Cerita Soeharto soal Siasat Serangan Umum 1 Maret 1949
loading...
A
A
A
Meskipun pada 30 Desember 1949 pagi Belanda menyerang dan akhirnya menguasai Bantul, Soeharto bergeming. Rencana serangan balasan yang pertama tetap dilanjutkan. ”Alhamdulillah bisa berhasil, serangan pada tanggal 30 malam 31 sebagai hadiah tahun baru buat Belanda sekaligus meningkatkan kepercayaan kita. Kita mampu,” terang dia.
Serangan-serangan di setiap sektor dilanjutkan setelah pergantian tahun. Menurut Soeharto, pasukannya melakukan serangan berikutnya pada 9 Januari, 16 Januari dan 4 Februari 1949. Seluruh serangan dilakukan mendadak pada malam hari. Sukses melancarkan serangan tersebut telah mengangkat moral TNI dan kepercayaan rakyat. Tetapi apa yang dilakukan TNI tersebut dipandang sebelah mata oleh Belanda.
Melalui radio, Soeharto mendengar perdebatan di Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia yang dianggap Soeharto menunjukkan kesombongan Belanda. Di PBB, Belanda mengatakan Republik Indonesia sudah tidak ada, presiden dan wakil presiden ditangkap. "Lalu mengatakan ekstrimis, bukan TNI, tapi ekstrimis kocar-kacir, sudah tidak ada lagi. Wah, sombong sekali Belanda. Jadi kita mengadakan serangan dari 30 Desember sampai 4 Februari itu tidak dianggap,” kata Soeharto.
Klaim Belanda tersebut membuat para diplomat kesulitan meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia masih eksis. Karena itu, Soeharto berpikir satu-satunya jalan adalah melancarkan serangan pada siang hari. Serangan ini bukan bertujuan melumpuhkan militer Belanda tetapi semata-mata memberikan dukungan politik untuk para diplomat Indonesia di PBB serta dorongan psikologis untuk membangkitkan perlawanan di daerah-daerah lain.
”Walau pun hanya dua jam, kita harus kuasai Yogyakarta. Saya perhitungkan kita mampu. Kenapa? Lha kita sudah melakukan serangan berulang-ulang pada malam hari, tinggal kita alihkan pada siang hari saja. Kita harus masuk lalu menduduki, saya katakan setidak-tidaknya dua jam,” ujar pria kelahiran Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul ini.
Foto/flickr.com
Setelah meyakini rencana serangan umum pasti berhasil, tiba-tiba benak Soeharto tersentak. Sejenak dia ragu dan khawatir. Dia melihat serangan umum tersebut tidak hanya membawa impact politis yang positif bagi diplomasi Indonesia. Namun, serangan itu bisa membawa efek samping yang buruk untuk rakyat.
Ketika TNI sudah mundur dari Yogyakarta, Belanda bisa jadi melampiaskan kekesalan dan marah dengan menyerang dan membakar kampung-kampung. ”Yang saya takutkan satu, simpati rakyat yang sudah membesar akan mbalik (berbalik) menjadi antipati,” kata Soeharto.
Tak ingin kekhawatiran itu menjadi kenyataan, Soeharto memutar otak untuk menemukan strategi dan cara untuk mencegahnya. Soeharto akhirnya punya solusi, yaitu membuat Belanda sibuk sehingga tak sempat melakukan serangan balik. Caranya dengan menyerang pos-pos Belanda di luar Yogyakarta lebih dulu. Dengan cara ini Belanda akan berkonsentrasi di luar wilayah. Begitu Yogyakarta diserang Belanda tak punya cukup waktu untk konsolidasi dan melakukan serangan balik.
Serangan-serangan di setiap sektor dilanjutkan setelah pergantian tahun. Menurut Soeharto, pasukannya melakukan serangan berikutnya pada 9 Januari, 16 Januari dan 4 Februari 1949. Seluruh serangan dilakukan mendadak pada malam hari. Sukses melancarkan serangan tersebut telah mengangkat moral TNI dan kepercayaan rakyat. Tetapi apa yang dilakukan TNI tersebut dipandang sebelah mata oleh Belanda.
Melalui radio, Soeharto mendengar perdebatan di Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia yang dianggap Soeharto menunjukkan kesombongan Belanda. Di PBB, Belanda mengatakan Republik Indonesia sudah tidak ada, presiden dan wakil presiden ditangkap. "Lalu mengatakan ekstrimis, bukan TNI, tapi ekstrimis kocar-kacir, sudah tidak ada lagi. Wah, sombong sekali Belanda. Jadi kita mengadakan serangan dari 30 Desember sampai 4 Februari itu tidak dianggap,” kata Soeharto.
Klaim Belanda tersebut membuat para diplomat kesulitan meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia masih eksis. Karena itu, Soeharto berpikir satu-satunya jalan adalah melancarkan serangan pada siang hari. Serangan ini bukan bertujuan melumpuhkan militer Belanda tetapi semata-mata memberikan dukungan politik untuk para diplomat Indonesia di PBB serta dorongan psikologis untuk membangkitkan perlawanan di daerah-daerah lain.
”Walau pun hanya dua jam, kita harus kuasai Yogyakarta. Saya perhitungkan kita mampu. Kenapa? Lha kita sudah melakukan serangan berulang-ulang pada malam hari, tinggal kita alihkan pada siang hari saja. Kita harus masuk lalu menduduki, saya katakan setidak-tidaknya dua jam,” ujar pria kelahiran Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul ini.
Foto/flickr.com
Setelah meyakini rencana serangan umum pasti berhasil, tiba-tiba benak Soeharto tersentak. Sejenak dia ragu dan khawatir. Dia melihat serangan umum tersebut tidak hanya membawa impact politis yang positif bagi diplomasi Indonesia. Namun, serangan itu bisa membawa efek samping yang buruk untuk rakyat.
Ketika TNI sudah mundur dari Yogyakarta, Belanda bisa jadi melampiaskan kekesalan dan marah dengan menyerang dan membakar kampung-kampung. ”Yang saya takutkan satu, simpati rakyat yang sudah membesar akan mbalik (berbalik) menjadi antipati,” kata Soeharto.
Tak ingin kekhawatiran itu menjadi kenyataan, Soeharto memutar otak untuk menemukan strategi dan cara untuk mencegahnya. Soeharto akhirnya punya solusi, yaitu membuat Belanda sibuk sehingga tak sempat melakukan serangan balik. Caranya dengan menyerang pos-pos Belanda di luar Yogyakarta lebih dulu. Dengan cara ini Belanda akan berkonsentrasi di luar wilayah. Begitu Yogyakarta diserang Belanda tak punya cukup waktu untk konsolidasi dan melakukan serangan balik.