'Si Vis Pacem Para Bellum'

Jum'at, 11 Maret 2022 - 16:58 WIB
loading...
Si Vis Pacem Para Bellum
Juniarta (Foto: Ist)
A A A
JUNIARTA
Pengamat Politik Keamanan, Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

JIKA pemberitaan media massa internasional kerap mempertanyakan apa yang diinginkan Rusia dari Ukraina, tulisan ini akan diawali dengan pertanyaan yang berbeda. Apa yang sebenarnya diinginkan The West dan NATO dari konflik antara Ukraina dan Rusia?

Dalam The Geographical Pivot of History (1904), Sir Harold Mackinder mengemukakan bahwa “Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules The Heartland, command the World-island; who rules the World-island, commands the world.” Hal tersebut dikarekan posisi jalur pipa gas lintas benua terletak di Eropa Timur Di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, Rusia berhasil memanfaatkan posisi strategis dari wilayahnya dan menjadi salah satu negara pemasok gas terbesar di dunia. Beberapa negara di Eropa juga sangat tergantung dengan pasokan gas Rusia. Ketergantungan tersebut yang kemudian menjadi senjata Rusia untuk meningkatkan pengaruhnya di Eropa (gas weapon). Kekhawatiran negara barat terhadap ketergantungan Eropa terhadap pasokan gas Rusia adalah awal dari keinginan negara Barat menguasai Ukraina.

Sejak kemerdekaan Ukraina diakui oleh Rusia pada 1991, Ukraina menjadi negara yang selalu bergejolak dalam pemilihan kepala negara. Harus diakui bahwa gejolak yang hadir tidak terlepas dari usaha blok Barat (The West) untuk menancapkan pengaruhnya terhadap Ukraina. Sebagaimana Suriah menjadi titik simpul jalur sutra di Timur Tengah, maka Ukraina adalah pintu masuk jalur sutra di Eropa bagi The West. Eskalasi ketegangan Rusia dengan Ukraina kemudian meningkat dari gerakan yang menolak hegemoni Rusia di Ukraina pada 2013. Massa antipemerintah Ukraina melengserkan presiden Viktor Yanukovych yang memiliki kedekatan dengan Rusia. Setelah Yanukovych jatuh, Rusia melakukan aneksasi terhadap semenanjung Krimea pada 2014. Hal tersebut menjadikan Ukraina semakin dekat dengan The West yang menjanjikan Ukraina akan bergabung dengan NATO. Potensi Ukraina bergabung dengan NATO semakin memicu kemarahan Rusia karena jika hal tersebut terjadi, sangat mungkin membuka peluang bagi pembangunan pangkalan militer NATO di Ukraina.

Puncak ketegangan yang memicu Rusia menggerakkan pasukan militer dan alutsistanya mendekati perbatasan Ukraina dimulai sejak latihan gabungan NATO di laut hitam (Sea Breeze 2021) pada 28 Juni- 10 Juli 2021 yang terkesan melakukan provokasi terhadap Rusia. Hal tersebut terbukti dari pergerakan kapal perang Inggris HMS Defender mendekati wilayah Krimea saat Sea Breeze berlangsung. Kemudian disusul dengan masuknya dua Kapal Penghancur milik Amerika Serikat USS Porter ke laut hitam pada November 2021. Menjelang akhir 2021, negara-negara anggota NATO juga semakin intens memasok senjata untuk Ukraina.

Inggris menyiapkan pasukan khusus dan mengirim pesawat kargo C17 untuk memasok 2.000 unit sistem rudal anti tank secara langsung ke Ukraina untuk menghadapi Rusia. Amerika mengirimkan 3.000 pasukan, 4 kapal destroyer berisi rudal jelajah serta alutsista lapis baja dari Amerika . Awal 2022 Jerman masih bersikap netral karena memiliki kepentingan gas alam dari Rusia, bahkan menolak izin terbang pesawat kargo Inggris yang yang hendak membawa pasokan senjata untuk Ukraina melewati wilayah udara Jerman. Namun pada awal Februari, Jerman ikut mengirim konvoi pasukan dan Meriam Howitzer.

Jumat 18 Februari 2022 yang lalu, Rusia sempat menarik pasukannya di garis depan perbatasan dengan Ukraina. Namun Amerika justru mengirimkan main battle tank ke Polandia yang hanya berjarak 18 km dari Rusia. Selain itu Amerika menambah jumlah 800 pasukan ke wilayah Baltik, F-35 dan Helikopter Apache di wilayah-wilayah NATO yang berbatasan dengan Rusia seperti Polandia. Langkah diplomatis juga sempat dilakukan oleh Rusia, dengan membuka pertemuan dengan kanselir Jerman dan presiden Perancis. Pada 22 Februari 2022 juga terdapat rencana pertemuan dengan Joe Biden, namun pihak Amerika Serikat membatalkannya.

Provokasi yang dilakukan beberapa negara The West dengan cara memobilisasi pasukan dan senjata ke Ukraina dan negara yang berdekatan dengan Rusia juga harus dihitung sebagai alasan Rusia melakukan operasi militer. Sebagai negara yang sangat mungkin akan terancam jika “dikepung” oleh alutsista canggih milik negara lain di setiap perbatasan negaranya, tindakan Rusia dapat dikategorikan sebagai upaya mempertahankan diri. Operasi militer Rusia tidak bisa hanya sekadar dinilai sebagai ambisi Vladimir Putin menyatukan negara-negara pecahan Uni Soviet. Seperti framing yang dilakukan banyak media, seolah-olah ambisi Putin mengakibatkan jatuhnya korban sipil tanpa melihat lebih jauh rentetan peristiwa yang menjadi penyebab operasi militer Rusia.

Pakar geopolitik seperti Friedrich Ratzel mengemukakan bahwa pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup (lebensraum). Populasi manusia yang bertambah, mengakibatkan kebutuhan akan sumber daya juga bertambah, sedangkan ketersediaan sumber daya alam semakin terbatas. Hal tersebut menjadi penjelasan terhadap kepentingan suatu negara untuk menguasai negara lain. Negara maju seringkali melakukan upaya untuk menguasai negara lain. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan negaranya, namun juga untuk memperkuat pengaruhnya di tengah dunia internasional. Keinginan tersebut tidak selalu dilakukan dengan langkah politik seperti diplomasi dan kerja sama, namun juga dalam bentuk paksaan melalui invasi militer. Kepentingan negara maju untuk menguasai negara berkembang dengan cara memaksa umumnya adalah penyebab pecahnya sebuah peperangan.

Operasi militer yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, memang adalah bukti dari upaya negara maju untuk menguasai negara lain dengan cara paksaan. Tindakan Rusia tersebut juga memiliki kesamaan dengan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Iran, Suriah, Afganistan, Somalia dan banyak negara lainnya. Di sisi lain terdapat fakta bahwa operasi militer Rusia juga sebagai upaya mempertahankan kedaulatan negaranya. Maka keberanian Rusia menghadapi pakta pertahanan terkuat di dunia seperti NATO harus menjadi acuan bagi negara-negara dunia ketiga untuk mengambil tindakan dalam mempertahankan kedaulatannya dari ancaman negara lain.

Sampai saat ini, pembangunan kekuatan pertahanan dengan modernisasi senjata di negara-negara demokrasi berkembang seringkali masih menjadi perdebatan. Padahal upaya membangun kekuatan pertahanan tidak selalu bertujuan untuk berperang, namun sebagai detterent effect (efek tangkal/efek gentar) untuk menjaga kedaulatan, keutuhan dan keselamatan warga negaranya dari gangguan negara lain. Pembangunan kekuatan pertahanan diperlukan karena kemajuan hukum internasional tidak dapat menjamin agresi suatu negara terhadap negara lain dan kemungkinan terjadinya perang konvensional terbukti belum bisa dihindari. Terlebih jika negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu mengampanyekan demokrasi dan perdamaian namun tidak berhenti melakukan produksi dan penjualan senjata.

Si Vis Pacem Para Bellum. Jika ingin berdamai, bersiaplah untuk berperang.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1323 seconds (0.1#10.140)