Masalah Minyak Goreng, Pengamat: Karena Kebijakan Kemendag Tak Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masalah harga minyak goreng di pasaran belum juga selesai meski pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah beberapa kali mengubah kebijakan. Permasalahan minyak goreng ini muncul dinilai karena kebijakan yang kurang tepat.
Menurut Rahma, Kemendag harusnya memiliki perhitungan terkait bagaimana kebutuhan domestik diutamakan dan di mana permasalahan yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng masih terjadi.
"Kelangkaan minyak goreng di pasaran terjadi sampai sekarang dan sepertinya mendapatkan jalan buntu bagi Kemendag," ujar Rahma.
Menurut Rahma, CPO untuk kebijakan BioDiesel maupun untuk minyak goreng itu bukan persoalan utama. Saat ini ada sekitar 6 produsen minyak goreng yang berhenti produksi, karena tidak mendapatkan pasokan CPO.
"Masalah utamanya ada di titik ini. Jika produksi aman tentunya perlahan tapi pasti distribusi juga akan aman," ujarnya.
Selain pasokan CPO yang dari pabrik kelapa sawit ke industri minyak goreng maupun Biodiesel permasalahannya lebih ke Ekspor.
Rahma memberi gambaran sederhana, produksi CPO nasional sebesar 46,88 juta ton pada 2021. Untuk kebutuhan domestic 18,42 juta ton, jadi masih ada sisa sekitar 28,5 juta ton yang seharusnya bisa untuk ekspor.
Kebutuhan CPO nasional (domestik) sekitar 18,42 juta ton untuk produksi minyak kelapa sawit dan untuk proyek BioDiesel sebesar 7,34 juta ton. Berdasarkan hitungan diatas kertas, pasokan CPO domestik harusnya tercukupi.
"Jadi kebijakan itu harus mengarah kepada kebijakan pemenuhan domestic lebih dahulu," imbuhnya.
Mengenai maraknya penimbunan minyak goreng, juga harus segera ditangani. Misalnya dengan kerja sama melalui berbagai instansi lainnya untuk melakukan sidak.
Kini Kemendag juga telah menaikkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dari 20% menjadi 30%. Rahma menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada penguatan stok domestik.
Namun hal itu harus dibarengi dengan distribusi yang semakin baik dan terkontrol. Mengingat sebelumnya juga stok diklaim melimpah namun tidak ada di pasaran. Kenaikan DMO juga akan mengakibatkan harga global meningkat.
"Maka kenaikan DMO harus dikaji dulu secara mendetail, apakah kebijakan ini lebih menguntungkan bagi domestic, atau justru malah merugikan. Kajian Cost and Benefit harus dilakukan secara mendalam," pungkas Rahma.
Baca Juga
Menurut Rahma, Kemendag harusnya memiliki perhitungan terkait bagaimana kebutuhan domestik diutamakan dan di mana permasalahan yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng masih terjadi.
"Kelangkaan minyak goreng di pasaran terjadi sampai sekarang dan sepertinya mendapatkan jalan buntu bagi Kemendag," ujar Rahma.
Menurut Rahma, CPO untuk kebijakan BioDiesel maupun untuk minyak goreng itu bukan persoalan utama. Saat ini ada sekitar 6 produsen minyak goreng yang berhenti produksi, karena tidak mendapatkan pasokan CPO.
"Masalah utamanya ada di titik ini. Jika produksi aman tentunya perlahan tapi pasti distribusi juga akan aman," ujarnya.
Selain pasokan CPO yang dari pabrik kelapa sawit ke industri minyak goreng maupun Biodiesel permasalahannya lebih ke Ekspor.
Rahma memberi gambaran sederhana, produksi CPO nasional sebesar 46,88 juta ton pada 2021. Untuk kebutuhan domestic 18,42 juta ton, jadi masih ada sisa sekitar 28,5 juta ton yang seharusnya bisa untuk ekspor.
Kebutuhan CPO nasional (domestik) sekitar 18,42 juta ton untuk produksi minyak kelapa sawit dan untuk proyek BioDiesel sebesar 7,34 juta ton. Berdasarkan hitungan diatas kertas, pasokan CPO domestik harusnya tercukupi.
"Jadi kebijakan itu harus mengarah kepada kebijakan pemenuhan domestic lebih dahulu," imbuhnya.
Mengenai maraknya penimbunan minyak goreng, juga harus segera ditangani. Misalnya dengan kerja sama melalui berbagai instansi lainnya untuk melakukan sidak.
Kini Kemendag juga telah menaikkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dari 20% menjadi 30%. Rahma menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada penguatan stok domestik.
Namun hal itu harus dibarengi dengan distribusi yang semakin baik dan terkontrol. Mengingat sebelumnya juga stok diklaim melimpah namun tidak ada di pasaran. Kenaikan DMO juga akan mengakibatkan harga global meningkat.
"Maka kenaikan DMO harus dikaji dulu secara mendetail, apakah kebijakan ini lebih menguntungkan bagi domestic, atau justru malah merugikan. Kajian Cost and Benefit harus dilakukan secara mendalam," pungkas Rahma.
(maf)