah menyiapkan beberapa strategi untuk menyelamatkan keuangan perusahaan. Salah satunya dengan meminta pertolongan dengan pihak lain.
“Fungsi OJK selaku Pemegang otoritas Industri Jasa Keuangan seharusnya konsisten dalam menjalankan regulasi yang sudah dikeluarkan terhadap Kookmin. Yang terjadi malah sebaliknya Kookmin Mampu mengatur OJK sesuai seleranya,” tuding Kamarussamad.
Selain itu, Kookmin sendiri dinilai tak patuh bila merujuk Surat OJK tanggal 20 Mei 2020, dalam surat itu diketahui Kookmin telah gagal, namun masih diberi kesempatan oleh OJK.
Selain itu, berdasarkan hasil Vicon tanggal 6 Juni 2020, Kookmin dinilai telah gagal untuk kedua kalinya. “Namun anehnya, OJK masih memberikan toleransi,” cetusnya.
Termasuk Surat OJK tanggal 03 Juni 2020 yang menyebutkan Kookmin telah gagal yang ketiga kalinya, namun masih dilayani OJK. “Surat OJK tanggal 10 Juni 2020 kepada Kookmin Yang menyatakan Gagal Dalam memenuhi Komitmen dan dinyatakan Blacklist dalam dunia perbankan nasional Indonesia,” tuturnya.
Sayangnya dalam press release OJK tanggal 11 Juni 2020 sore disebutkan Kookmin berhasil mengakusisi Bank Bukopin. Hal Ini menunjukkan ada masalah serius tentang inkonsistensi OJK yang berdampak Pada kredibilitas OJK dan berpotensi merusak reputasi Sistem Perbankan Nasional. “Kami khawatir upaya membiarkan Permasalahan lkuiditas Bukopin cenderung “dibiarkan” agar Kookmin bisa masuk dengan harga murah,” cetusnya.
Melihat kondisi ini, Kamarussamad menilai bakal menjadi menjadi ancaman bagi Nasabah dan Debitor yang mayoritas UMKM. “Bank Umum Koperasi yang didirikan tahun 1970 ini justru diharapkan menjadi Pilar Penggerak ekonomi rakyat khususnya Koperasi dan Usaha Kecil. Bagaimana nasib mereka jika Mayoritas saham Bukopin dimiliki oleh asing,” tutupnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah turun tangan. Dia juga meminta OJK agar lebih konsisten dalam mengambil keputusan, termasuk merekomendasi akuisisi Bank Bukopin.
“Pemerintah disarankan membantu Bukopin karena merupakan bank terbesar kedua yang memiliki plafon kredit untuk UMKM. Padahal kita tahu kondisi UMKM saat ini sedang terpuruk akibat Covid-19,” ucapnya, Selasa (16/6/2020).
Kamarussamad lantas merinci, Bank Bukopin yang fokus melayani UMKM di Indonesia memiliki rasio kredit UMKM di posisi 57,4 persen dari total kredit yang disalurkan sepanjang tahun lalu.
Hingga Desember 2019, di antara 21 bank dengan aset terbesar di Tanah Air, komposisi kredit UMKM sebesar 57,4 persen Bank Bukopin menjadi bank dengan porsi kredit UMKM terbesar. Dua bank di bawahnya memiliki pangsa kredit UMKM sebesar 48,4 persen dan 24,9 persen.
Kondisi ini membuat kegaduhan di Bank Bukopin saat hasil laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di dalam laporan itu, BPK menuliskan laporan terkait fungsi pengawasan OJK terhadap perbankan.
BPK kemudian menilai pengawasan yang dilakukan OJK terhadap tujuh bank belum sesuai ketentuan. Dari bank tersebut salah satunya Bank Bukopin. Bank Bukopin dinilai memiliki masalah permodalan. Dalam hal ini, lanjutnya, Bank Bukopin sudah menyiapkan beberapa strategi untuk menyelamatkan keuangan perusahaan. Salah satunya dengan meminta pertolongan dengan pihak lain.
“Fungsi OJK selaku Pemegang otoritas Industri Jasa Keuangan seharusnya konsisten dalam menjalankan regulasi yang sudah dikeluarkan terhadap Kookmin. Yang terjadi malah sebaliknya Kookmin Mampu mengatur OJK sesuai seleranya,” tuding Kamarussamad.
Selain itu, Kookmin sendiri dinilai tak patuh bila merujuk Surat OJK tanggal 20 Mei 2020, dalam surat itu diketahui Kookmin telah gagal, namun masih diberi kesempatan oleh OJK.
Selain itu, berdasarkan hasil Vicon tanggal 6 Juni 2020, Kookmin dinilai telah gagal untuk kedua kalinya. “Namun anehnya, OJK masih memberikan toleransi,” cetusnya.
Termasuk Surat OJK tanggal 03 Juni 2020 yang menyebutkan Kookmin telah gagal yang ketiga kalinya, namun masih dilayani OJK. “Surat OJK tanggal 10 Juni 2020 kepada Kookmin Yang menyatakan Gagal Dalam memenuhi Komitmen dan dinyatakan Blacklist dalam dunia perbankan nasional Indonesia,” tuturnya.
Sayangnya dalam press release OJK tanggal 11 Juni 2020 sore disebutkan Kookmin berhasil mengakusisi Bank Bukopin. Hal Ini menunjukkan ada masalah serius tentang inkonsistensi OJK yang berdampak Pada kredibilitas OJK dan berpotensi merusak reputasi Sistem Perbankan Nasional. “Kami khawatir upaya membiarkan Permasalahan lkuiditas Bukopin cenderung “dibiarkan” agar Kookmin bisa masuk dengan harga murah,” cetusnya.
Melihat kondisi ini, Kamarussamad menilai bakal menjadi menjadi ancaman bagi Nasabah dan Debitor yang mayoritas UMKM. “Bank Umum Koperasi yang didirikan tahun 1970 ini justru diharapkan menjadi Pilar Penggerak ekonomi rakyat khususnya Koperasi dan Usaha Kecil. Bagaimana nasib mereka jika Mayoritas saham Bukopin dimiliki oleh asing,” tutupnya.
(mhd)